Hukum Mengucap Sayyidina Saat Menyebut Nama Nabi
A
A
A
Mengucap kata Sayyidina ketika menyebut nama Nabi Muhammad SAW sering menjadi perbincangan bagi warga muslim. Bagaimana sebenarnya hukum menyebut kata Sayyidina tersebut.
Berikut penjelasan Ustaz Abdul Somad dikutip dari buku '77 Tanya-Jawab Seputar Shalat' yang dipersembahkan oleh Tafaqquh Study Club. (Baca Juga: Bagaimana Posisi Jari Ketika Tasyahud? Berikut Pendapat 4 Mazhab)
Jawaban:
Mazhab Hanafi dan Syafi'i:
Dianjurkan mengucapkan Sayyidina pada salawat Ibrahimiyah, karena memberikan tambahan pada riwayat adalah salah satu bentuk adab, maka lebih utama dilakukan daripada ditinggalkan. Adapun hadits yang mengatakan: "Janganlah kamu menyebut Sayyidina untukku". Ini adalah hadits palsu.
Beberapa dalil menyebut Sayyidina sebelum nama Rasulullah SAW: Memanggil nabi tidaklah sama seperti menyebut nama orang biasa, demikian disebutkan Allah Swt: "Janganlah kamu jadikan panggilan Rasul diantara kamu seperti panggilan sebahagian kamu kepada sebahagian (yang lain)". (QS. An-Nur: 63).
Ini adalah perintah dari Allah SWT, meskipun perintah ini bukan perintah yang mengandung makna wajib, akan tetapi minimal tidak kurang dari sebuah anjuran dan mengucapkan Sayyidina Muhammad adalah salah satu bentuk penghormatan dan memuliakan Nabi Muhammad SAW.
Allah SWT berfirman: "Sesungguhnya Allah menggembirakan kamu dengan kelahiran (seorang puteramu) Yahya, yang membenarkan kalimat (yang datang) dari Allah, menjadi ikutan, menahan diri (dari hawa nafsu)". (QS Al 'Imran: 39). Jika untuk Nabi Yahya AS digunakan kata 'wa sayyidan', mengapa tidak boleh digunakan untuk Nabi Muhammad Saw yang Ulul’Azmi dan memiliki keutamaan lainnya.
Adh-Dhahhak berkata dari Ibnu Abbas, "Mereka mengatakan, 'Wahai Muhammad', dan 'Wahai Abu al-Qasim', Maka Allah melarang mereka mengatakan itu untuk mengagungkan nabi-Nya". Demikian juga dikatakan oleh Mujahid dan Sa’id bin Jubair. Qatadah berkata, "Allah memerintahkan agar menghormati nabi-Nya, agar memuliakan dan mengagungkannya serta menggunakan kata Sayyidina". Muqatil mengucapkan kalimat yang sama.
Imam Malik berkata dari Zaid bin Aslam, "Allah memerintahkan mereka agar memuliakan Nabi Muhammad SAW". Adapun beberapa dalil dari hadits, dalam hadits berikut ini Rasulullah SAW menyebut dirinya dengan lafaz Sayyid di dunia. Beliau juga mengingatkan akan kepemimpinannya di akhirat kelak dengan keterangan yang jelas sehingga tidak perlu penakwilan. Berikut kutipannya:
1. Abu Hurairah berkata, Rasulullah SAW bersabda, "Aku adalah Sayyid (pemimpin) anak cucu (keturunan) Adam pada hari kiamat". Dalam riwayat lain dari Abu Sa’id Al Khudri dengan tambahan, "Bukan keangkukan". Dalam riwayat lain dari Abu Hurairah, "Aku adalah pemimpin manusia pada hari kiamat".
2. Dari Sahl bin Hunaif, ia berkata, "Kami melewati aliran air, kami masuk dan mandi di dalamnya, aku keluar dalam keadaan demam, hal itu disampaikan kepada Rasulullah SAW, beliau berkata, 'Perintahkanlah Abu Tsabit agar memohon perlindungan'. Maka aku katakan 'Wahai tuanku, bukankah ruqyah lebih baik'. Beliau menjawab, "Tidak ada ruqyah kecuali pada jiwa atau demam panas atau sengatan (binatang berbisa)." Perhatikan, dalam hadits ini Sahl bin Hunaif memanggil Rasulullah dengan sebutan Sayyidi dan Rasulullah tidak mengingkarinya. Ini adalah dalil pengakuan dari Rasulullah. Tidak mungkin Rasulullah SAW mengakui suatu perbuatan sahabat yang bertentangan dengan syariat Islam.
