Hakikat Puasa Ramadhan dalam Pandangan Imam Al-Ghozali
A
A
A
Ustaz Miftah el-Banjary
Pakar Ilmu Linguistik Arab & Tafsir Alquran
Lulusan Institute of Arab Studies Cairo-Mesir
Dalam pandangan Imam Al-Ghazali, puasa memiliki tiga tingkatan: Pertama: Puasa umum (awam), kedua: khusus (spesial), dan ketiga: khususil khusus (istimewa).
Pertama, puasa umum atau awam menahan perut dan kemaluan dari pemenuhan syahwat semata. Kedua, puasa khusus (spesial) menahan pendengaran, penglihatan, lisan, tangan, kedua kaki, dan seluruh anggota tubuh dari perbuatan tercela dan dosa. Ketiga, puasa khususil khusus (istimewa) puasanya hati dari kehancuran agama dan pemikiran duniawi, serta menahan dari selain Allah SWT.
Karena itulah, puasa yang dengan model terakhir ini akan rusak dengan bersitan pikiran tentang sesuatu selain Allah, Hari Akhir, dan kehidupan duniawi. Kecuali ketika hal-hal duniawi itu diperuntukkan bagi kemaslahatan aspek-aspek agama (ukhrawi). (Baca Juga: Hakikat Puasa Ramadhan dalam Pandangan Ahli Sufi)
Dari sini kita dapat memahami bagaimana konstruksi tiga tingkatan puasa dalam perspektif Imam Al-Ghazali. Ia seakan mengandaikan idealitas puasa agar benar-benar menjadi satu lompatan ibadah yang sangat khusus antara hamba dan Tuhan.
Suatu ibadah yang benar-benar dipersembahkan kepada Allah, bukan yang lainnya, seperti termaktub dalam sebuah hadis Qudsi, "Setiap amalan manusia untuk dirinya, kecuali puasa. Karena puasa itu untuk-Ku, dan Aku akan mengganjar amalan itu."
Hadis ini mengisyaratkan bahwa untuk mendekati Yang Mahasuci seseorang harus menyucikan dirinya. Puasa harus benar-benar menjaga kualitas lahir maupun batin agar benar-benar dapat bersanding dengan Al-Haqq. Seperti nasihat seorang ulama yang dikutip Imam Al-Ghazali, "Selama hamba masih terkotori oleh selain Allah, ia tak pantas mendekat dan bersanding dengan-Nya sebelum menyucikan hati dari selain Dia."
Oleh karena itu, Allah tidak akan menganggap bau mulut orang berpuasa, bahkan akan menggantikannya dengan aroma misik. Namun, bagi Allah, yang terpenting adalah kualitas kebersihan laku dan jiwa seseorang tatkala menjalankan puasa. Kotornya tubuh dapat dibersihkan dan disucikan dengan air, tetapi kekotoran hati karena dominasi perbuatan tercela harus disucikan dengan air qurbah (kedekatan) dan inabah (pertobatan).
Selain itu, untuk menjangkau kedekatan dengan Allah tidak serta merta hanya menahan lapar dan dahaga. Imam Al-Ghazali menegaskan untuk memastikan kehalalan makanan yang kita konsumsi. Seperti disinggungnya ketika membincangkan makna kata ath-Thayyibat (QS Al-Baqarah [2]: 172) yang berarti halal dan baik. Artinya, makanan yang baik menjadi fondasi utama bagi perjalanan suatu golongan.
Jika pun ada seorang hamba mendirikan salat laksana salatnya budak, dalam arti begitu khusyuk dan masyuk, hal itu tak akan berguna selama dia tidak mengetahui apa yang masuk ke dalam perutnya. Dia juga menyatakan bahwa manusia yang paling cepat menyeberangi titian akhirat adalah yang paling wara terhadap urusan duniawi. (Baca Juga: Di Bulan Ramadhan: Allah pun Berkirim Salam kepada Sayyidah Khadijah)
Dan wara dengan menahan lapar bisa menjadi kunci perjumpaan dengan Allah SWT. sebagaimana firman-Nya dalam hadis Qudsi, "Hai hamba-Ku, laparkanlah dirimu niscaya kau melihat-Ku, bersikap wara-lah pasti kau mengenal-Ku, dan telanjanglah (dari dunia) niscaya kau akan sampai kepada-Ku."
Maka dari itu, Imam Al-Ghazali juga menyarankan dalam kitab Minhaj al-‘Arifin untuk menekan hawa nafsu, termasuk nafsu untuk memperoleh imbalan, sebagaimana wejangannya.
"Jika engkau berpuasa, berniatlah untuk mengekang nafsu dari berbagai keinginan. Karena puasa berarti musnahnya kehendak nafsu. Ia mengandung kejernihan hati, menguruskan badan, dan mengingatkan kita untuk berbuat baik kepada kaum fakir. Itu semua tak lain agar kita kembali kepada Allah SWT. Bersyukur atas berbagai nikmat yang Dia anugerahkan, dan meringankan hisab. Maka, anugerah Allah berupa taufik yang menjadikanmu mampu berpuasa itu lebih besar dibanding mensyukuri nikmat dan puasamu yang menuntut balasan dari-Nya."
Akhir kalimat di atas menarik untuk kita cermati, bahwa kemampuan kita berpuasa itu penting untuk kita syukuri. Bersyukur atas nikmat Allah, sekaligus mensyukuri karena kita telah dimampukan untuk melaksanakan puasa dengan sepenuh hati. Bahkan yang lebih penting lagi bahwa mensyukuri puasa tanpa pretensi imbalan itu lebih besar dari segala nikmat yang lainnya. Karena puasa yang diterima oleh Allah menjadi persembahan terbaik dari hamba kepada Tuhannya.
