Mualaf Inggris Itu Pengarang Kisah Laila and Majnun, Begini Perjalanan Rohaninya
loading...
A
A
A
Ketergantungan saya kepada Al-Qur'an terbukti kalau saya katakan bahwa salah satu kenangan yang paling berkesan pada jiwa saya ialah cerita 1001 malam mengenai seorang pemuda yang kedapatan hidup menyendiri di tengah kota mati. Dia membaca Al-Qur'an tanpa memperdulikan sekitarnya. Waktu itulah di Swiss saya benar-benar telah menyerah kepada kehendak Allah SWT. Tegasnya saya telah menjadi orang Islam.
Sesudah perang selesai, saya kembali ke London pada bulan Desember 1918, dan kurang lebih tiga tahun kemudian, yakni pada tahun 1921 saya mengikuti kuliah sastra pada London University. Di antara mata kuliah yang banyak itu, saya pilih sastra Arab yang saya pernah ikuti kuliahnya di King's College.
Di sinilah pada suatu hari profesor saya dalam bahasa Arab, Mr. Belshah dari Irak menerangkan tentang Al-Qur'an. Beliau berkata: "Tuan percaya atau tidak, pasti Tuan akan menemukan Al-Qur'an sebagai Kitab yang menarik dan patut dipelajari."
Saya menjawab: "Tapi saya sungguh-sungguh percaya kepadanya."
Pernyataan saya ini telah mengagetkan dan sungguh-sungguh menarik perhatian Guru Besar saya itu. Setelah berbicara sebentar, beliau mengajak saya untuk bersamanya pergi ke Mesjid London di Notting Hill Gate.
Sesudah itu, saya berulang kali datang ke Mesjid itu, sehingga pengetahuan saya tentang peribadatan Islam semakin bertambah, dan sampailah saatnya pada permulaan tahun 1922 saya mengumumkan ke-Islaman saya dan menggabungkan diri dengan masyarakat Islam.
Hal itu telah berlalu lebih dari seperempat abad, dan sejak saat itulah saya hidup sebagai orang Islam, baik secara teori maupun praktik, sekuat kemampuan saya dalam hidup ini.
Kekuasaan, Hikmat dan Rahmat Allah SWT meliputi segala-galanya. Dan lapangan ilmu pengetahuan terbentang luas tanpa batas di hadapan saya, dan saya yakin bahwa "pakaian" yang paling cocok untuk dikenakan sepanjang hidup saya ini ialah penyerahan diri kepada Allah, kepala saya berserbankan tasbih dan tahmid dan hati saya penuh dengan rasa cinta kepada SATU PENGUASA TERTINGGI.
Wal-hamdu lillaahi Rabbil-'aalamiin!
Sesudah perang selesai, saya kembali ke London pada bulan Desember 1918, dan kurang lebih tiga tahun kemudian, yakni pada tahun 1921 saya mengikuti kuliah sastra pada London University. Di antara mata kuliah yang banyak itu, saya pilih sastra Arab yang saya pernah ikuti kuliahnya di King's College.
Baca Juga
Di sinilah pada suatu hari profesor saya dalam bahasa Arab, Mr. Belshah dari Irak menerangkan tentang Al-Qur'an. Beliau berkata: "Tuan percaya atau tidak, pasti Tuan akan menemukan Al-Qur'an sebagai Kitab yang menarik dan patut dipelajari."
Saya menjawab: "Tapi saya sungguh-sungguh percaya kepadanya."
Pernyataan saya ini telah mengagetkan dan sungguh-sungguh menarik perhatian Guru Besar saya itu. Setelah berbicara sebentar, beliau mengajak saya untuk bersamanya pergi ke Mesjid London di Notting Hill Gate.
Sesudah itu, saya berulang kali datang ke Mesjid itu, sehingga pengetahuan saya tentang peribadatan Islam semakin bertambah, dan sampailah saatnya pada permulaan tahun 1922 saya mengumumkan ke-Islaman saya dan menggabungkan diri dengan masyarakat Islam.
Hal itu telah berlalu lebih dari seperempat abad, dan sejak saat itulah saya hidup sebagai orang Islam, baik secara teori maupun praktik, sekuat kemampuan saya dalam hidup ini.
Kekuasaan, Hikmat dan Rahmat Allah SWT meliputi segala-galanya. Dan lapangan ilmu pengetahuan terbentang luas tanpa batas di hadapan saya, dan saya yakin bahwa "pakaian" yang paling cocok untuk dikenakan sepanjang hidup saya ini ialah penyerahan diri kepada Allah, kepala saya berserbankan tasbih dan tahmid dan hati saya penuh dengan rasa cinta kepada SATU PENGUASA TERTINGGI.
Wal-hamdu lillaahi Rabbil-'aalamiin!
(mhy)