3. Terdapat banyak riwayat yang shahih yang menyebutkan lafaz Sayyidi yang diucapkan para sahabat. Di antaranya adalah hadits yang diriwayatkan Aisyah dalam kisah kedatangan Sa'ad bin
Mu'adz untuk memimpin di Bani Quraizhah, Aisyah berkata: "Berdirilah kamu untuk (menyambut) pemimpin kamu", mereka menurunkannya". Al-Khaththabi berkata dalam penjelasan hadits ini, "Dari hadits ini dapat diketahui bahwa ucapan seseorang kepada sahabatnya, "Ya sayyidi (wahai tuanku)" bukanlah larangan, jika ia memang baik dan utama. Tidak boleh mengucapkan itu kepada seseorang yang jahat".
4. Diriwayatkan dari Abu Bakarah, ia berkata, "Aku melihat Rasulullah SAW, Al Hasan bin Ali berada di sampingnya, saat itu ia menyambut beberapa orang, beliau berkata, "Sesungguhnya anakku ini adalah seorang pemimpin, semoga dengannya Allah mendamaikan dua kelompok besar kaum muslimin".
5. Umar bin Khaththab RA berkata, "Abu Bakar adalah pemimpin kami, ia telah membebaskan pemimpin kami", yang ia maksudkan adalah Bilal.
6. Dalam kitab Shahih Muslim disebutkan bahwa Ummu Ad-Darda’ berkata, "Tuanku Abu Ad-Darda' memberitahukan kepadaku, ia berkata, Rasulullah SAW bersabda, "Doa seseorang untuk saudaranya tanpa sepengetahuannya itu adalah doa yang dikabulkan".
7. Rasulullah SAW bersabda "Al Hasan dan Al Husein adalah dua pemimpin pemuda penghuni surga".
8. Rasulullah SAW bersabda, "Abu Bakar dan Umar adalah dua pemimpin orang-orang tua penghuni surga dari sejak manusia generasi awal hingga terakhir, kecuali para Nabi dan Rasul".
9. Rasulullah SAW bersabda "Orang yang sabar itu menjadi pemimpin di dunia dan akhirat".
10. Rasulullah SAW berkata kepada Fathimah Az-Zahra, "Apakah engkau tidak mau menjadi pemimpin wanita penduduk surga".
11. Al Maqburi berkata, "Kami bersama Abu Hurairah, kemudian datang Al Hasan bin Ali, ia mengucapkan salam, orang banyak membalasnya, ia pun pergi, Abu Hurairah bersama kami, ia tidak menyadari bahwa Al Hasan bin Ali datang, lalu dikatakan kepadanya, "Ini adalah Al Hasan bin Ali mengucapkan salam", maka Abu Hurairah menjawab "Keselamatan juga bagimu wahai tuanku". Mereka berkata kepada Abu Hurairah, “Engkau katakan ‘Wahai tuanku’?". Abu Hurairah menjawab, "Aku bersaksi bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Ia (Al Hasan bin Ali) adalah seorang pemimpin".
Kata Sayyid dan Sayyidah digunakan pada Fathimah, Sa'ad, Al Hasan, Al Husein, Abu Bakar, Umar dan orang-orang yang sabar secara mutlak, dengan demikian maka kita lebih utama untuk menggunakannya.
Dari dalil-dalil diatas, maka jumhur ulama muta'akhkhirin dari kalangan Ahlussunnah waljama’ah berpendapat bahwa boleh hukumnya menggunakan lafaz Sayyid kepada Nabi Muhammad SAW. Bahkan sebagian ulama berpendapat hukumnya dianjurkan, karena tidak ada dalil yang mengkhususkan dalil-dalil dan nash-nash yang bersifat umum ini. Oleh sebab itu maka dalil-dalil ini tetap bersifat umum dan lafaz Sayyid digunakan di setiap waktu, apakah di dalam salat maupun di luar salat.
