Ponpes Ora Aji, Imbangkan Ajaran Kitab Kuning dan Keterampilan Hidup
loading...
A
A
A
Pondok Pesantren (Ponpes) Ora Aji di Dusun Tundan, Desa Purwomartani, Kecamatan Kalasan, Kabupaten Sleman, DIY, Minggu (19/4/2020) siang tampak sepi. Tidak ada aktivitas santri. Hanya terlihat satu dua orang santri yang keluar kamar untuk keperluan tertentu dan masuk lagi ke kamar mereka. Di dalam Masjid Al-Mbejaji yang ada di Kompleks Ponpes Ora Aji pun hanya terlihat tiga orang. Ada yang membaca Quran, satunya duduk berzikir, satunya lagi rebahan—istirahat setelah melakukan aktivitas. “Ya hari ini memang tidak ada aktivitas santri,” kata pengasuh Ponpes Ora Aji KH Miftah Maulana Habiburrahman yang akrab disapa Gus Miftah.
Ponpes Ora Aji memiliki 180 santri, terdiri atas 150 santri putra dan 30 santri putri. Para santri ini berasal dari seluruh Indonesia. Kebanyakan mahasiswa yang sedang menuntut ilmu di berbagai perguruan tinggi di Yogyakarta dan sebagian lagi para penyandang masalah sosial seperti mantan preman, mantan narapidana, mantan pegawai salon plus dan mantan pegawai tempat hiburan malam serta kaum marginal lain. “Saya tidak pernah membedakan dalam menerima santri, siapa saja boleh masuk ke Ponpes Ora Aji dan tidak dipungut biaya alias gratis,” tuturnya.
Para santri ditempatkan di belakang Masjid Al-Mbejaji. Mereka menempati bangunan dua lantai. Namun, dengan adanya wabah virus corona jenis baru, Covid-19, sebagian santri dipulangkan, terutama yang bukan dari daerah zona merah. Adapun santri yang berasal dari zona merah tetap berada di pondok. “Dari 180 santri saat ini tinggal 30-an santri yang ada di sini. Lainnya saya pulangkan. Ini untuk meminimalkan kontak fisik, termasuk mencegah penyebaran corona,” ujar Gus Miftah.
Ponpes Ora Aji secara umum sama dengan pesantren tradisional lain, yaitu mengajarkan kitab kuning bagi santrinya. Bedanya dengan ponpes lain, Ora Aji juga mengajarkan pendidikan keterampilan bagi santri sehingga kurikulumnya merupakan perpaduan antara salafi dan kompetensi. kitab-kitab salafi banyak diajarkan oleh beberapa pendamping. Khusus untuk ilmu akhlak dan budi pekerti diajarkan secara langsung oleh Gus Miftah karena dua hal ini menjadi karakter utama santri pondok. Gus Miftah sangat ingin santrinya punya akal dan budi pekerti luhur.
Pelajaran agama dilaksanakan pada sore hari, setelah para santri melakukan aktivitas pada pagi harinya. Untuk pelajaran salafi ini dibagi dalam lima kelompok, sesuai dengan tingkat para santri.
Untuk bidang kompetensi, para santri diberi kebebasan mengeksplorasi kemampuan yang dimilikinya. Ponpes yang menyediakan fasilitas untuk santri menyalurkan bakat, seperti peternakan, pertanian, atau perikanan. Berbagai fasilitas tersebut ada di depan ponpes. “Ke depan saya punya harapan bisa mendirikan sekolah setingkat SMK di sini. Supaya santri bisa belajar lebih baik lagi sesuai bidang yang mereka inginkan. Jadi, ketika keluar dari pondok, santri bisa bekerja. Jangan cuma bisa mondok, tapi juga bisa kerja,” katanya.
Menurut Gus Miftah, hal ini juga sesuai dengan nama Ponpes Ora Aji dan Masjid Al-Mbejaji yang ada di dalamnya. Ora Aji merupakan bahasa Jawa yang berarti “tidak berarti” mengandung makna semua manusia tak ada artinya sama sekali di mata Allah, kecuali ketakwaannya. Namun, setelah masuk pesantren dalam keadaan yang kurang bernilai, diharapkan saat keluar bisa menjadi manusia yang mbejaji atau mempunyai nilai. "Ide mendirikan pondok gratis karena saat kuliah dulu saya pernah susah sehingga merasakan bagaimana rasanya hidup susah,” tuturnya.
