Puasa Ramadhan dan Solusi Gerakan Kejujuran Nasional
A
A
A
Ustaz Miftah el-Banjary
Penulis, Dosen & Alumnus Program S3 di Institute of Arab Research
and Arab Studies Jami’ah Dual Arabiyyah Cairo Mesir
Dalam sebuah syarh hadits Qudsi, Imam an-Nawawi menyebutkan “As-Shiyam sirrun bainy wa baini ‘abdi. Puasa adalah rahasia antara Aku dan hamba-Ku.” Jadi, hakikat puasa sesungguhnya membangun interaksi khusus antara sang Khalik dan makhluk-Nya; yang tidak dapat dilihat atau diintervensi oleh makhluk lain.
Hikmah puasa yang memiliki hubungan khususiah dengan Allah, sesungguhnya mengajarkan tentang makna kejujuran. Seorang hamba harus dapat jujur terhadap dirinya sendiri, menghindari makan minum di siang hari, meskipun dia dalam keadan sendirian, lapar, haus, lelah, tanpa ada orang lain yang melihat atau mengawasinya.
Sekiranya sikap kejujuran ini tumbuh dan tertanam di dalam jiwa setiap pribadi muslim, maka apa pun yang dilakukannya, hati, pikiran dan sikapnya selalu bernilai ibadah dan kebenaran, tanpa mau menzhalimi orang lain.
Nah, ironisnya, betapa banyak kaum muslimin yang menjalankan kewajiban berpuasa Ramadhan, namun sayangnya kebohongan, kecurangan, khianat, mengurangi timbangan, korupsi, memanipulasi, meminta suap dan sogokan, seakan-akan masih tetap menjadi bagian budaya buruk dari perilaku masyarakat kita hari ini. Lantas, apa yang salah dengan puasa Ramadhan kita selama ini dalam upaya pembentukan mental kepribadian bangsa?
Saya melihatnya ada beberapa persoalan mendasar yang perlu diluruskan:
1. Pemisahan antara Ibadah Mahdhiyah dengan Akhlaqiyyah.
Hukum syariat Islam yang Allah turunkan kepada nabi-Nya dan umat akhir zaman merupakan syariah yang bersifat kompherehensif (syumuliyyah) dan terperinci (tadqiq). Dalam surah al-Maidah ayat 48, Allah Swt berfirman: “..dan setiap nabi kami berikan syariat dan penerapannya..”.
Oleh karena itu, syariah puasa tak bisa dipisahkan dengan syariat lainnya, syariat puasa tak bisa dipisahkan dari syariat shalat dan zakat, syariat puasa juga tak bisa dipisahkan dengan ajaran akhlak yang bertujuan untuk memperbaiki serta memperindah perilaku dan budi pekerti umat Islam itu sendiri.
Namun, sementara apa yang dipahami oleh sebagian besar kaum muslimin hari ini, adanya partisi yang memisahkan antara ibadah mahdhah (ritualitas) dengan perilaku sosial keseharian. Ibadah ya ibadah, soal perilaku keseharian ya disesuaikan dengan pengaruh bentukan lingkungan sekitar. Tentu pemahaman ini keliru!
Nah, apa yang terjadi kemudian, konsekuensi logisnya, ada banyak orang yang shalat, tapi korupsinya masih tetap jalan. Ada orang yang berpuasa, tapi suap dan sogoknya masih tetap diterima. Ada orang yang sudah berhaji dan umrah berkali-kali, namun sifat kebohongan dan kemunafikannya tetap menjadi karakteristik dan tabiatnya, sebab diawali dari pemisahan pemahaman tersebut diatas.
2. Persoalan Kejujuran Belum Menjadi Sanksi Sosial
Persoalan kejujuran di Indonesia belum benar-benar menjadi budaya malu, malu berbuat kecurangan. Padahal budaya malu itu justru merupakan ajaran tertinggi di dalam Islam. Bukankah Rasulullah pernah bersabda, “al-Hayaa sya’bun min al-Imaan. Malu itu separo dari iman.” [HR. Muslim]
Persoalan mendasarnya, kita belum menumbuhkan rasa malu ketika berbuat kecurangan dan ketidakjujuran, meski secara terang-terangan dan banyak bukti bertebaran. Tentu hal ini, disikapi dari respon masyarakat itu sendiri yang harus memberikan sanksi sosial dan aparat yang tegas menegakkan sanski hukum secara adil, tanpa pandang bulu.
