QS. Al-Isra Ayat 111

وَقُلِ الۡحَمۡدُ لِلّٰهِ الَّذِىۡ لَمۡ يَتَّخِذۡ وَلَدًا وَّلَمۡ يَكُنۡ لَّهٗ شَرِيۡكٌ فِى الۡمُلۡكِ وَلَمۡ يَكُنۡ لَّهٗ وَلِىٌّ مِّنَ الذُّلِّ‌ وَكَبِّرۡهُ تَكۡبِيۡرًا
Wa qulil hamdu lillaahil lazii lam yattakhiz waladanw wa lam yakul lahuu shariikun fil mulki wa lam yakul lahuu waliyyum minaz zulli wa kabbirhu takbiiraa
Dan katakanlah, "Segala puji bagi Allah yang tidak mempunyai anak dan tidak (pula) mempunyai sekutu dalam kerajaan-Nya dan Dia tidak memerlukan penolong dari kehinaan dan agungkanlah Dia seagung-agungnya.
Juz ke-15
Tafsir
Dan katakanlah wahai Nabi Muhammad, "Segala puji bagi Allah yang tidak mempunyai anak, sebagaimana dikatakan orang-orang Yahudi bahwa malaikat adalah anak-anak Allah, dan demikian pula dipercaya oleh orang-orang Nasrani bahwa Nabi Isa adalah anak Allah, dan tidak pula mempunyai sekutu dalam kerajaan-Nya, sebagaimana dipercaya oleh kaum musyrik yang percaya kepada tuhan-tuhan selain Allah, dan dengan demikian, Dia tidak memerlukan penolong dari kehinaan yang dilontarkan oleh siapa pun yang menghina-Nya. Hanya Dia saja yang Mahaagung dan oleh karena itu agungkanlah Dia seagung-agungnya.
Pada ayat ini Nabi diajari cara memuji Allah swt yang memiliki sifat-sifat kemahaesaan, kesempurnaan, dan keagungan. Oleh karena itu, hanya Allah yang berhak menerima segala macam pujian-pujian dan rasa syukur dari hamba dan makhluk-Nya atas segala nikmat yang diberikan kepada mereka.

Ayat ini menjelaskan tiga sifat bagi Allah swt:

Pertama: Bahwa sesungguhnya Allah tidak memiliki anak, karena siapa yang memiliki anak tentu tidak menikmati segala nikmat yang dia miliki, tetapi sebagian nikmat itu dipersiapkan untuk anaknya yang ditinggalkannya bilamana dia sudah meninggal dunia. Mahasuci Allah swt dari sifat demikian. Orang yang punya anak terhalang untuk menikmati seluruh haknya dalam segala keadaan. Oleh sebab itu, manusia tidak patut menerima pujian dari segala makhluk. Dengan ayat ini, Allah swt menjelaskan dan membantah pandangan orang Yahudi yang mengatakan 'Uzair putra Tuhan, juga pendapat orang Nasrani yang mengatakan bahwa Al-Masih putra Tuhan, atau anggapan orang-orang musyrikin bahwa malaikat-malaikat adalah putri-putri Tuhan.

Kedua: Bahwa sesungguhnya Allah swt tidak mempunyai sekutu dalam kerajaan-Nya. Jika sekutu-Nya ada, tentu sulit untuk menentukan mana di antara keduanya yang berhak menerima pujian, rasa syukur, dan pengabdian para makhluk. Salah satu di antara dua tuhan tadi tentu memerlukan pertolongan dari yang lainnya dan akhirnya tidak ada satupun tuhan yang berdiri sendiri dan berdaulat secara mutlak di atas alam ini.

Ketiga: Bahwa sesungguhnya tak seorang pun di antara orang-orang yang hina diberi Allah kekuasaan yang akan melindunginya dari musuh yang mengancamnya.

Demikianlah Allah swt suci dari segala sifat-sifat yang mengurangi kesempurnaan-Nya, agar para hamba-Nya tidak ragu memanjatkan doa, syukur, dan pujian kepada-Nya. Kemudian Nabi saw diperintahkan untuk mengagungkan-Nya, baik dengan perkataan maupun dengan perbuatan. Mengagungkan dan mensucikan Allah itu adalah sebagai berikut:

Pertama: Mengagungkan Allah swt pada Zat-Nya dengan meyakini bahwa Allah itu wajib ada-Nya karena Zat-Nya sendiri tidak membutuhkan sesuatu yang lain. Dia tidak memerlukan sesuatu dari wujud ini.

Kedua: Mengagungkan Allah swt pada sifat-Nya, dengan meyakini bahwa hanya Dialah yang memiliki segala sifat-sifat kesempurnaan dan jauh dari sifat-sifat kekurangan.

Ketiga: Mengagungkan Allah swt pada af'al-Nya (perbuatan-Nya) dengan meyakini bahwa tidak ada suatu pun yang terjadi dalam alam ini, melainkan sesuai dengan hikmah dan kehendak-Nya.

Keempat: Mengagungkan Allah swt pada hukum-hukum-Nya, dengan meyakini bahwa hanya Dialah yang menjadi Penguasa yang ditaati di alam semesta ini, dimana perintah dan larangan bersumber darinya. Tidak ada seorang pun yang dapat membatasi dan membatalkan segala ketentuan-Nya atas sesuatu. Dialah yang memuliakan dan Dia pula yang menghinakan orang-orang yang Dia kehendaki.

Kelima: Mengagungkan nama-nama-Nya, yaitu menyeru dan menyebut Allah dengan nama-nama yang baik (al-asma'ul husna). Tidak menyifati Tuhan melainkan dengan sifat-sifat kesucian dan kesempurnaan.
sumber: kemenag.go.id
Keterangan mengenai QS. Al-Isra
Surat ini terdiri atas 111 ayat, termasuk golongan surat-surat Makkiyyah. Dinamakan dengan Al Israa' yang berarti memperjalankan di malam hari, berhubung peristiwa Israa' Nabi Muhammad s.a.w. di Masjidil Haram di Mekah ke Masjidil Aqsha di Baitul Maqdis dicantumkan pada ayat pertama dalam surat ini. Penuturan cerita Israa' pada permulaan surat ini, mengandung isyarat bahwa Nabi Muhammad s.a.w. beserta umatnya kemudian hari akan mencapai martabat yang tinggi dan akan menjadi umat yang besar. Surat ini dinamakan pula dengan Bani Israil artinya keturunan Israil berhubung dengan permulaan surat ini, yakni pada ayat kedua sampai dengan ayat kedelapan dan kemudian dekat akhir surat yakni pada ayat 101 sampai dengan ayat 104, Allah menyebutkan tentang Bani Israil yang setelah menjadi bangsa yang kuat lagi besar lalu menjadi bangsa yang terhina karena menyimpang dari ajaran Allah s.w.t. Dihubungkannya kisah Israa' dengan riwayat Bani Israil pada surat ini, memberikan peringatan bahwa umat Islam akan mengalami keruntuhan, sebagaimana halnya Bani Israil, apabila mereka juga meninggalkan ajaran-ajaran agamanya.