Komaruddin Hidayat: Setiap Muslim Mestinya Berusaha Menjadi Sufi

Jum'at, 14 Oktober 2022 - 14:20 WIB
loading...
Komaruddin Hidayat:...
Melalui tahapan taalluq, takhalluq, dan tahaqquq, seorang mukmin akan mencapai derajat khalifah Allah dengan kapasitasnya yang perkasa tetapi sekaligus penuh kasih dan damai. Foto/Ilustrasi: Ist
A A A
Prof Dr Komaruddin Hidayat mengatakan bila upaya penyucian jiwa merupakan inti tasawuf , dan itu dilakukan dalam upaya mendekati dan menggapai kasih Tuhan, maka tasawuf bisa dikatakan sebagai inti keberagamaan dan karenanya setiap muslim semestinya berusaha untuk menjadi sufi .

"Pandangan semacam itu tentu saja kurang populer dan sulit diterima oleh kalangan terdekat. Namun begitu, bukankah cukup tegas isyarat al-Qur'an maupun Hadis yang menyatakan bahwa kewajiban setiap muslim adalah mensucikan jiwanya sehingga kesuciannya termanifestasikan dalam perilaku insaniyahnya?" ujarnya dalam buku "Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah" (Paramadina, 1998).



Menurut Komaruddin Hidayat, melalui tahapan ta'alluq, takhalluq, dan tahaqquq, maka seorang mukmin akan mencapai derajat khalifah Allah dengan kapasitasnya yang perkasa tetapi sekaligus penuh kasih dan damai.

Seorang 'abd-u 'l-Lah (budak Allah) yang saleh adalah sekaligus juga wakil-Nya untuk membangun bayang-bayang surga di muka bumi ini. Bukankah Allah punya blue-print dan proyek untuk memakmurkan bumi, dan bukankah hamba-hamba-Nya yang saleh telah dinyatakan sebagai mandataris-Nya?

"Jadi, secara karikatural, seorang sufi kontemporer adalah mereka yang tidak asing berzikir dan berfikir tentang Tuhan sekalipun di hotel mewah dan datang dengan kendaraan yang mewah pula," ujarnya.

Ta'alluq, Takhalluq, dan Tahaqquq
Menurut Komaruddin Hidayat, secara garis besar tahapan seorang mukmin untuk meningkatkan kualitas jiwanya terdiri dari 3 maqam. Pertama adalah zikir atau ta'alluq pada Tuhan. Yakni, berusaha mengingat dan mengikatkan kesadaran hati dan pikiran kita kepada Allah. Di manapun seorang mukmin berada, dia tidak boleh lepas dari berpikir dan berzikir untuk Tuhannya ( QS 3 :191).

Dari zikir ini meningkat sampai maqam kedua -takhalluq. "Yaitu, secara sadar meniru sifat-sifat Tuhan sehingga seorang mukmin memiliki sifat-sifat mulia sebagaimana sifat-Nya," ujarnya.

Proses ini bisa juga disebut sebagai proses internalisasi sifat Tuhan ke dalam diri manusia. Dalam konteks ini kalangan sufi biasanya menyandarkan Hadis Nabi yang berbunyi, "Takhallaqu bi akhlaq-i Allah."



Maqam ketiga tahaqquq. Yaitu, suatu kemampuan untuk mengaktualisasikan kesadaran dan kapasitas dirinya sebagai seorang mukmin yang dirinya sudah "didominasi" sifat-sifat Tuhan sehingga tercermin dalam perilakunya yang serba suci dan mulia.

Maqam tahaqquq ini, menurut Komaruddin Hidayat, sejalan dengan Hadits Qudsi yang digemari kalangan sufi yang menyatakan bahwa bagi seorang mukmin yang telah mencapai martabat yang sedemikian dekat dan intimnya dengan Tuhan maka Tuhan akan melihat kedekatan hamba-Nya.

Komaruddin Hidayat menjelaskan, dalam tradisi tasawuf yang menjadi fokus kajiannya ialah apa yang disebut gaib atau hati dalam pengertiannya yang metafisis.

Beberapa ayat al-Qur'an dan hadis menegaskan bahwa hati seseorang bagaikan raja, sementara badan dan anggotanya bagai istana dan para abdi dalem-nya. Kebaikan dan kejahatan kerajaan itu akan tergantung bagaimana perilaku sang raja.

Dalam sebuah hadits Qudsi disebutkan bahwa meskipun secara fisik hati itu kecil dan mengambil tempat pada jasad manusia, namun luasnya hati Insan Kamil (qalb al-'arif) melebihi luasnya langit dan bumi karena ia sanggup menerima 'arsy Tuhan, sementara bumi langit tidak sanggup.

Menurut Ibn Arabi, kata qalb senantiasa berasosiasi dengan kata taqallub yang bergerak atau berubah secara konstan. Taqallub-nya hati sang sufi, kata 'Arabi, adalah seiring dengan tajalli-nya Tuhan.

Tajalli berarti penampakan diri Tuhan ke dalam makhluk-Nya dalam pengertian metafisik. Dan dari sekian makhluk Tuhan, hanya hati seorang Insan Kamil-lah yang paling mampu menangkap lalu memancarkan tajalli-Nya dalam perilaku kemanusiaan.

Dalam konteks inilah, menurut Ibn 'Arabi, yang dimaksudkan dengan ungkapan siapa yang mengetahui jiwanya, ia akan mengetahui Tuhannya karena manusia adalah "microcosmos" atau jagad cilik di mana 'arsy Tuhan berada di situ, tetapi Tuhan bukan pengertian huwiyah-Nya atau "ke-Dia-annya" yang Maha Absolut dan Maha Esa, melainkan Tuhan dalam sifat-Nya yang Dhahir, bukannya Yang Bathin.

(mhy)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2031 seconds (0.1#10.140)