Imam Ibnu 'Abidin berkata dalam kitab Hasyiahnya sesuai dengan pendapat pengarang kitab Ad-Durr, Ibnu Zhahirah, Ar-Ramli Asy-Syafi’i dalam kitab Syarahnya terhadap kitab Minhaj karya Imam Nawawi dan para ulama lainnya, menurutnya, "Yang paling afdhal adalah mengucapkannya dengan lafaz Sayyid".
Dalam Kitab Ad-Durr Al Mukhtar disebutkan, ringkasannya, "Dianjurkan mengucapkan lafaz Sayyidina, karena tambahan terhadap berita yang sebenarnya adalah inti dari adab dan sopan santun. Dengan demikian maka menggunakannya lebih afdhal daripada tidak menggunakannya. Disebutkan Imam Ar-Ramli Asy-Syafi’i dalam kitab Syarhnya terhadap kitab Al Minhaj karya Imam Nawawi, demikian juga disebutkan oleh para ulama lainnya.
Memberikan tambahan kata Sayyidina adalah tata krama kepada Rasulullah. Allah berfirman, "Maka orang-orang yang beriman kepadanya, memuliakannya, menolongnya dan mengikuti cahaya yang terang yang diturunkan kepadanya (Alqur'an), mereka Itulah orang-orang yang beruntung". (QS Al-A'raf: 157). Makna kata At-Ta’zir adalah memuliakan dan mengagungkan.
Dengan demikian maka penetapannya berdasarkan sunnah dan sesuai isi kandungan Alqur'an. Sebagian ulama berpendapat bahwa adab dan sopan santun kepada Rasulullah itu lebih baik daripada melaksanakan suatu amal.
Jika menambahkan Sayyidina itu dianggap menambah bacaan salat, apakah menambah bacaan selain yang ma’tsur (yang diajarkan Rasulullah) itu membatalkan salat? Imam Ibnu Taimiah menyebutkan dalam Majmu' Fatawa-nya: Ini adalah tahqiq terhadap ucapan Imam Ahmad bin Hanbal, sesungguhnya salat tidak batal dengan doa yang tidak ma'tsur, akan tetapi Imam Ahmad bin Hanbal tidak menganjurkannya.
Wallahu A'lam
Berikut penjelasan Ustaz Abdul Somad dikutip dari buku '77 Tanya-Jawab Seputar Shalat' yang dipersembahkan oleh Tafaqquh Study Club. (Baca Juga: Bagaimana Posisi Jari Ketika Tasyahud? Berikut Pendapat 4 Mazhab)
Jawaban:
Mazhab Hanafi dan Syafi'i:
Dianjurkan mengucapkan Sayyidina pada salawat Ibrahimiyah, karena memberikan tambahan pada riwayat adalah salah satu bentuk adab, maka lebih utama dilakukan daripada ditinggalkan. Adapun hadits yang mengatakan: "Janganlah kamu menyebut Sayyidina untukku". Ini adalah hadits palsu.
Beberapa dalil menyebut Sayyidina sebelum nama Rasulullah SAW: Memanggil nabi tidaklah sama seperti menyebut nama orang biasa, demikian disebutkan Allah Swt: "Janganlah kamu jadikan panggilan Rasul diantara kamu seperti panggilan sebahagian kamu kepada sebahagian (yang lain)". (QS. An-Nur: 63).
Ini adalah perintah dari Allah SWT, meskipun perintah ini bukan perintah yang mengandung makna wajib, akan tetapi minimal tidak kurang dari sebuah anjuran dan mengucapkan Sayyidina Muhammad adalah salah satu bentuk penghormatan dan memuliakan Nabi Muhammad SAW.
Allah SWT berfirman: "Sesungguhnya Allah menggembirakan kamu dengan kelahiran (seorang puteramu) Yahya, yang membenarkan kalimat (yang datang) dari Allah, menjadi ikutan, menahan diri (dari hawa nafsu)". (QS Al 'Imran: 39). Jika untuk Nabi Yahya AS digunakan kata 'wa sayyidan', mengapa tidak boleh digunakan untuk Nabi Muhammad Saw yang Ulul’Azmi dan memiliki keutamaan lainnya.
