Kisah Mualaf Amerika Idris Diaz Pergi Haji Dibiayai Orang Yahudi
loading...
A
A
A
Mualaf asal Amerika Serikat ini memutuskan memilih nama Idris Diaz, setelah tiga kali ganti nama. Ia dibesarkan di Jamaica, Queens. Idris Diaz menceritakan dirinya pergi haji sembari tugas jurnalistik atas biaya bosnya yang beragama Yahudi .
Kini dia menjadi pengacara internasional dengan pengalaman lebih dari 20 tahun. Ia memberi nasihat kepada organisasi tentang cara menavigasi tantangan hukum, peraturan, dan praktis untuk mencapai tujuan mereka. Jauh sebelum itu dia adalah seorang wartawan.
Steven Barbosa dalam bukunya berjudul "American Jihad, Islam After Malcolm X" menuturkan di lingkungan kerjanya Diaz selalu menemukan bahwa dirinya adalah satu-satunya orang yang beragama Islam. Sebagai staf ahli, para wartawan dan editor sering meneleponnya di rumah sewaktu-waktu untuk meminta sarannya ketika mengulas berita tentang agama Islam.
Pengalaman itu memberikan kesadaran kepadanya tentang kelemahan-kelemahan media tersebut dalam pemberitaan mengenai Islam. "Saya pikir mereka tidak peka dalam melukiskan kaum Muslimin. Lihatlah pemboman World Trade Center," katanya. "Anda melihat banjir berita yang membicarakan tentang orang-orang Muslim sebagai ancaman. Anda tidak akan mendapatkan gambaran bahwa ada sisi lain dari agama tersebut."
Diaz sempat menulis tentang kisah hidupnya: yang mengulas pengalamannya sendiri dalam melaksanakan ibadah haji. Dia melukiskan tentang peristiwa haji tahunan kepada para pembaca dengan meminta mereka membayangkan seluruh penduduk Philadelphia pergi ke kota Allentown selama beberapa minggu.
Berjudul "For the Love of Allah," artikel tersebut menghiasi halaman muka The Philadelphia Inquirer Magazine edisi 2 April 1989.
Dia berbicara mengenai ibadah hajinya yang 'membukakan mata' dan apa yang menyebabkannya.
Berikut penuturan Idris Diaz tentang dirinya sebagaimana dinukil buku yang telah diterjemahkan Sudirman Teba dan Fettiyah Basri menjadi "Jihad Gaya Amerika, Islam Setelah Malcolm X" (Mizan, 1995).
Ayah saya orang Honduras berkulit hitam, dan ibu saya berasal dari New Orleans. Saya dahulu seorang pembantu upacara sembahyang di gereja, tetapi semua ajaran Jesus tidak pernah bisa saya terima. Ajaran trinitas tidak pernah saya ikuti.
Saya pikir ajaran itu sangat sulit diterima oleh kaum intelektual yang sadar, ajaran itu menimbulkan pertanyaan besar, yaitu: Mengapa saya harus berbicara lewat perantara? Saya ingin berbicara secara langsung kepada Yang Agung.
Saya bersekolah di sekolah Katolik. Saya pernah dikecewakan ketika berusia empat belas tahun. Saat itu saya berjumpa dengan seorang rekan yang kira-kira sepuluh tahun lebih tua dari saya. Dia sudah menjadi Muslim. Dia sangat hebat dan bersemangat. Dia selalu mengenakan jubah, dan istrinya selalu berjalan sepuluh langkah di belakangnya. Ada beberapa segi dari orang itu yang menakutkan saya.
Saya berusia lima belas tahun ketika memeluk agama Islam, dan saya tidak dapat mengatakan bahwa saya benar-benar mengerti apa yang saya lakukan. Saya benar-benar tidak ingin menjadi seperti orang itu.
Bagi saya, selalu ada pencarian yang terus menerus, selalu berusaha untuk menemukan tempat dalam agama Islam. Anda harus berpegang pada apa yang Anda temukan dalam Al-Quran dan tidak bersandar pada apa yang dikatakan orang-orang pada Anda. Anda harus membuatnya sesuai bagi diri Anda. Saya masih berjuang dengan hal ini.
Karena agama ini begitu baru, selalu ada kecenderungan untuk mempersoalkan segala sesuatu: Bolehkah saya mengirim kartu selamat pada hari Natal? Itu merupakan persoalan. Beberapa orang menjadi sangat cemas pada hal-hal yang sebenarnya tidak perlu menjadi persoalan. Saya menyukai kartu Natal.
Saya mengubah nama saya menjadi Idris Abdul-Ghani sekitar tahun 1983, kemudian saya pindah ke daerah Selatan. Saya tinggal di Kentucky dengan menggunakan nama tersebut. Orang-orang secara otomatis mengira saya seorang Arab.
Seseorang menulis surat kepada editor, mengeluhkan adanya orang asing dalam staf --apakah tidak ada orang Amerika yang baik untuk bekerja di koran itu? Dan ketika Indira Gandhi ditembak, saya menjumpai beberapa orang datang dan menanyakan pada saya apakah beliau ibu saya atau keluarga saya.
Saya kira peristiwa-peristiwa ini membuat saya sadar akan persoalan tertentu, ya, saya ingin menegaskan identitas Islam saya. Masalah ini tidak sepenuhnya inkonsisten dengan identitas saya sebagai orang kulit hitam Amerika, dan saya tidak ingin kehilangan identitas Latin saya.
