Ramadhan Melatih Kedermawanan (Bagian 1)
A
A
A
Mahmud Budi Setiawan
Alumni Universitas Al-Azhar Kairo
Salah satu pelajaran paling penting yang terkandung dalam bulan Ramadhan adalah etos kedermawanan. Di bulan penuh berkah ini, jika ditilik dari kisah nabi, para sahabat dan orang-orang saleh setelahnya, nilai ini begitu kuat sehingga contoh kongkret terkait dengannya begitu melimpah.
Nabi Muhammad SAW sendiri misalnya, digambarkan dalam hadits-hadits shahih adalah figur yang berada di garda depan dalam aspek kedermawanan. Anas bin Malik memberi kesaksian, “Rasulullah adalah orang yang paling berani dan sangat dermawan.” (Al-Bukhari, Muslim).
Kedermawanan beliau semakin melejit di bulan Ramadhan sebagaimana yang termaktub dalam “Shahiih” Bukhari dan Muslim. Di dalam kitab ini digambarkan bahwa Rasulullah SAW adalah sosok yang sangat dermawan, terlebih di bulan Ramadhan ketika bertemu dengan Jibril di tiap malam.
Dengan sangat puitis, kedermawan sang nabi digambarkan laksana angin yang berhembus. Dalam catatan Ahmad bin Hanbal ada tambahan menarik: siapapun yang meminta sesuatu kepada beliau di bulan suci ini pasti diberi. Pada realita sehari-hari, memang selama beliau punya, tidak pernah menolak permintaan siapapun.
Begitu pentingnya nilai kedermawanan ini, tak lupa beliau tuangkan dalam pesan verbal, “Barangsiapa yang memberi makan (untuk berbuka) bagi orang yang berpuasa, maka ia mendapat pahalah orang yang berpuasa tanpa mengurangi ganjaran puasanya sedikit pun.” (HR. Ahmad, Tirmidzi dan Ibnu Majah).
Bila dibahasakan dengan bahasa saat ini adalah berbagi takjil dan makanan berbuka. Para sahabatnya pun meneladani kedermawanan beliau di bulan Ramadhan. Salah satu contohnya adalah Abu Bakar Ash-Siddiq RA. Beliau ini adalah sahabat yang bisa masuk surga dari berbagai pintu. Bapak Aisyah Ra ini adalah sahabat yang terdepan dalam ladang amal kebaikan; terkhusus dalam hal kedermawanan.
Dalam catatan sejarah, beliau pernah menginfakkan seluruh hartanya untuk kepentingan perjuangan Islam. Ketika berpuasa –sebagaimana riwayat Muslim- beliau mampu mengamalkan banyak amalan: menziarahi jenazah, memberi makan orang miskin, menjenguk orang sakit.
Ibnu Rajab Al-Hanbali dalam tafsirnya (1422: II/176) menyebutkan contoh kedermawanan sahabat lainnya. Figur agung seperti Abdullah bin Umar Ra tidak akan berbuka melainkan bersama anak-anak yatim dan orang-orang miskin. Artinya, setiap hari beliau menyiapkan makanan berbuka untuk anak-anak yatim dan orang-orang miskin.
Orang-orang setelah para sahabat juga mempraktikkan kedermawanan di bulan Ramadhan. Dalam sejarah digambarkan bahwa sosok agung sekaliber Imam Az-Zuhri ketika memasuki bulan Ramadhan, beliau berujar, “Bulan Ramadhan adalah bulan untuk membaca Alquran dan berbagi makanan.” (Ibnu Rajab, 2004: 171). (Bersambung ke Bagian 2)
Alumni Universitas Al-Azhar Kairo
Salah satu pelajaran paling penting yang terkandung dalam bulan Ramadhan adalah etos kedermawanan. Di bulan penuh berkah ini, jika ditilik dari kisah nabi, para sahabat dan orang-orang saleh setelahnya, nilai ini begitu kuat sehingga contoh kongkret terkait dengannya begitu melimpah.
Nabi Muhammad SAW sendiri misalnya, digambarkan dalam hadits-hadits shahih adalah figur yang berada di garda depan dalam aspek kedermawanan. Anas bin Malik memberi kesaksian, “Rasulullah adalah orang yang paling berani dan sangat dermawan.” (Al-Bukhari, Muslim).
Kedermawanan beliau semakin melejit di bulan Ramadhan sebagaimana yang termaktub dalam “Shahiih” Bukhari dan Muslim. Di dalam kitab ini digambarkan bahwa Rasulullah SAW adalah sosok yang sangat dermawan, terlebih di bulan Ramadhan ketika bertemu dengan Jibril di tiap malam.
Dengan sangat puitis, kedermawan sang nabi digambarkan laksana angin yang berhembus. Dalam catatan Ahmad bin Hanbal ada tambahan menarik: siapapun yang meminta sesuatu kepada beliau di bulan suci ini pasti diberi. Pada realita sehari-hari, memang selama beliau punya, tidak pernah menolak permintaan siapapun.
Begitu pentingnya nilai kedermawanan ini, tak lupa beliau tuangkan dalam pesan verbal, “Barangsiapa yang memberi makan (untuk berbuka) bagi orang yang berpuasa, maka ia mendapat pahalah orang yang berpuasa tanpa mengurangi ganjaran puasanya sedikit pun.” (HR. Ahmad, Tirmidzi dan Ibnu Majah).
Bila dibahasakan dengan bahasa saat ini adalah berbagi takjil dan makanan berbuka. Para sahabatnya pun meneladani kedermawanan beliau di bulan Ramadhan. Salah satu contohnya adalah Abu Bakar Ash-Siddiq RA. Beliau ini adalah sahabat yang bisa masuk surga dari berbagai pintu. Bapak Aisyah Ra ini adalah sahabat yang terdepan dalam ladang amal kebaikan; terkhusus dalam hal kedermawanan.
Dalam catatan sejarah, beliau pernah menginfakkan seluruh hartanya untuk kepentingan perjuangan Islam. Ketika berpuasa –sebagaimana riwayat Muslim- beliau mampu mengamalkan banyak amalan: menziarahi jenazah, memberi makan orang miskin, menjenguk orang sakit.
Ibnu Rajab Al-Hanbali dalam tafsirnya (1422: II/176) menyebutkan contoh kedermawanan sahabat lainnya. Figur agung seperti Abdullah bin Umar Ra tidak akan berbuka melainkan bersama anak-anak yatim dan orang-orang miskin. Artinya, setiap hari beliau menyiapkan makanan berbuka untuk anak-anak yatim dan orang-orang miskin.
Orang-orang setelah para sahabat juga mempraktikkan kedermawanan di bulan Ramadhan. Dalam sejarah digambarkan bahwa sosok agung sekaliber Imam Az-Zuhri ketika memasuki bulan Ramadhan, beliau berujar, “Bulan Ramadhan adalah bulan untuk membaca Alquran dan berbagi makanan.” (Ibnu Rajab, 2004: 171). (Bersambung ke Bagian 2)
(rhs)