Adh-Dhahhak berkata dari Ibnu Abbas, "Mereka mengatakan, 'Wahai Muhammad', dan 'Wahai Abu al-Qasim', Maka Allah melarang mereka mengatakan itu untuk mengagungkan nabi-Nya". Demikian juga dikatakan oleh Mujahid dan Sa’id bin Jubair. Qatadah berkata, "Allah memerintahkan agar menghormati nabi-Nya, agar memuliakan dan mengagungkannya serta menggunakan kata Sayyidina". Muqatil mengucapkan kalimat yang sama.
Imam Malik berkata dari Zaid bin Aslam, "Allah memerintahkan mereka agar memuliakan Nabi Muhammad SAW". Adapun beberapa dalil dari hadits, dalam hadits berikut ini Rasulullah SAW menyebut dirinya dengan lafaz Sayyid di dunia. Beliau juga mengingatkan akan kepemimpinannya di akhirat kelak dengan keterangan yang jelas sehingga tidak perlu penakwilan. Berikut kutipannya:
1. Abu Hurairah berkata, Rasulullah SAW bersabda, "Aku adalah Sayyid (pemimpin) anak cucu (keturunan) Adam pada hari kiamat". Dalam riwayat lain dari Abu Sa’id Al Khudri dengan tambahan, "Bukan keangkukan". Dalam riwayat lain dari Abu Hurairah, "Aku adalah pemimpin manusia pada hari kiamat".
2. Dari Sahl bin Hunaif, ia berkata, "Kami melewati aliran air, kami masuk dan mandi di dalamnya, aku keluar dalam keadaan demam, hal itu disampaikan kepada Rasulullah SAW, beliau berkata, 'Perintahkanlah Abu Tsabit agar memohon perlindungan'. Maka aku katakan 'Wahai tuanku, bukankah ruqyah lebih baik'. Beliau menjawab, "Tidak ada ruqyah kecuali pada jiwa atau demam panas atau sengatan (binatang berbisa)." Perhatikan, dalam hadits ini Sahl bin Hunaif memanggil Rasulullah dengan sebutan Sayyidi dan Rasulullah tidak mengingkarinya. Ini adalah dalil pengakuan dari Rasulullah. Tidak mungkin Rasulullah SAW mengakui suatu perbuatan sahabat yang bertentangan dengan syariat Islam.
3. Terdapat banyak riwayat yang shahih yang menyebutkan lafaz Sayyidi yang diucapkan para sahabat. Di antaranya adalah hadits yang diriwayatkan Aisyah dalam kisah kedatangan Sa'ad bin
Mu'adz untuk memimpin di Bani Quraizhah, Aisyah berkata: "Berdirilah kamu untuk (menyambut) pemimpin kamu", mereka menurunkannya". Al-Khaththabi berkata dalam penjelasan hadits ini, "Dari hadits ini dapat diketahui bahwa ucapan seseorang kepada sahabatnya, "Ya sayyidi (wahai tuanku)" bukanlah larangan, jika ia memang baik dan utama. Tidak boleh mengucapkan itu kepada seseorang yang jahat".
4. Diriwayatkan dari Abu Bakarah, ia berkata, "Aku melihat Rasulullah SAW, Al Hasan bin Ali berada di sampingnya, saat itu ia menyambut beberapa orang, beliau berkata, "Sesungguhnya anakku ini adalah seorang pemimpin, semoga dengannya Allah mendamaikan dua kelompok besar kaum muslimin".
5. Umar bin Khaththab RA berkata, "Abu Bakar adalah pemimpin kami, ia telah membebaskan pemimpin kami", yang ia maksudkan adalah Bilal.
6. Dalam kitab Shahih Muslim disebutkan bahwa Ummu Ad-Darda’ berkata, "Tuanku Abu Ad-Darda' memberitahukan kepadaku, ia berkata, Rasulullah SAW bersabda, "Doa seseorang untuk saudaranya tanpa sepengetahuannya itu adalah doa yang dikabulkan".
7. Rasulullah SAW bersabda "Al Hasan dan Al Husein adalah dua pemimpin pemuda penghuni surga".
8. Rasulullah SAW bersabda, "Abu Bakar dan Umar adalah dua pemimpin orang-orang tua penghuni surga dari sejak manusia generasi awal hingga terakhir, kecuali para Nabi dan Rasul".
