Biografi Ibnu Aqil, Penulis Kitab Terbesar dalam Islam dan Kisahnya yang Unik
loading...
A
A
A
Berikut biografi ulama penulis Kitab Al-Funun, kitab terbesar dan paling tebal dalam sejarah Islam. Kitab ini ditulis Ibnu 'Aqil, seorang ulama besar Hanbali asal Baghdad.
Dalam sejarah karya ulama, Kitab Al-Funun disebut sebagai kitab paling fenomenal karena isinya memuat 400 cabang ilmu. Kitab ini terdiri 800 jilid dan jika dijejerkan panjangnya bisa mencapai 40 meter.
Pengasuh Ma'had Subuluna Bontang Kalimantan Timur KH Ahmad Syahrin Thoriq mengatakan, Kitab Al-Funun merupakan maha karya ulama yang belum ada tandingannya hingga hari ini.Berikut biografi singkat Ibnu Aqil:
1. Ditulis Oleh Ulama yang Zuhud
Penulis Kitab Al-Funun dikenal sebagai ulama yang zuhud. Beliau adalah Imam Abu Wafa' Ali bin Aqil Al-Hanbali rahimahullah atau dikenal dengan Ibnu Aqil (431-513 Hijriyah). Ulama yang zuhud, dermawan dan memiliki segudang karya. Imam Ibnu Hajar rahimahullah berkata tentangnya:
أحد الأعلام وفرد زمانه علما ونقلا وذكاء وتفننا... من كبار الأئمة
"Salah seorang ulama paling alim, yang jarang ada bandingannya di zamannya. Orang yang berilmu, menjadi rujukan dan sangat cerdas. Termasuk dari pemukanya para imam." [Lisan al Mizan (5/563)]
Imam Ibnu Jauzi rahimahullah berkata:
كان ابن عقيل دينا، حافظا للحدود، فظهر منه من الصبر ما يتعجب منه، وكان كريما ينفق ما يجد، وما خلف سوى كتبه وثياب بدنه
"Ibnu Aqil orang yang kuat dalam beragama dan sangat menjaga hukum-hukum agama. Telah nampak pada dirinya sifat sabar yang mengagumkan. Ia orang yang dermawan karena selalu menginfaqkan apapun yang ia miliki. Saat meninggal, ia tidak mewariskan kecuali kitab-kitab dan baju yang melekat di badannya." [Siyar A'lam Nubala (19/446)]
Beliau juga berkata: "Dia memiliki keunikan sendiri dalam karyanya, imam di zamannya yang nampak jelas kebaikannya." (Siyar A'lam Nubala)
2. Memiliki Nama yang Sama dengan Ulama Syam
Banyak yang keliru mengira bahwa beliau ulama yang mensyarah Alfiah Ibnu Malik, sebuah nadzam ilmu nahwu yang sangat terkenal itu.Padahal Syarah Ibnu 'Aqil itu merupakan karya ulama lain yang kebetulan namanya sama dengan beliau, yakni Ibnu Aqil. Nama aslinya Abdullah bin Abdurrahman, ulama Syam yang wafat tahun 769 H. Terpaut jauh dengan Ibnu Aqil Al-Hanbali yang wafat pada Tahun 513 H.
