Kapan Awal Puasa Ramadhan? Ini Penjelasannya

Rabu, 09 Mei 2018 - 16:08 WIB
Kapan Awal Puasa Ramadhan? Ini Penjelasannya
Kapan Awal Puasa Ramadhan? Ini Penjelasannya
A A A
JAKARTA - Fenomena yang sudah tidak asing dan mungkin bisa dikatakan ‘membosankan’ bagi umat Islam di Indonesia, biasa terjadi dalam penetapan tanggal 1 Ramadhan dan 1 Syawal.

Bagaimana sebenarnya penetapan awal bulan Ramadhan? Pengasuh Ponpes Al-Fachriyah Tangerang, Habib Ahmad bin Novel akan menjelaskannya secara rinci. Dalam hal ini, Habib Ahmad menjabarkan pendapat para pakar ilmu fiqih, yang lebih dikenal dengan sebutan Fuqoha.

Kata Habib Ahmad, setidaknya ada lima poin penting yang harus diketahui, dimana jika terdapat salah satunya, maka datanglah kewajiban berpuasa di bulan Ramadhan bagi setiap Muslim. Kelima poin tersebut adalah sebagai berikut:

1. Sempurnanya Bulan Sya’ban 30 Hari
Sebagaimana diketahui bahwa perhitungan bulan dalam syariat Islam antara 29 dan 30 hari. Sehingga ketika telah sempurna bulan Sya’ban 30 hari, dapat dipastikan bahwa keesokan harinya adalah awal masuknya bulan Ramadhan.

2. Terlihatnya Hilal
Sesuai sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam (SAW), yang diriwayatkan dalam kitab-kitab hadits, seperti Shohihul Bukhori dan Muslim yang artinya: “Berpuasalah kalian setelah terlihatnya hilal, dan berbukalah (berlebaran) setelah terlihatnya hilal. Kalaulah hilal tidak terlihat, maka kalian sempurnakanlah bulan Sya’ban menjadi 30 hari.”

Adapun yang dimaksud dengan hilal adalah bulan sabit pada tanggal 1, 2 dan 3 setiap bulannya, setelah itu berubah istilahnya dengan ‘qomar’ (bulan).Dengan demikian, siapa pun yang melihat secara langsung dengan mata kepalanya hilal bulan Ramadhan, walaupun orang tersebut fasiq, maka wajib bagi orang tersebut untuk berpuasa keesokan harinya.

3. Ketetapan Pemerintah
Bagi mereka yang tidak melihat hilal secara langsung dengan mata kepala, maka syariat memberikan jalan bagi mereka dengan adanya ketetapan dari pemerintah. Ketetapan yang diambil tentunya setelah adanya kabar dari seseorang pemberi kesaksian yang terpercaya (‘adl Asy-syahadah).

Adapun kriteria pemberi kesaksian tersebut yaitu: tidak pernah berbuat dosa besar, tidak mengerjakan dosa-dosa kecil terus menerus, ketaatannya lebih besar dan lebih dominan dari maksiatnya, laki-laki, merdeka, berakhlak dan kelakuannya baik, terjaga (tidak dalam keadaan tidur ketika melihat hilal), dapat berbicara, penglihatannya normal (tanpa alat bantu), dapat mendengar.

Apabila ada seseorang yang termasuk kriteria “adl Asy-Syahadah”, dan telah melihat hilal Ramadhan, dan melaporkannya kepada yang berwenang (pemerintah), selanjutnya disetujui pihak tersebut (pemerintah). Kemudian ditetapkan bahwa hasil penglihatan orang tersebut merupakan tanda masuknya Ramadhan. Maka saat inilah masyarakat yang tidak melihat hilal secara langsung dapat berpuasa Ramadhan dengan dasar keputusan tersebut.

Hal ini sebagaimana diriwayatkan dalam Sunan Abi Daud dan disahkan oleh Al Imam Ibn Hibban, bahwa Sayyidina Abdullah bin Umar ibn Khottob berkata: “Aku pernah memberikan kabar kepada Rasulullah SAW, bahwa aku telah melihat hilal (Ramadhan), maka Rasulullah pun berpuasa dan memerintahkan kepada seluruh sahabatnya untuk berpuasa.”

Diriwayatkan pula oleh Al Imam At-Turmudzi dan yang lainnya: “Seorang a’rabi datang menemui Rasulullah SAW bersaksi bahwa dia telah melihat hilal Ramadan, maka Nabi pun memerintahkan semua sahabat untuk berpuasa.”

