Kisah Mualaf Asal Amerika Serikat Samir Gustavo Jerez Ungkap Terorisme Militer di Negerinya

Kamis, 10 November 2022 - 13:31 WIB
loading...
Kisah Mualaf Asal Amerika...
Pasukan Marinir AS: Memerangi teroris versi mereka? Foto/Ilustrasi: military.com
A A A
Mualaf asal Amerika Serikat Samir Gustavo Jerez mengungkap terorisme militer di Negeri Paman Sam tersebut. "Apakah ini gambaran terorisme global. Kenapa yang dipertontonkan hanya tentang Timur Tengah, padahal terorisme muncul di seluruh dunia?" protes Samir Gustavo Jerez, anggota marinir AS, kepada insrukturnya.

Samir Gustavo Jerez, lahir di New York dari keturunan Cuba dan Puerto Rico, masuk Islam ketika berpangkat E4 di pangkalan militer Camp Pedleton, California. Sebuah film yang disaksikannya dalam program latihan kemiliteran di Troop Info Day, telah mengusik keyakinan religiusnya.



Steven Barbosa dalam buku berjudul "American Jihad, Islam After Malcolm X" mengutip Muslim in the Military, sebuah organisasi yang bermarkas di Pentagon, menyebut pada 90% pangkalan militer AS di seluruh dunia ada anggota militer yang beragama Islam. Pada 1993, populasi umat Islam di angkatan bersenjata AS seluruhnya berjumlah sekitar 5.000 orang.

Samir Gustavo Jerez mengungkap bagaimana kampanye militer AS dalam memerangi apa yang mereka klaim sebagai teroris dalam buku yang diterjemahkan Sudirman Teba dan Fettiyah Basri dengan judul "Jihad Gaya Amerika, Islam Setelah Malcolm X", (Mizan, 1995) sebagai berikut:

Setiap orang dengan pangkat sersan atau yang lebih rendah wajib mengikuti rangkaian program pelatihan tertentu. Salah satu di antaranya adalah mengenai terorisme. Pelatihan itu diselenggarakan oleh angkatan laut, berupa pemutaran sebuah film dengan judul American Expose, diproduksi oleh Jack Anderson.

Film ini menggambarkan kaum Muslim, dan hanya kaum Muslim, sebagai teroris. Semestinya program ini memberi gambaran global tentang masalah terorisme di seluruh dunia. Nyatanya film itu lebih memfokuskan ke wilayah Timur Tengah.

Film dimulai dengan musik pembukaan dan tayangan potongan adegan orang-orang buntung yang anggota badannya berserakan di jalan, orang-orang ditembak dan ditikam. Orang-orang lainnya dipertontonkan bersimbah darah atau luka-luka. Sementara itu sekelompok lainnya tengah menangis, dan ironisnya, orang-orang yang menangis itu digambarkan sebagai Muslim, karena mengenakan hijab.

Adegan berikutnya adalah kaum Muslimin yang sedang menunaikan sholat berjamaah, diiringi dengan komentar bahwa era baru fundamentalisme kini sedang bangkit. Adegan orang-orang yang sedang sholat itu dimunculkan silih berganti dengan adegan ledakan bom dan tubuh hancur berkeping-keping, disusul dengan seorang perempuan yang menangisi tubuh korban.

Lantas ada komentar, "Kalau mereka bersedia mati untuk Tuhannya, mungkin kita perlu datang ke sana untuk menyelamatkan mereka."



Film itu benar-benar membuat darah saya mendidih. Selama empat puluh menit pertunjukan film itu, saya berusaha menahan diri untuk tidak meledak marah. Ketika di layar muncul seorang wanita tua bertubuh kecil sedang berjalan, naratornya berucap: "Dia bisa saja merupakan teroris berikutnya."

Begitu pula pada saat layar memperlihatkan gambar sekelompok anak-anak Muslim, si narator berkata, "Mereka boleh jadi merupakan teroris masa depan."

Begitu pemutaran film selesai, pertanyaan pertama yang diajukan adalah, "Bagaimana kalau kita angkat senjata dan hancurkan mereka?" Kalimat itu sunguh-sungguh membuat saya tersinggung. Jawabannya adalah sebuah respon sarkastik tentang perintah Presiden yang melarang pembunuhan.

Yang sedang saya ceritakan itu berkaitan dengan sekelompok anggota Marinir yang baru saja menonton adegan rekan-rekan mereka yang tewas akibat serangan bom bunuh diri di Beirut. Saya dapat merasakan apa-apa yang mereka rasakan. Saya mendengar ada yang berkomentar, "Rasanya kita benar-benar perlu turun tangan untuk menghancurkan mereka. Dengan begitu, dunia ini akan menjadi aman dan damai."

Sebenarnya sulit juga untuk menyalahkan mereka. Program-program pemutaran film semacam itu adalah satu-satunya sarana mereka untuk mengenal Islam dan Muslim. Dan terus terang, sebelum saya mengetahui apa-apa tentang Islam, ingin rasanya saya bertemu dengan salah satu teroris di sebuah pesawat dan membunuhnya sebelum mereka sempat membajak pesawat itu.

Lantas saya bertanya kepada instruktur, "Anda bilang bahwa Yaser Arafat adalah seorang teroris. Bagaimana dengan Mafia?"

"Mafia bukanlah teroris. Menurut pemerintah AS, terorisme diciptakan oleh Yaser Arafat pada 1968," jawab instruktur itu.



Merasa tak puas, saya menantangnya, "Anda yakin dengan pernyataan itu?"
Halaman :
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2960 seconds (0.1#10.140)