9. Rasulullah SAW bersabda "Orang yang sabar itu menjadi pemimpin di dunia dan akhirat".
10. Rasulullah SAW berkata kepada Fathimah Az-Zahra, "Apakah engkau tidak mau menjadi pemimpin wanita penduduk surga".
11. Al Maqburi berkata, "Kami bersama Abu Hurairah, kemudian datang Al Hasan bin Ali, ia mengucapkan salam, orang banyak membalasnya, ia pun pergi, Abu Hurairah bersama kami, ia tidak menyadari bahwa Al Hasan bin Ali datang, lalu dikatakan kepadanya, "Ini adalah Al Hasan bin Ali mengucapkan salam", maka Abu Hurairah menjawab "Keselamatan juga bagimu wahai tuanku". Mereka berkata kepada Abu Hurairah, “Engkau katakan ‘Wahai tuanku’?". Abu Hurairah menjawab, "Aku bersaksi bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Ia (Al Hasan bin Ali) adalah seorang pemimpin".
Kata Sayyid dan Sayyidah digunakan pada Fathimah, Sa'ad, Al Hasan, Al Husein, Abu Bakar, Umar dan orang-orang yang sabar secara mutlak, dengan demikian maka kita lebih utama untuk menggunakannya.
Dari dalil-dalil diatas, maka jumhur ulama muta'akhkhirin dari kalangan Ahlussunnah waljama’ah berpendapat bahwa boleh hukumnya menggunakan lafaz Sayyid kepada Nabi Muhammad SAW. Bahkan sebagian ulama berpendapat hukumnya dianjurkan, karena tidak ada dalil yang mengkhususkan dalil-dalil dan nash-nash yang bersifat umum ini. Oleh sebab itu maka dalil-dalil ini tetap bersifat umum dan lafaz Sayyid digunakan di setiap waktu, apakah di dalam salat maupun di luar salat.
Imam Ibnu 'Abidin berkata dalam kitab Hasyiahnya sesuai dengan pendapat pengarang kitab Ad-Durr, Ibnu Zhahirah, Ar-Ramli Asy-Syafi’i dalam kitab Syarahnya terhadap kitab Minhaj karya Imam Nawawi dan para ulama lainnya, menurutnya, "Yang paling afdhal adalah mengucapkannya dengan lafaz Sayyid".
Dalam Kitab Ad-Durr Al Mukhtar disebutkan, ringkasannya, "Dianjurkan mengucapkan lafaz Sayyidina, karena tambahan terhadap berita yang sebenarnya adalah inti dari adab dan sopan santun. Dengan demikian maka menggunakannya lebih afdhal daripada tidak menggunakannya. Disebutkan Imam Ar-Ramli Asy-Syafi’i dalam kitab Syarhnya terhadap kitab Al Minhaj karya Imam Nawawi, demikian juga disebutkan oleh para ulama lainnya.
Memberikan tambahan kata Sayyidina adalah tata krama kepada Rasulullah. Allah berfirman, "Maka orang-orang yang beriman kepadanya, memuliakannya, menolongnya dan mengikuti cahaya yang terang yang diturunkan kepadanya (Alqur'an), mereka Itulah orang-orang yang beruntung". (QS Al-A'raf: 157). Makna kata At-Ta’zir adalah memuliakan dan mengagungkan.
Dengan demikian maka penetapannya berdasarkan sunnah dan sesuai isi kandungan Alqur'an. Sebagian ulama berpendapat bahwa adab dan sopan santun kepada Rasulullah itu lebih baik daripada melaksanakan suatu amal.
Jika menambahkan Sayyidina itu dianggap menambah bacaan salat, apakah menambah bacaan selain yang ma’tsur (yang diajarkan Rasulullah) itu membatalkan salat? Imam Ibnu Taimiah menyebutkan dalam Majmu' Fatawa-nya: Ini adalah tahqiq terhadap ucapan Imam Ahmad bin Hanbal, sesungguhnya salat tidak batal dengan doa yang tidak ma'tsur, akan tetapi Imam Ahmad bin Hanbal tidak menganjurkannya.
Wallahu A'lam
(rhs)