4. Sampainya Berita tentang Masuknya Bulan Ramadhan
Apabila sampai kabar dan berita masuknya bulan Ramadan kepada seseorang yang tidak mengetahui tentang masuknya bulan Ramadan, baik disebabkan tidak melihat hilal, atau tidak mengetahui telah keluarnya ketetapan dari pemerintah. maka perlu diperhatikan bagi yang menerima berita tersebut dua hal:

Pertama, jika pembawa kabar adalah orang terpercaya, tidak terbiasa dengan sifat dusta. Maka dengan datangnya kabar ini, wajiblah ia berpuasa. Kedua, jika pembawa kabar adalah orang tidak terpercaya, terbiasa dengan sifat dusta. Dengan datangnya kabar ini, apabila ia meyakini kebenaran berita sang pendusta ini, wajiblah ia berpuasa.

5. Perkiraan
Ini diperuntukkan bagi orang-orang yang samar baginya waktu masuknya bulan Ramadan, seperti seseorang yang dipenjara di negeri kuffar dan tidak mengetahui waktu dan kapan tepatnya awal masuk bulan Ramadan, maka ia diperbolehkan untuk mengambil ijtihad (menentukan dengan perkiraannya).

Namun, orang ini harus mengingat, apabila puasanya dengan ijtihad yang ia lakukan ternyata tepat dengan bulan Ramadhan, maka puasanya tepat waktu (adaan). Dan jika sebaliknya, puasa yang dikerjakan ternyata setelah bulan Ramadan, maka dihitung sebagai pengganti puasa di bulan Ramadan tersebut (qadha).

Bagaimana dengan Ilmu Hisab?

Habib Ahmad bin Novel menjelaskan, dalam Kitab Al Iqna’, Al Imam Muhammad Al Khotib Asy Syirbini mengatakan bahwa: “Tidaklah diperbolehkan bagi seseorang untuk mengikuti seorang ahli hisab dan ahli perbintangan. Namun, bagi sang ahli akan ilmu hisab ini boleh berpuasa untuk dirinya pribadi, dari hasil perhitungannya tersebut.”

Kegunaan ilmu hisab dalam penentuan awal masuknya dan keluarnya bulan, secara umum dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Jika seluruh ahli hisab dalam satu wilayah tertentu secara bulat menyatakan bahwa hilal tidak dapat terlihat, lalu ternyata ada seseorang mengatakan ia telah melihat hilal, maka persaksian orang tersebut ditolak dengan bersandarkan pendapat ahli hisab.
2. Kesepakatan dari hasil perhitungan ahli hisab merupakan tolok-ukur dari benar atau tidaknya kesaksian seseorang yang menyatakan telah melihat hilal.
3. Memudahkan dalam proses rukyatul hilal. Sebagaimana diketahui, bahwa dengan hisab, dapatlah diketahui posisi hilal dengan cermat dan mudah, lengkap dengan ketinggain dan lama terbitnya pada hari tersebut.

Lantas, kita dapat menarik benang merah terkait permasalahan ini, di antaranya sebagai berikut:
1. Ilmu hisab sangatlah berguna untuk mempermudah proses rukyatul hilal, yang notabene adalah penentu dari masuk atau keluarnya bulan dalam perhitungan syariat Islam. Dan merupakan alat bukti atas benar tidaknya persaksian petugas-petugas rukyatul hilal.
2. Ilmu hisab tidak dapat digunakan sebagai penentu masuk dan keluarnya suatu bulan.
3. Adanya keterkaitan yang indah antara ilmu Hisab dengan rukyatul hilal.

Setelah mengetahui ketentuan yang datang dari Rasulullah SAW bahwa berpuasa hanya dapat ditentukan dengan terlihatnya bulan, seharusnya tidak ada lagi pihak yang bersikeras dengan hasil hitungannya dan mengambil hukum awal puasa dengan hitungannya tersebut.

Nabi Muhammad SAW pernah bersabda dalam satu hadits shahih yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim: “Berpuasalah kalian setelah terlihatnya hilal, dan berbukalah (berlebaran) setelah terlihatnya hilal. Kalaulah hilal tidak terlihat, maka kalian sempurnakanlah bulan Sya’ban menjadi 30 hari.”

“Kalaulah berpuasa pada hari yang diragukan (yaum asy-syak), sudahlah demikian menistakan Rasulullah. Lantas bagaimana orang-orang yang bersikeras berpuasa, sedangkan hilal tidak terlihat?” kata Habib Ahmad.

Di akhir penjelasannya, Habib Ahmad bin Novel mengimbau semua pihak manakala ada permasalahan dalam hal agama, sebaiknya diserahkan kepada ahlinya.
Kapan Awal Puasa Ramadhan? Ini Penjelasannya

Habib Ahmad bin Novel Jindan, Pengasuh Ponpes Al-Fachriyah Tangerang. Foto/Istimewa
(rhs)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.3503 seconds (0.1#10.140)