Kualitas Kemanusiaan Kita Masih Setengah Jadi? Begini Penjelasan Komaruddin Hidayat
loading...
A
A
A
Secara tegas Allah SWT menyatakan bahwa manusia merupakan puncak ciptaan-Nya dengan tingkat kesempurnaan dan keunikan-Nya yang prima dibanding makhluk lainnya ( QS. 95 :4). Namun begitu Allah juga memperingatkan bahwa kualitas kemanusiaannya, masih belum selesai atau setengah jadi, sehingga masih harus berjuang untuk menyempurnakan dirinya ( QS 91 :7-10).
Prof Dr Komaruddin Hidayat dalam buku "Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah" mengatakan proses penyempurnaan ini amat dimungkinkan karena pada naturnya manusia itu fithri, hanif dan berakal.
Lebih dari itu bagi seorang mukmin petunjuk primordial ini masih ditambah lagi dengan datangnya Rasul Tuhan pembawa kitab suci sebagai petunjuk hidupnya ( QS. 4 :174).
Menurutnya, di dalam tradisi kaum sufi terdapat postulat yang berbunyi: Man'arafa nafsahu faqad 'arafa rabbabu --Siapa yang telah mengenal dirinya maka ia (akan mudah) mengenal Tuhannya. "Jadi, pengenalan diri adalah tangga yang harus dilewati seseorang untuk mendaki ke jenjang yang lebih tinggi dalam rangka mengenal Tuhan," ujar Komaruddin Hidayat.
Persoalan serius yang menghadang adalah, sebagaimana diakui kalangan psikolog, filsuf, dan ahli pikir pada umumnya, kini manusia semakin mendapatkan kesulitan untuk mengenali jati diri dan hakikat kemanusiaannya.
Dengan majunya spesialisasi dalam dunia ilmu pengetahuan dan berkembangnya differensiasi dalam profesi kehidupan maka potret atau konsep tentang realitas manusia semakin terpecah menjadi kepingan-kepingan kecil sehingga keutuhan sosok manusia semakin sulit dihadirkan secara utuh.
Sederet disiplin ilmu seperti psikologi, sosiologi, biologi, kedokteran, politik, ekonomi, antropologi, teologi dan lainnya semuanya menjadikan manusia sebagai obyek kajian materialnya, tetapi masing-masing memiliki metode dan tujuan yang berbeda.
Differensiasi metodologis setiap ilmu, meskipun obyek materialnya sama-sama manusia, akan melahirkan kesimpulan yang berbeda pula mengenai siapa dan apa hakikat manusia itu.
Demikianlah manusia senantiasa mengandung sebuah misteri yang melekat pada dirinya dan misteri ini telah mengandung sebuah misteri yang melekat pada dirinya dan misteri ini telah mengundang kegelisahan intelektual pare ahli pikir untuk mencoba berlomba menjawabnya.
Menurut Komaruddin Hidayat, semakin seorang ahli pikir mendalami satu sudut kajian tentang manusia, semakin jauh pula ia terkurung dalam bilik lorong yang ia masuki, yang berarti semakin terputus dari pemahaman komprehensif tentang manusia.
Krisis pengenalan diri sesungguhnya tidak hanya dirasakan kalangan ahli pikir Barat modern, melainkan juga di kalangan Islam. Terjadinya ideologisasi terhadap ilmu-ilmu agama, secara sadar atau tidak, telah menghantarkan pada persepsi yang terpecah dalam melihat manusia dan hubungannya dengan Tuhan.
Dalam tradisi ilmu fiqih misalnya, secara tak langsung ilmu ini cenderung menghadirkan wajah Tuhan sebagai Yang Maha Hakim, sementara manusia adalah subyek-subyek yang cenderung membangkang dan harus siap menerima vonis-vonis dari kemurkaan Tuhan Sang Maha Hakim atau, sebaliknya, manusia pada akhirnya akan menuntut imbalan pahala atas ketaatannya melaksanakan dekrit-Nya.
Demikianlah, bila ilmu fiqih cenderung mengenalkan Tuhan sebagai Maha Hakim, maka ilmu kalam lebih menggarisbawahi gambaran Tuhan sebagai Maha Akal, sementara ilmu tasawuf memproyeksikan Tuhan sebagai Sang Kekasih.
Perbedaan-perbedaan ini muncul dalam benak manusia karena pada dasarnya yang bertuhan adalah manusia, di mana manusia itu lahir, tumbuh dan berkembang dibentuk dan dipengaruhi oleh berbagai faktor yang dijumpai dalam realitas sejarah hidupnya.
"Jadi, bila langkah pertama untuk mengenal Tuhan adalah mengenal diri sendiri terlebih dahulu secara benar, maka langkah pertama yang harus kita tempuh ialah bagaimana mengenal diri kita secara benar," ujar Komaruddin Hidayat.