Pakar Ilmu Linguistik Arab & Tafsir Alquran
Lulusan Institute of Arab Studies Cairo-Mesir
Dalam pandangan Imam Al-Ghazali, puasa memiliki tiga tingkatan: Pertama: Puasa umum (awam), kedua: khusus (spesial), dan ketiga: khususil khusus (istimewa).
Pertama, puasa umum atau awam menahan perut dan kemaluan dari pemenuhan syahwat semata. Kedua, puasa khusus (spesial) menahan pendengaran, penglihatan, lisan, tangan, kedua kaki, dan seluruh anggota tubuh dari perbuatan tercela dan dosa. Ketiga, puasa khususil khusus (istimewa) puasanya hati dari kehancuran agama dan pemikiran duniawi, serta menahan dari selain Allah SWT.
Karena itulah, puasa yang dengan model terakhir ini akan rusak dengan bersitan pikiran tentang sesuatu selain Allah, Hari Akhir, dan kehidupan duniawi. Kecuali ketika hal-hal duniawi itu diperuntukkan bagi kemaslahatan aspek-aspek agama (ukhrawi). (Baca Juga: Hakikat Puasa Ramadhan dalam Pandangan Ahli Sufi)
Dari sini kita dapat memahami bagaimana konstruksi tiga tingkatan puasa dalam perspektif Imam Al-Ghazali. Ia seakan mengandaikan idealitas puasa agar benar-benar menjadi satu lompatan ibadah yang sangat khusus antara hamba dan Tuhan.
Suatu ibadah yang benar-benar dipersembahkan kepada Allah, bukan yang lainnya, seperti termaktub dalam sebuah hadis Qudsi, "Setiap amalan manusia untuk dirinya, kecuali puasa. Karena puasa itu untuk-Ku, dan Aku akan mengganjar amalan itu."
Hadis ini mengisyaratkan bahwa untuk mendekati Yang Mahasuci seseorang harus menyucikan dirinya. Puasa harus benar-benar menjaga kualitas lahir maupun batin agar benar-benar dapat bersanding dengan Al-Haqq. Seperti nasihat seorang ulama yang dikutip Imam Al-Ghazali, "Selama hamba masih terkotori oleh selain Allah, ia tak pantas mendekat dan bersanding dengan-Nya sebelum menyucikan hati dari selain Dia."
Oleh karena itu, Allah tidak akan menganggap bau mulut orang berpuasa, bahkan akan menggantikannya dengan aroma misik. Namun, bagi Allah, yang terpenting adalah kualitas kebersihan laku dan jiwa seseorang tatkala menjalankan puasa. Kotornya tubuh dapat dibersihkan dan disucikan dengan air, tetapi kekotoran hati karena dominasi perbuatan tercela harus disucikan dengan air qurbah (kedekatan) dan inabah (pertobatan).
Selain itu, untuk menjangkau kedekatan dengan Allah tidak serta merta hanya menahan lapar dan dahaga. Imam Al-Ghazali menegaskan untuk memastikan kehalalan makanan yang kita konsumsi. Seperti disinggungnya ketika membincangkan makna kata ath-Thayyibat (QS Al-Baqarah [2]: 172) yang berarti halal dan baik. Artinya, makanan yang baik menjadi fondasi utama bagi perjalanan suatu golongan.
Jika pun ada seorang hamba mendirikan salat laksana salatnya budak, dalam arti begitu khusyuk dan masyuk, hal itu tak akan berguna selama dia tidak mengetahui apa yang masuk ke dalam perutnya. Dia juga menyatakan bahwa manusia yang paling cepat menyeberangi titian akhirat adalah yang paling wara terhadap urusan duniawi. (Baca Juga: Di Bulan Ramadhan: Allah pun Berkirim Salam kepada Sayyidah Khadijah)
Dan wara dengan menahan lapar bisa menjadi kunci perjumpaan dengan Allah SWT. sebagaimana firman-Nya dalam hadis Qudsi, "Hai hamba-Ku, laparkanlah dirimu niscaya kau melihat-Ku, bersikap wara-lah pasti kau mengenal-Ku, dan telanjanglah (dari dunia) niscaya kau akan sampai kepada-Ku."
Maka dari itu, Imam Al-Ghazali juga menyarankan dalam kitab Minhaj al-‘Arifin untuk menekan hawa nafsu, termasuk nafsu untuk memperoleh imbalan, sebagaimana wejangannya.
"Jika engkau berpuasa, berniatlah untuk mengekang nafsu dari berbagai keinginan. Karena puasa berarti musnahnya kehendak nafsu. Ia mengandung kejernihan hati, menguruskan badan, dan mengingatkan kita untuk berbuat baik kepada kaum fakir. Itu semua tak lain agar kita kembali kepada Allah SWT. Bersyukur atas berbagai nikmat yang Dia anugerahkan, dan meringankan hisab. Maka, anugerah Allah berupa taufik yang menjadikanmu mampu berpuasa itu lebih besar dibanding mensyukuri nikmat dan puasamu yang menuntut balasan dari-Nya."
Akhir kalimat di atas menarik untuk kita cermati, bahwa kemampuan kita berpuasa itu penting untuk kita syukuri. Bersyukur atas nikmat Allah, sekaligus mensyukuri karena kita telah dimampukan untuk melaksanakan puasa dengan sepenuh hati. Bahkan yang lebih penting lagi bahwa mensyukuri puasa tanpa pretensi imbalan itu lebih besar dari segala nikmat yang lainnya. Karena puasa yang diterima oleh Allah menjadi persembahan terbaik dari hamba kepada Tuhannya.
(rhs)