Menyembunyikan Amalan Saat Berpuasa (1)

Selasa, 05 Mei 2020 - 17:45 WIB
loading...
Menyembunyikan Amalan Saat Berpuasa (1)
Ustaz DR Miftah el-Banjary, pakar Ilmu Linguistik Arab dan Tafsir Al-Quran. Foto/Ist
A A A
Ustaz DR Miftah el-Banjary
Pakar Pakar Ilmu Linguistik Arab dan Tafsir Al-Qur'an

Dalam sebuah Hadis Qudsi, Allah Ta'ala berkata:

الصَّوْمُ سِرٌّ بَيْنِي وَبَيْنَ عَبْدِيْ

"Puasa itu rahasia antara Aku dan hamba-Ku."

Ya, puasa itu rahasia yang terjalin antara Anda dan Allah Ta'ala. Jika demikian, maka Anda harus belajar menjaga rahasia puasa itu dengan kesungguhan komitmen.

Mau orang lain, tak tahu atau tak tahu, tak peduli Anda harus jaga puasa itu serahasia mungkin. Jangan perlihatkan Anda sedang tampak lelah seperti orang yang berpuasa, jika bisa. Minimal jangan suka mengumbar amal kebaikan yang memang dirahasiakan.

Alih-alih menjaga etika berpuasa, kadang ada orang yang ya katakanlah baru "belajar" berpuasa, baru saja berpuasa satu hari atau beberapa hari selalu update status di medsos:

"Alhamdulillah ya, sampai juga berpuasa hari ini." Atau "Hari ini buka apa ya.." atau "Duh, ya.. Moga ya hari ini puasanya lancar.." atau "Alhamdulillah, tarawih tadi bisa selesai 23 rakaat" dan sebagainya.

Menjaga rahasia puasa, merupakan etika dan adab ibadah shaum-nya orang-orang saleh, kebiasaan ibadah orang-orang yang mukhlisin. Jangankan puasa Ramadhan yang bersifat wajib, dalam hal berpuasa sunnah lainnya saja orang-orang saleh sangat tidak ingin diketahui orang lain amal ibadahnya.

Bukan saja, mereka khawatir akan memunculkan lintasan rasa riya atau ujub di dalam hati yang bisa saja mencederai pahala puasa tersebut. Lebih jauh dari itu mereka belajar mengamalkan Hadis Qudsi tersebut, belajar komitmen menjaga rahasia.

Ada sebagian kisah para orang-orang saleh pada zaman dahulu yang kadang membasahi bibir mereka dengan sedikit olesan air agar tak tampak kering akibat berpuasa. Begitulah indahnya cara orang-orang shaleh melatih komitmen diri agar mampu menjauhi rasa ujub dan riya yang bisa saja muncul di setiap lintasan hati setiap manusia.

Terkait riya, memang tak ada yang tahu melainkan niat dan motivasi diri dari si pelakunya sendiri dan Allah Ta'ala. Kita hanya berdoa semoga Allah menjauhkan kita dari sifat-sifat tercela tersebut.

Kata Imam Fudhail bin Iyadh:

تَرْكُ الْعَمَلِ لِأَجْلِ النَّاسِ رِيَاءٌ وَالْعَمَلُ لِأَجْلِ النَّاسُ شِرْكٌ وَالإِخْلاَصُ أَنْ يُعَافِيَكَ اللَّهُ بَيْنَهُمَا

"Meninggalkan amal disebabkan takut penilaian manusia menganggapnya riya', maka sesungguhnya dia telah riya'. Melakukan amal kebaikan mengharapkan pujian manusia, maka dia juga telah melakukan riya (syirik kecil). Sedangkan ikhlas Allah menyelamatkanmu dari sifat keduanya."

Riya itu berbahaya. Nabi menganalogikan riya seperti kayu bakar yang dimakan api. Amal kebaikan yang diperlihatkan habis akibat ingin adanya pengakuan atau pujian dari manusia.

Oleh karenanya, pentingnya selalu membenarkan keinginan hati, meluruskan niat, lillah, billah, fillah, minallah, ilallah wa a'alallah.

Maka, ikhlas menjadi landasan utamanya. Apa itu definisi ikhlas? Imam Huzaifah al-Mar'asyi mengatakan:

الإِخْلاَصُ اسْتِوَاءُ أَفْعَالِ العَبْدِ فِي الظَّاهِرِ وَالبَاطِنُ

"Ikhlas itu sama saja apa yang tampak dari perilaku seorang hamba, baik secara zhahirnya maupun bathinnya."
Halaman :
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1554 seconds (0.1#10.140)