Kisah Sufi Bahauddin an-Naqsyabandi: Khasiat Darah Manusia

Minggu, 11 Desember 2022 - 18:56 WIB
loading...
Kisah Sufi Bahauddin an-Naqsyabandi: Khasiat Darah Manusia
Bagaimana orang atau bayi yang tercela bisa disucikan dalam sekejap, misalnya cukup dengan mendatangi dan menyentuh seorang guru agung, seperti dikisahkan dalam banyak cerita? Foto/Ilustrasi: Is
A A A
Maulana Bahauddin an-Naqsyabandi (1318 – 1389) adalah pendiri tariqat Naqsyabandi, yang merupakan salah satu tariqat yang cukup besar dan berpengaruh dalam gerakan tasawuf. Suatu kali beliau ditanya, "Bagaimana orang atau bayi yang tercela bisa disucikan dalam sekejap, misalnya cukup dengan mendatangi dan menyentuh seorang guru agung, seperti dikisahkan dalam banyak cerita?"

Sang Maulana menuturkan kisah berikut sebagai jawaban, sambil mengatakan bahwa metode ini menyerupai jalan tak langsung dalam spiritualisasi. Kisah ini dinukil Idries Shah dalam Tales of The Dervishes yang diterjemahkan Ahmad Bahar menjadi Harta Karun dari Timur Tengah - Kisah Bijak Para Sufi.



Seorang raja pada masa kerajaan Byzantium yang agung menderita suatu penyakit mematikan yang tak satu tabib pun mampu menyembuhkannya. Raja itu mengirim utusan ke setiap negeri untuk mencari obat yang manjur untuk penyakitnya. Salah seorang utusannya sampai ke madrasah Al-Ghazali yang Agung, seorang Sufi yang konon merupakan salah satu orang suci terkemuka di Timur. Al-Ghazali menyuruh seorang muridnya mengadakan perjalanan ke Konstantinopel.

Ketika murid bernama Al-Arif itu tiba, ia segera dibawa ke istana dan diperlakukan dengan sangat baik. Raja pun memohon agar Al-Arif mengobati penyakitnya. Syeh Al-Arif menanyakan macam obat yang telah diminum raja, dan yang rencananya akan dicoba kemudian. Kemudian, ia memeriksa pasiennya.

Akhirnya, ia meminta agar semua pegawai istana dipanggil, dan ia akan mengatakan cara pengobatan yang mungkin dilakukan.

Ketika semua orang-orang terhormat di kerajaan itu sudah berkumpul, Sufi itu berkata, "Raja kalian sebaiknya menggunakan iman."

"Raja kami memiliki iman," kata seorang pendeta, "namun sejauh ini tidak memberi hasil."

"Kalau begitu," kata Sang Sufi, "aku terpaksa memberitahu bahwa hanya ada satu obat di bumi yang bisa menyelamatkan raja. Tetapi, aku tak mau mengatakannya, sebab obat itu sungguh mengerikan."

Tetapi, para pejabat itu membujuk, mendesak, menjanjikan kekayaan, dan bahkan mengancamnya. Kemudian, darwis itu pun berkata, "Raja akan sembuh bila ia mandi dalam darah beberapa ratus anak berusia kurang dari tujuh tahun."



Ketika kebingungan dan ketakutan yang muncul karena perkataan tersebut telah surut, para penasihat kerajaan memutuskan bahwa pengobatan tersebut layak dicoba. Memang, beberapa orang mengatakan bahwa tak sepantasnya mereka melakukan perbuatan barbar seperti itu atas saran seorang asing yang asal-usulnya diragukan. Tetapi, mayoritas hadirin menganggap bahwa setiap resiko mesti dihadapi demi menyelamatkan nyawa raja yang sangat dipuja dan dihormati itu.

Mereka membujuk raja, yang keberatan, dengan mengatakan, "Yang Mulia tidak punya hak untuk menolak, sebab penolakan itu akan menghancurkan kerajaan ini yang bagaimanapun lebih bernilai daripada semua rakyatnya, apalagi hanya sejumlah anak kecil."

Demikianlah diumumkan ke seluruh negeri bahwa beberapa ratus anak di Byzantium yang berusia kurang dari tujuh tahun harus dibawa ke Konstantinopel untuk dikorbankan buat kesehatan sang raja.

Ibu-ibu dari anak-anak yang dirampas itu mengutuk raja, sebab ia telah menjadi monster yang meminta darah daging mereka untuk keselamatannya dirinya. Tetapi, beberapa di antara mereka berdoa agar raja sembuh sebelum tiba waktu penyembelihan anak-anak mereka.



Sang raja sendiri, setelah beberapa waktu lewat, mulai merasa bahwa ia tak boleh mengizinkan pembantaian serupa itu terhadap anak-anak kecil, dengan dalih apa pun. Pergulatan itu menyiksa batinnya siang dan malam hingga ia sampai pada satu tekad, "Aku lebih baik mati dari pada melihat anak-anak tak berdosa itu mati."

Tak lama setelah raja itu bertekad demikian, rasa sakit yang ia derita mulai berkurang, dan segera saja kesehatannya pulih kembali. Mereka yang berpikiran dangkal seketika menyimpulkan bahwa raja menuai hasil dari tekad baiknya, yang lain, seperti juga mereka yang dangkal, menghubungkan kesembuhan raja dengan doa para ibu tadi, yang menggerakkan kekuatan Ilahi.

Ketika Sufi Al-Arif ditanya tentang hal ihwal kesembuhan penyakit tersebut, ia berkata, "Karena raja tidak mempunyai iman, ia harus memiliki sesuatu yang sepadan. Sesuatu itu adalah gabungan antara tekadnya sendiri dan harapan mulia para ibu yang ingin agar penyakit raja sembuh sebelum waktu tertentu."

Dan para pencemooh di antara penduduk Byzantium berkata, "Sungguh suatu takdir istimewa dari Tuhan bahwa sang raja sembuh atas doa-doa suci, sebelum resep dari orang Arab yang haus darah itu dicoba. Tidakkah jelas bahwa orang itu hanya berusaha melenyapkan bunga muda kita, yang jika tidak dilenyapkan akan tumbuh, dan pada suatu hari nanti akan memerangi bangsanya?"
Halaman :
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2398 seconds (0.1#10.140)