3. Taubat dari Paham Mu'tazilah
Di awal kehidupannya sempat terpengaruh oleh arus pemikian aliran Mu'tazilah, lalu beliau bertaubat dan kembali ke pemahaman Ahlusunnah wal Jama'ah. Ibnu Atsir rahimahullah berkata:
كان قد اشتغل بمذهب المعتزلة في حداثته على ابن الوليد، فأراد الحنابلة قتله، فاستجار بباب المراتب عدة سنين، ثم أظهر التوبة
"Di masa mudanya ia sempat sibuk dengan Mazhab Mu'tazilah asuhan Ali bin Walid. Sehingga kalangan Hanabilah ingin membunuhnya. Lalu ia minta perlindungan ke pemerintah beberapa tahun, hingga ia menyatakan taubatnya." (Tarikh Ibnu Atsir)
4. Punya Kecerdasan Luar Biasa
Ibnu Hajar Al-Asqalani berkata: "Beliau ini termasuk ulama besar. Memang benar, dulunya Ibnu Aqil penganut paham Mu'tazilah. Akan tetapi, beliau telah menyatakan diri bertaubat. Taubatnya pun sungguh-sungguh. Bahkan, beliau menulis kitab untuk membantah kaum mu'tazilah." [Lisanul Mizan (4/243)]
Karena kecerdasannya yang luar biasa, ketika ia masih teracuni oleh pemikiran Mu'tazilah sekalipun, tak ada satupun orang yang bisa mengalahkannya dalam perdebatan. Imam adz Dzahabi berkata:
لم يكن له في زمانه نظير على بدعته
"Tidak ada di zamannya yang bisa mendebat untuk membantah kebid'ahannya." [Siyar A’lam an Nubala (19/445)]
5. Dikenal Sebagai Orang Sangat Teliti
Ibnu Aqil dikenal sebagai orang yang sangat teliti dan hati-hati dalam menggunakan waktunya. Bahkan agar maksimal dalam ibadah, khususnya dalam menyusun karya-karyanya, sang imam memangkas beberapa aktivitas yang sebenarnya juga tidak terlalu memakan waktu, seperti makan, minum dan ke toilet. Beliau berkata:
وأنا أقصر بغاية جهدي أوقات أكلي، حتى أختار سف الكعك وتحسيه بالماء على الخبز، لأجل ما بينهما من تفاوت المضغ، توفرا على مطالعة، أو تسطير فائدة لم أدركها فيه
"Sebisa mungkin aku meringkas waktu makan, sehingga aku memakan kue yang telah dicelup dengan air dari pada roti kering. Karena ada selisih waktu yang dibutuhkan antara keduanya untuk dikunyah. Supaya waktuku untuk mentela’ah ilmu lebih optimal, dan mengejar faidah ilmu yang tertinggal." [Qaimah az Zaman ‘indal Ulama hal 54]
Dalam sejarah karya ulama, Kitab Al-Funun disebut sebagai kitab paling fenomenal karena isinya memuat 400 cabang ilmu. Kitab ini terdiri 800 jilid dan jika dijejerkan panjangnya bisa mencapai 40 meter.
Pengasuh Ma'had Subuluna Bontang Kalimantan Timur KH Ahmad Syahrin Thoriq mengatakan, Kitab Al-Funun merupakan maha karya ulama yang belum ada tandingannya hingga hari ini.Berikut biografi singkat Ibnu Aqil:
1. Ditulis Oleh Ulama yang Zuhud
Penulis Kitab Al-Funun dikenal sebagai ulama yang zuhud. Beliau adalah Imam Abu Wafa' Ali bin Aqil Al-Hanbali rahimahullah atau dikenal dengan Ibnu Aqil (431-513 Hijriyah). Ulama yang zuhud, dermawan dan memiliki segudang karya. Imam Ibnu Hajar rahimahullah berkata tentangnya:
أحد الأعلام وفرد زمانه علما ونقلا وذكاء وتفننا... من كبار الأئمة
"Salah seorang ulama paling alim, yang jarang ada bandingannya di zamannya. Orang yang berilmu, menjadi rujukan dan sangat cerdas. Termasuk dari pemukanya para imam." [Lisan al Mizan (5/563)]
Imam Ibnu Jauzi rahimahullah berkata:
كان ابن عقيل دينا، حافظا للحدود، فظهر منه من الصبر ما يتعجب منه، وكان كريما ينفق ما يجد، وما خلف سوى كتبه وثياب بدنه
"Ibnu Aqil orang yang kuat dalam beragama dan sangat menjaga hukum-hukum agama. Telah nampak pada dirinya sifat sabar yang mengagumkan. Ia orang yang dermawan karena selalu menginfaqkan apapun yang ia miliki. Saat meninggal, ia tidak mewariskan kecuali kitab-kitab dan baju yang melekat di badannya." [Siyar A'lam Nubala (19/446)]
Beliau juga berkata: "Dia memiliki keunikan sendiri dalam karyanya, imam di zamannya yang nampak jelas kebaikannya." (Siyar A'lam Nubala)
2. Memiliki Nama yang Sama dengan Ulama Syam
Banyak yang keliru mengira bahwa beliau ulama yang mensyarah Alfiah Ibnu Malik, sebuah nadzam ilmu nahwu yang sangat terkenal itu.Padahal Syarah Ibnu 'Aqil itu merupakan karya ulama lain yang kebetulan namanya sama dengan beliau, yakni Ibnu Aqil. Nama aslinya Abdullah bin Abdurrahman, ulama Syam yang wafat tahun 769 H. Terpaut jauh dengan Ibnu Aqil Al-Hanbali yang wafat pada Tahun 513 H.