Krisis pengenalan jati diri manusia ini secara eksplisit dikemukakan, misalnya, oleh Ernst Cassirer, katanya:
Nietzsche proclaims the will to power, Freud signalizes the sexual instinct, Marx enthrones the economic instinct. Each theory becomes a Procrustean bed in which the empirical facts are stretched to fit a preconceived pattern. Owing to this development our modern theory of man lost its intellectual center. We acquired instead a complete anarchy of thought. (Ernst Cassier, 1978, p.21)
Prof Dr Komaruddin Hidayat dalam buku "Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah" mengatakan proses penyempurnaan ini amat dimungkinkan karena pada naturnya manusia itu fithri, hanif dan berakal.
Lebih dari itu bagi seorang mukmin petunjuk primordial ini masih ditambah lagi dengan datangnya Rasul Tuhan pembawa kitab suci sebagai petunjuk hidupnya ( QS. 4 :174).
Menurutnya, di dalam tradisi kaum sufi terdapat postulat yang berbunyi: Man'arafa nafsahu faqad 'arafa rabbabu --Siapa yang telah mengenal dirinya maka ia (akan mudah) mengenal Tuhannya. "Jadi, pengenalan diri adalah tangga yang harus dilewati seseorang untuk mendaki ke jenjang yang lebih tinggi dalam rangka mengenal Tuhan," ujar Komaruddin Hidayat.
Persoalan serius yang menghadang adalah, sebagaimana diakui kalangan psikolog, filsuf, dan ahli pikir pada umumnya, kini manusia semakin mendapatkan kesulitan untuk mengenali jati diri dan hakikat kemanusiaannya.
Dengan majunya spesialisasi dalam dunia ilmu pengetahuan dan berkembangnya differensiasi dalam profesi kehidupan maka potret atau konsep tentang realitas manusia semakin terpecah menjadi kepingan-kepingan kecil sehingga keutuhan sosok manusia semakin sulit dihadirkan secara utuh.
Sederet disiplin ilmu seperti psikologi, sosiologi, biologi, kedokteran, politik, ekonomi, antropologi, teologi dan lainnya semuanya menjadikan manusia sebagai obyek kajian materialnya, tetapi masing-masing memiliki metode dan tujuan yang berbeda.
Differensiasi metodologis setiap ilmu, meskipun obyek materialnya sama-sama manusia, akan melahirkan kesimpulan yang berbeda pula mengenai siapa dan apa hakikat manusia itu.
Demikianlah manusia senantiasa mengandung sebuah misteri yang melekat pada dirinya dan misteri ini telah mengandung sebuah misteri yang melekat pada dirinya dan misteri ini telah mengundang kegelisahan intelektual pare ahli pikir untuk mencoba berlomba menjawabnya.
Menurut Komaruddin Hidayat, semakin seorang ahli pikir mendalami satu sudut kajian tentang manusia, semakin jauh pula ia terkurung dalam bilik lorong yang ia masuki, yang berarti semakin terputus dari pemahaman komprehensif tentang manusia.
Krisis pengenalan diri sesungguhnya tidak hanya dirasakan kalangan ahli pikir Barat modern, melainkan juga di kalangan Islam. Terjadinya ideologisasi terhadap ilmu-ilmu agama, secara sadar atau tidak, telah menghantarkan pada persepsi yang terpecah dalam melihat manusia dan hubungannya dengan Tuhan.
Dalam tradisi ilmu fiqih misalnya, secara tak langsung ilmu ini cenderung menghadirkan wajah Tuhan sebagai Yang Maha Hakim, sementara manusia adalah subyek-subyek yang cenderung membangkang dan harus siap menerima vonis-vonis dari kemurkaan Tuhan Sang Maha Hakim atau, sebaliknya, manusia pada akhirnya akan menuntut imbalan pahala atas ketaatannya melaksanakan dekrit-Nya.
Demikianlah, bila ilmu fiqih cenderung mengenalkan Tuhan sebagai Maha Hakim, maka ilmu kalam lebih menggarisbawahi gambaran Tuhan sebagai Maha Akal, sementara ilmu tasawuf memproyeksikan Tuhan sebagai Sang Kekasih.
Perbedaan-perbedaan ini muncul dalam benak manusia karena pada dasarnya yang bertuhan adalah manusia, di mana manusia itu lahir, tumbuh dan berkembang dibentuk dan dipengaruhi oleh berbagai faktor yang dijumpai dalam realitas sejarah hidupnya.
"Jadi, bila langkah pertama untuk mengenal Tuhan adalah mengenal diri sendiri terlebih dahulu secara benar, maka langkah pertama yang harus kita tempuh ialah bagaimana mengenal diri kita secara benar," ujar Komaruddin Hidayat.
Krisis pengenalan jati diri manusia ini secara eksplisit dikemukakan, misalnya, oleh Ernst Cassirer, katanya:
Nietzsche proclaims the will to power, Freud signalizes the sexual instinct, Marx enthrones the economic instinct. Each theory becomes a Procrustean bed in which the empirical facts are stretched to fit a preconceived pattern. Owing to this development our modern theory of man lost its intellectual center. We acquired instead a complete anarchy of thought. (Ernst Cassier, 1978, p.21)