3. Ketidakjujuran Bencana Musibah Nasional
Manakala ketidakjujuran telah menjadi budaya di masyarakat, maka keadilan tidak merata, kezhaliman akan berkuasa, sehingga bala musibah datang silih berganti. Ketika itu, tidak akan ada negara dan masyarakat yang bisa dibangun baik tanpa kejujuran dan keadilan.
Dalam sebuah haditsnya, Rasulullah Saw bersabda, “Manakala amanah telah disia-siakan, maka tunggulah kiamat akan segera datang. Fanthazir sa’ah!” Apa makna kiamat di sini? Kiamat adalah sebuah kehancuran sistem dan tatanan di masyarakat dalam sebuah bangsa dan negara.
Puasa seharusnya tidak dimaknai sekedar menahan makan dan minum semenjak fajar hingga terbenam matahari. Lebih dari itu, puasa harus menjadi gerakan perubahan revolusioner dalam membentuk kejujuran nasional.
Bangsa ini sakit, bukan karena umat Islam-nya tidak lagi menjalankan puasa Ramadhan, namun nilai-nilai pendidikan puasa dalam membentuk kepribadian mulia, seperti kejujuran dan amanah, belum lagi dimaknai serta diimplementasikan dalam kehidupan berbangsa dan bertanah air.
Maka keteladanan sikap dan perilaku kejujuran ini harus diawali dari setiap pribadi, setiap kepala keluarga, pendidik, pemimpin daerah dan tokoh masyarakat, para menteri hingga Presiden. Dengan demikian, insya Allah melalui momentum Ramadhan, kita akan mampu mewujudkan negeri impian, baldatun thaybatun wa Rabbun ghafur; negeri yang penuh dengan kedamaian, keberkahan dan keadilan serta ampunan Tuhan.
Penulis, Dosen & Alumnus Program S3 di Institute of Arab Research
and Arab Studies Jami’ah Dual Arabiyyah Cairo Mesir
Dalam sebuah syarh hadits Qudsi, Imam an-Nawawi menyebutkan “As-Shiyam sirrun bainy wa baini ‘abdi. Puasa adalah rahasia antara Aku dan hamba-Ku.” Jadi, hakikat puasa sesungguhnya membangun interaksi khusus antara sang Khalik dan makhluk-Nya; yang tidak dapat dilihat atau diintervensi oleh makhluk lain.
Hikmah puasa yang memiliki hubungan khususiah dengan Allah, sesungguhnya mengajarkan tentang makna kejujuran. Seorang hamba harus dapat jujur terhadap dirinya sendiri, menghindari makan minum di siang hari, meskipun dia dalam keadan sendirian, lapar, haus, lelah, tanpa ada orang lain yang melihat atau mengawasinya.
Sekiranya sikap kejujuran ini tumbuh dan tertanam di dalam jiwa setiap pribadi muslim, maka apa pun yang dilakukannya, hati, pikiran dan sikapnya selalu bernilai ibadah dan kebenaran, tanpa mau menzhalimi orang lain.
Nah, ironisnya, betapa banyak kaum muslimin yang menjalankan kewajiban berpuasa Ramadhan, namun sayangnya kebohongan, kecurangan, khianat, mengurangi timbangan, korupsi, memanipulasi, meminta suap dan sogokan, seakan-akan masih tetap menjadi bagian budaya buruk dari perilaku masyarakat kita hari ini. Lantas, apa yang salah dengan puasa Ramadhan kita selama ini dalam upaya pembentukan mental kepribadian bangsa?