Ponpes OraAji saat Ramadan ini tetap mengadakan pengajian rutin dan sema’an Quran bagi santri. Namun, untuk pengajian khusus bagi internal ponpes, tidak untuk umum. Pondok ini juga akan membagikan takjil dan buka puasa untuk kaum marginal di jalan dan di beberapa panti asuhan. Untuk buka akan membagikan 1.000 kotak nasi. “Ya di tengah pandemi korona, kegiatan rutin ponpes tetap jalan seperti biasa. Namun, untuk sementara tidak menerima santri baru,” ungkap Gus Miftah. (Priyo Setyawan)
Ponpes Ora Aji memiliki 180 santri, terdiri atas 150 santri putra dan 30 santri putri. Para santri ini berasal dari seluruh Indonesia. Kebanyakan mahasiswa yang sedang menuntut ilmu di berbagai perguruan tinggi di Yogyakarta dan sebagian lagi para penyandang masalah sosial seperti mantan preman, mantan narapidana, mantan pegawai salon plus dan mantan pegawai tempat hiburan malam serta kaum marginal lain. “Saya tidak pernah membedakan dalam menerima santri, siapa saja boleh masuk ke Ponpes Ora Aji dan tidak dipungut biaya alias gratis,” tuturnya.
Para santri ditempatkan di belakang Masjid Al-Mbejaji. Mereka menempati bangunan dua lantai. Namun, dengan adanya wabah virus corona jenis baru, Covid-19, sebagian santri dipulangkan, terutama yang bukan dari daerah zona merah. Adapun santri yang berasal dari zona merah tetap berada di pondok. “Dari 180 santri saat ini tinggal 30-an santri yang ada di sini. Lainnya saya pulangkan. Ini untuk meminimalkan kontak fisik, termasuk mencegah penyebaran corona,” ujar Gus Miftah.
Ponpes Ora Aji secara umum sama dengan pesantren tradisional lain, yaitu mengajarkan kitab kuning bagi santrinya. Bedanya dengan ponpes lain, Ora Aji juga mengajarkan pendidikan keterampilan bagi santri sehingga kurikulumnya merupakan perpaduan antara salafi dan kompetensi. kitab-kitab salafi banyak diajarkan oleh beberapa pendamping. Khusus untuk ilmu akhlak dan budi pekerti diajarkan secara langsung oleh Gus Miftah karena dua hal ini menjadi karakter utama santri pondok. Gus Miftah sangat ingin santrinya punya akal dan budi pekerti luhur.
Pelajaran agama dilaksanakan pada sore hari, setelah para santri melakukan aktivitas pada pagi harinya. Untuk pelajaran salafi ini dibagi dalam lima kelompok, sesuai dengan tingkat para santri.
Untuk bidang kompetensi, para santri diberi kebebasan mengeksplorasi kemampuan yang dimilikinya. Ponpes yang menyediakan fasilitas untuk santri menyalurkan bakat, seperti peternakan, pertanian, atau perikanan. Berbagai fasilitas tersebut ada di depan ponpes. “Ke depan saya punya harapan bisa mendirikan sekolah setingkat SMK di sini. Supaya santri bisa belajar lebih baik lagi sesuai bidang yang mereka inginkan. Jadi, ketika keluar dari pondok, santri bisa bekerja. Jangan cuma bisa mondok, tapi juga bisa kerja,” katanya.
Menurut Gus Miftah, hal ini juga sesuai dengan nama Ponpes Ora Aji dan Masjid Al-Mbejaji yang ada di dalamnya. Ora Aji merupakan bahasa Jawa yang berarti “tidak berarti” mengandung makna semua manusia tak ada artinya sama sekali di mata Allah, kecuali ketakwaannya. Namun, setelah masuk pesantren dalam keadaan yang kurang bernilai, diharapkan saat keluar bisa menjadi manusia yang mbejaji atau mempunyai nilai. "Ide mendirikan pondok gratis karena saat kuliah dulu saya pernah susah sehingga merasakan bagaimana rasanya hidup susah,” tuturnya.
Ponpes OraAji saat Ramadan ini tetap mengadakan pengajian rutin dan sema’an Quran bagi santri. Namun, untuk pengajian khusus bagi internal ponpes, tidak untuk umum. Pondok ini juga akan membagikan takjil dan buka puasa untuk kaum marginal di jalan dan di beberapa panti asuhan. Untuk buka akan membagikan 1.000 kotak nasi. “Ya di tengah pandemi korona, kegiatan rutin ponpes tetap jalan seperti biasa. Namun, untuk sementara tidak menerima santri baru,” ungkap Gus Miftah. (Priyo Setyawan)
(ysw)