Kisah Mualaf Amerika Idris Diaz Pergi Haji Dibiayai Orang Yahudi
loading...
A
A
A
Kerusuhan di Mekkah
Di Philadelphia Inquirer, saya memohon agar saya ditugaskan ke luar negeri. Pada 1987, terjadi kerusuhan yang hebat di Mekkah. Terjadi pertempuran antara orang Iran dan orang Saudi, dan sekitar 400 orang tewas. Tidak ada berita yang mengulas dengan bagus apa yang terjadi di sana, karena Mekkah merupakan kota yang tertutup, dan Anda tidak mendapatkan apa-apa kecuali yang disiarkan oleh pihak Saudi.
Pada 1988 Saudi dan Iran terlibat pertengkaran lagi, dan terjadi perang kata-kata yang hebat. Pada dasarnya pemerintah Saudi mencoba membatasi jumlah jamaah haji Iran. Ada kekhawatiran bahwa peristiwa 1987 akan terjadi lagi. Karena itu editor luar negeri mendatangi meja saya dan berkata, Apakah Anda tidak keberatan untuk pergi?
Saya memandang kepadanya, tidak percaya. Saya mau berangkat besok pagi! Walaupun saya harus mengambil waktu untuk memikirkannya terlebih dahulu. Saya tidak tahu apakah beribadah haji atas biaya orang lain akan menodai ibadah tersebut.
Saya bertanya pada seorang sarjana Islam di Howard University. Dia berkata bahwa ibadah haji boleh dilakukan sambil melakukan perdagangan atau mengendalikan bisnis. Ketika Anda sampai di Mekkah, katanya lagi, Anda akan melihat orang-orang yang datang dan menjual sesuatu. Mereka melakukan perdagangan mereka dan Anda menjalankan tugas Anda. Hal itu lumrah saja.
Tujuan kepergian saya ke sana pertama-tama adalah untuk mengulas apa yang mungkin terjadi secara politis. Apa jadinya jika saya pergi dan ternyata keadaan tenang-tenang saja? Apa pun yang terjadi, saya harus kembali dengan membawa kisah tertentu.
Saya pergi dan keadaan sangat tenang, tetapi ada pemandangan yang sungguh asing --percampuran aktivitas agama dan militer. Serdadu di mana-mana. Saya berjalan menuju Masjid Nabawi di Madinah, yang merupakan tempat suci kedua dalam agama Islam.
Di dalamnya terdapat makam Nabi Muhammad SAW. Banyak rahmat yang dapat diraih dengan mengunjungi tempat tersebut. Ada pagar besi di sekeliling makam itu, dan tempat itu benar-benar dikelilingi oleh serdadu yang membawa senapan mesin ringan.
Situasi sangat tegang; orang-orang sangat berhasrat untuk dapat masuk ke dalam masjid paling dahulu agar dapat sedekat mungkin dengan bagian depan masjid itu.
Di dekat saya, sekelompok orang Muslim Afrika Barat mengobrol dalam bahasa Hausa sambil menggulir tasbih hitam mereka. Para wanita berdiri di salah satu sisi, menanti untuk memasuki masjid melalui pintu yang terpisah.
Beberapa di antara mereka menutup tubuhnya dari kepala sampai kaki dengan pakaian berwarna hitam. Beberapa yang lain, khususnya wanita-wanita Afrika, mengenakan pakaian berwarna cerah dan memakai gelang emas yang berkilauan, rambut mereka hanya ditutup sebagian dengan kerudung yang tipis.
Setelah beberapa menit, suara azan berkumandang dari pengeras suara di dalam masjid, "Allahu Akbar". Allah Mahabesar. Pintu kayu masjid yang tinggi dibuka, dan para jamaah menanggalkan sepatu mereka, menurut kebiasaan yang berlaku, dan mendesak masuk ke dalam dengan suatu gerakan yang cepat.
Setelah dilakukan penggeledahan sambil lalu yang dilakukan salah seorang penjaga, saya mendesak masuk ke dalam dan merebut tempat di dekat tiang pualam berwarna putih. Dalam beberapa menit masjid itu telah penuh sesak.
Anda harus menjalani penggeledahan setiap kali akan memasuki masjid. Sholat subuh dilakukan pada pukul lima pagi, tetapi Anda sudah harus sampai di sana pukul tiga supaya bisa masuk ke bagian dalam masjid.
Setelah beberapa hari, saya memperhatikan para serdadu itu. Saya menyadari bahwa seluruh keadaan politik itu tidak relevan dengan apa yang seharusnya saya kerjakan.
Saya pergi bersama sebuah kelompok yang sebagian besarnya adalah orang-orang Mesir. Hal itu mengingatkan saya pada salah satu bab dari buku The Autobiography of Malcolm X di mana Malcolm berbicara mengenai ibadah hajinya dan bagaimana orang-orang memperlakukannya sebagai seorang saudara.
Kisah itu benar-benar sama seperti yang saya alami. Kemana pun saya pergi, saya temukan kebaikan yang sama. Orang-orang mengundang saya untuk makan atau duduk bersama mereka.
Baca Juga
Sebagaimana berjuta-juta jemaah haji sebelum kami, kelompok saya mengadakan perjalanan bersama melewati hari-hari dalam sebuah tenda dari kain terpal bergaris-garis hitam-puitih.