Saya melihatnya ada beberapa persoalan mendasar yang perlu diluruskan:
1. Pemisahan antara Ibadah Mahdhiyah dengan Akhlaqiyyah.
Hukum syariat Islam yang Allah turunkan kepada nabi-Nya dan umat akhir zaman merupakan syariah yang bersifat kompherehensif (syumuliyyah) dan terperinci (tadqiq). Dalam surah al-Maidah ayat 48, Allah Swt berfirman: “..dan setiap nabi kami berikan syariat dan penerapannya..”.
Oleh karena itu, syariah puasa tak bisa dipisahkan dengan syariat lainnya, syariat puasa tak bisa dipisahkan dari syariat shalat dan zakat, syariat puasa juga tak bisa dipisahkan dengan ajaran akhlak yang bertujuan untuk memperbaiki serta memperindah perilaku dan budi pekerti umat Islam itu sendiri.
Namun, sementara apa yang dipahami oleh sebagian besar kaum muslimin hari ini, adanya partisi yang memisahkan antara ibadah mahdhah (ritualitas) dengan perilaku sosial keseharian. Ibadah ya ibadah, soal perilaku keseharian ya disesuaikan dengan pengaruh bentukan lingkungan sekitar. Tentu pemahaman ini keliru!
Nah, apa yang terjadi kemudian, konsekuensi logisnya, ada banyak orang yang shalat, tapi korupsinya masih tetap jalan. Ada orang yang berpuasa, tapi suap dan sogoknya masih tetap diterima. Ada orang yang sudah berhaji dan umrah berkali-kali, namun sifat kebohongan dan kemunafikannya tetap menjadi karakteristik dan tabiatnya, sebab diawali dari pemisahan pemahaman tersebut diatas.
2. Persoalan Kejujuran Belum Menjadi Sanksi Sosial
Persoalan kejujuran di Indonesia belum benar-benar menjadi budaya malu, malu berbuat kecurangan. Padahal budaya malu itu justru merupakan ajaran tertinggi di dalam Islam. Bukankah Rasulullah pernah bersabda, “al-Hayaa sya’bun min al-Imaan. Malu itu separo dari iman.” [HR. Muslim]
Persoalan mendasarnya, kita belum menumbuhkan rasa malu ketika berbuat kecurangan dan ketidakjujuran, meski secara terang-terangan dan banyak bukti bertebaran. Tentu hal ini, disikapi dari respon masyarakat itu sendiri yang harus memberikan sanksi sosial dan aparat yang tegas menegakkan sanski hukum secara adil, tanpa pandang bulu.
3. Ketidakjujuran Bencana Musibah Nasional
Manakala ketidakjujuran telah menjadi budaya di masyarakat, maka keadilan tidak merata, kezhaliman akan berkuasa, sehingga bala musibah datang silih berganti. Ketika itu, tidak akan ada negara dan masyarakat yang bisa dibangun baik tanpa kejujuran dan keadilan.
Dalam sebuah haditsnya, Rasulullah Saw bersabda, “Manakala amanah telah disia-siakan, maka tunggulah kiamat akan segera datang. Fanthazir sa’ah!” Apa makna kiamat di sini? Kiamat adalah sebuah kehancuran sistem dan tatanan di masyarakat dalam sebuah bangsa dan negara.
Puasa seharusnya tidak dimaknai sekedar menahan makan dan minum semenjak fajar hingga terbenam matahari. Lebih dari itu, puasa harus menjadi gerakan perubahan revolusioner dalam membentuk kejujuran nasional.
Bangsa ini sakit, bukan karena umat Islam-nya tidak lagi menjalankan puasa Ramadhan, namun nilai-nilai pendidikan puasa dalam membentuk kepribadian mulia, seperti kejujuran dan amanah, belum lagi dimaknai serta diimplementasikan dalam kehidupan berbangsa dan bertanah air.
Maka keteladanan sikap dan perilaku kejujuran ini harus diawali dari setiap pribadi, setiap kepala keluarga, pendidik, pemimpin daerah dan tokoh masyarakat, para menteri hingga Presiden. Dengan demikian, insya Allah melalui momentum Ramadhan, kita akan mampu mewujudkan negeri impian, baldatun thaybatun wa Rabbun ghafur; negeri yang penuh dengan kedamaian, keberkahan dan keadilan serta ampunan Tuhan.
(rhs)