Setelah memikirkannya dengan mendalam, akhirnya saya mengubah nama saya lagi menjadi Idris Diaz. Hal itu menciptakan ketenangan dalam keluarga saya --ibu saya agak keberatan ketika tahu bahwa saya menjadi seorang Muslim.
Kini dia menjadi pengacara internasional dengan pengalaman lebih dari 20 tahun. Ia memberi nasihat kepada organisasi tentang cara menavigasi tantangan hukum, peraturan, dan praktis untuk mencapai tujuan mereka. Jauh sebelum itu dia adalah seorang wartawan.
Steven Barbosa dalam bukunya berjudul "American Jihad, Islam After Malcolm X" menuturkan di lingkungan kerjanya Diaz selalu menemukan bahwa dirinya adalah satu-satunya orang yang beragama Islam. Sebagai staf ahli, para wartawan dan editor sering meneleponnya di rumah sewaktu-waktu untuk meminta sarannya ketika mengulas berita tentang agama Islam.
Pengalaman itu memberikan kesadaran kepadanya tentang kelemahan-kelemahan media tersebut dalam pemberitaan mengenai Islam. "Saya pikir mereka tidak peka dalam melukiskan kaum Muslimin. Lihatlah pemboman World Trade Center," katanya. "Anda melihat banjir berita yang membicarakan tentang orang-orang Muslim sebagai ancaman. Anda tidak akan mendapatkan gambaran bahwa ada sisi lain dari agama tersebut."
Diaz sempat menulis tentang kisah hidupnya: yang mengulas pengalamannya sendiri dalam melaksanakan ibadah haji. Dia melukiskan tentang peristiwa haji tahunan kepada para pembaca dengan meminta mereka membayangkan seluruh penduduk Philadelphia pergi ke kota Allentown selama beberapa minggu.
Berjudul "For the Love of Allah," artikel tersebut menghiasi halaman muka The Philadelphia Inquirer Magazine edisi 2 April 1989.
Dia berbicara mengenai ibadah hajinya yang 'membukakan mata' dan apa yang menyebabkannya.
Berikut penuturan Idris Diaz tentang dirinya sebagaimana dinukil buku yang telah diterjemahkan Sudirman Teba dan Fettiyah Basri menjadi "Jihad Gaya Amerika, Islam Setelah Malcolm X" (Mizan, 1995).
Ayah saya orang Honduras berkulit hitam, dan ibu saya berasal dari New Orleans. Saya dahulu seorang pembantu upacara sembahyang di gereja, tetapi semua ajaran Jesus tidak pernah bisa saya terima. Ajaran trinitas tidak pernah saya ikuti.
Saya pikir ajaran itu sangat sulit diterima oleh kaum intelektual yang sadar, ajaran itu menimbulkan pertanyaan besar, yaitu: Mengapa saya harus berbicara lewat perantara? Saya ingin berbicara secara langsung kepada Yang Agung.
Saya bersekolah di sekolah Katolik. Saya pernah dikecewakan ketika berusia empat belas tahun. Saat itu saya berjumpa dengan seorang rekan yang kira-kira sepuluh tahun lebih tua dari saya. Dia sudah menjadi Muslim. Dia sangat hebat dan bersemangat. Dia selalu mengenakan jubah, dan istrinya selalu berjalan sepuluh langkah di belakangnya. Ada beberapa segi dari orang itu yang menakutkan saya.
Saya berusia lima belas tahun ketika memeluk agama Islam, dan saya tidak dapat mengatakan bahwa saya benar-benar mengerti apa yang saya lakukan. Saya benar-benar tidak ingin menjadi seperti orang itu.
Bagi saya, selalu ada pencarian yang terus menerus, selalu berusaha untuk menemukan tempat dalam agama Islam. Anda harus berpegang pada apa yang Anda temukan dalam Al-Quran dan tidak bersandar pada apa yang dikatakan orang-orang pada Anda. Anda harus membuatnya sesuai bagi diri Anda. Saya masih berjuang dengan hal ini.
Karena agama ini begitu baru, selalu ada kecenderungan untuk mempersoalkan segala sesuatu: Bolehkah saya mengirim kartu selamat pada hari Natal? Itu merupakan persoalan. Beberapa orang menjadi sangat cemas pada hal-hal yang sebenarnya tidak perlu menjadi persoalan. Saya menyukai kartu Natal.
Saya mengubah nama saya menjadi Idris Abdul-Ghani sekitar tahun 1983, kemudian saya pindah ke daerah Selatan. Saya tinggal di Kentucky dengan menggunakan nama tersebut. Orang-orang secara otomatis mengira saya seorang Arab.
Seseorang menulis surat kepada editor, mengeluhkan adanya orang asing dalam staf --apakah tidak ada orang Amerika yang baik untuk bekerja di koran itu? Dan ketika Indira Gandhi ditembak, saya menjumpai beberapa orang datang dan menanyakan pada saya apakah beliau ibu saya atau keluarga saya.
Saya kira peristiwa-peristiwa ini membuat saya sadar akan persoalan tertentu, ya, saya ingin menegaskan identitas Islam saya. Masalah ini tidak sepenuhnya inkonsisten dengan identitas saya sebagai orang kulit hitam Amerika, dan saya tidak ingin kehilangan identitas Latin saya.
Setelah memikirkannya dengan mendalam, akhirnya saya mengubah nama saya lagi menjadi Idris Diaz. Hal itu menciptakan ketenangan dalam keluarga saya --ibu saya agak keberatan ketika tahu bahwa saya menjadi seorang Muslim.