3. Taubat dari Paham Mu'tazilah
Di awal kehidupannya sempat terpengaruh oleh arus pemikian aliran Mu'tazilah, lalu beliau bertaubat dan kembali ke pemahaman Ahlusunnah wal Jama'ah. Ibnu Atsir rahimahullah berkata:
كان قد اشتغل بمذهب المعتزلة في حداثته على ابن الوليد، فأراد الحنابلة قتله، فاستجار بباب المراتب عدة سنين، ثم أظهر التوبة
"Di masa mudanya ia sempat sibuk dengan Mazhab Mu'tazilah asuhan Ali bin Walid. Sehingga kalangan Hanabilah ingin membunuhnya. Lalu ia minta perlindungan ke pemerintah beberapa tahun, hingga ia menyatakan taubatnya." (Tarikh Ibnu Atsir)
4. Punya Kecerdasan Luar Biasa
Ibnu Hajar Al-Asqalani berkata: "Beliau ini termasuk ulama besar. Memang benar, dulunya Ibnu Aqil penganut paham Mu'tazilah. Akan tetapi, beliau telah menyatakan diri bertaubat. Taubatnya pun sungguh-sungguh. Bahkan, beliau menulis kitab untuk membantah kaum mu'tazilah." [Lisanul Mizan (4/243)]
Karena kecerdasannya yang luar biasa, ketika ia masih teracuni oleh pemikiran Mu'tazilah sekalipun, tak ada satupun orang yang bisa mengalahkannya dalam perdebatan. Imam adz Dzahabi berkata:
لم يكن له في زمانه نظير على بدعته
"Tidak ada di zamannya yang bisa mendebat untuk membantah kebid'ahannya." [Siyar A’lam an Nubala (19/445)]
5. Dikenal Sebagai Orang Sangat Teliti
Ibnu Aqil dikenal sebagai orang yang sangat teliti dan hati-hati dalam menggunakan waktunya. Bahkan agar maksimal dalam ibadah, khususnya dalam menyusun karya-karyanya, sang imam memangkas beberapa aktivitas yang sebenarnya juga tidak terlalu memakan waktu, seperti makan, minum dan ke toilet. Beliau berkata:
وأنا أقصر بغاية جهدي أوقات أكلي، حتى أختار سف الكعك وتحسيه بالماء على الخبز، لأجل ما بينهما من تفاوت المضغ، توفرا على مطالعة، أو تسطير فائدة لم أدركها فيه
"Sebisa mungkin aku meringkas waktu makan, sehingga aku memakan kue yang telah dicelup dengan air dari pada roti kering. Karena ada selisih waktu yang dibutuhkan antara keduanya untuk dikunyah. Supaya waktuku untuk mentela’ah ilmu lebih optimal, dan mengejar faidah ilmu yang tertinggal." [Qaimah az Zaman ‘indal Ulama hal 54]