Begini Sejarah Hari 'Asyura Menurut Islam

Rabu, 11 September 2019 - 08:07 WIB
Begini Sejarah Hari...
Begini Sejarah Hari 'Asyura Menurut Islam
A A A
DR KH Miftah el-Banjary
Pakar Ilmu Linguistik Arab & Tafsir Alquran
Alumni Institute of Arab Studies Kairo-Mesir

Ketika kedatangan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam (SAW) ke Madinah, beliau menyaksikan tradisi orang-orang Yahudi yang tengah berpuasa di hari ke-10 bulan Muharram.

Rasulullah bertanya tentang alasan mereka berpuasa pada hari itu. Mereka menjawab, "Hari itu hari dimana Allah menyelamatkan Nabi Musa dan Bani Israel dari kejaran Fir'aun di laut merah."

Lantas Rasulullah SAW bersabda: "Kami (umat muslim) lebih berhak mencintai Musa!"

Sejak saat itulah, Rasulullah mensunnahkan berpuasa pada hari itu. Ada sebagian ulama yang mensunnahkan puasa dimulai pada hari ke-9 hingga hari ke-11. Boleh juga di salah satu hari dari ketiganya.

Mengapa ada tradisi berpuasa 10 Muharram sebagai peringatan hari kemenangan Nabi Musa mengalahkan Fir'aun dalam perspektif sejarah Islam?

Sebagaimana diketahui bahwa Islam merupakan penyempurna dari ajaran risalah nabi terdahulu, umat Yahudi dan Nashrani, maka beberapa hal yang terkait dengan sejarah para nabi terdahulu juga merupakan bagian dari sejarah dan tradisi di dalam Islam.

Kisah tentang sejarah Nabi Musa sudah hampir dilupakan oleh orang-orang Yahudi. Kisah yang beredar di kalangan mereka pun banyak yang sudah bercampur dengan mitos dan dongeng fiksi.

Oleh karenanya, Alqur'an hadir membawa kisah sejarah Nabi Musa secara berulang-ulang. Banyak ayat dan surah untuk mengingatkan kembali kebenaran sejarah Nabi Musa yang telah mengalami banyak distorsi sejarah dan penyimpangan oleh bangsa Yahudi.

Kisah Nabi Musa versus Fir'aun hingga pengejaran ke Laut Merah dan kisah Nabi Musa dengan umatnya kaum Bani Israel merupakan kisah pokok terbanyak yang dikisahkan di dalam Alqur'an.

Setelah mengalami kekalahan dalam adu kekuatan sihir, akhirnya Nabi Musa sesuai dengan perintah Allah pun membawa Bani Israel keluar meninggalkan Mesir menuju Baitul Maqdis dengan melakukan eksodus secara besar-besaran.

Memang banyak peristiwa yang menyertai sebelum kepergian Bani Israel dari Mesir yang terjadi di kerajaan Fir'aun dan orang-orang Qibhty. Semisal menyebarnya wabah penyakit, bermunculan kodok dan jangkrik yang memenuhi kota, kelaparan, kebakaran, kekeringan dan sejumlah musibah lainnya.

Setelah hari yang ditentukan, maka keluarlah sebanyak 600.000 orang Bani Israel meninggalkan Mesir (ini menurut Ibnu Katsir di dalam Kitab Qishashul Anbiya) di bawah pimpinan Nabi Musa di malam hari.

Terkait rute yang ditempuh oleh Bani Israel dalam rangka melakukan eksodus menuju Yerussalem tidak ada keterangan yang jelas dan sistematis dalam kitab-kitab tafsir klasik, semisal Ibnu Katsir.

Tidak diketahui apakah Bani Israel menyeberangi lautan merah terlebih dahulu dan kemudian berhenti di Gunung Thursina atau kah berhenti di Gunung Thursina beberapa hari baru melanjutkan perjalanan menyeberang ke Jerussalem melewati Laut Merah?

Terkesan, dalam tafsir-tafsir klasik, Nabi Musa lebih dahulu dikejar pasukan Fir'aun, kemudian barulah menerima wahyu di gunung Thursina.

Mungkin hal ini, karena mulai mereka menafsirkan berdasarkan rentetan ayat dari surah Al-Baqarah. Kisah Nabi Musa dimulai diceritakan tentang peristiwa penyeberangan di Laut Merah hingga tenggelamnya Fir'aun pada ayat ke-49 dan ke-50. Barulah setelah itu, kisah Nabi Musa dan Bani Israel dikisahkan berentetan panjang setelah itu pada ayat ke-51 sampai 73.

Jika mengikuti jalur ayat ini, tentu akan sedikit membingungkan secara kronologis ayat ini dengan rute tempuhnya secara geografis.

Jika dilihat dari rute perjalanan yang ditempuh dari kerajaan Fir'aun di wilayah Ramses ke Palestina, mestinya sebenarnya masih bisa potong kompas, tanpa harus melewati Laut Merah dan Thursina.

Artinya, jika ditarik garis lurus secara geografis, Laut Merah dan Thursina bisa saja tidak menjadi bagian sejarah dalam kisah eksodus Nabi Musa dan Bani Israel, jika rute perjalanan yang ditempuh hanya antara Mesir ke Palestina. Namun, Allah berkehendak lain.

Jawaban yang lebih rasional dan memuaskan, saya dapatkan di dalam kitab "Musa wa Harun wa Man Fir'aun Musa" yang ditulis oleh Syekh Rusydi Badhrawi; dosen Universitas al-Azhar yang mengutip teori Insinyur Ali Bek Syafi'e yang membentangkan peta deskripsi rute perjalanan eksodus Bani Israel.

Insinyur Ali Bek menyajikan jalur peta yang lebih logis dimulai dari titik kerajaan Fir'aun di Qanthirah menuju daerah bernama Sukuts pada malam pertama. Selanjutnya perjalanan pada malam kedua, mereka menuju wilayah bernama Itsam atau "Laut Baluh/Balah". Barulah, pada malam ketiga mereka menuju dan tiba di "Bahr Ahmar" atau Laut Merah.

Memang, jika pun mau diperhatikan lebih seksama bahwa jalur yang ditempuh oleh Nabi Musa sama dengan rute perjalanan hijrah Rasullullah SAW dari Makkah menuju Madinah dengan jalur memutar, meski sebenarnya ada jalur tempuh normal yang lebih cepat sampai ke tujuan.

Namun, begitulah tampaknya, jalur rute yang ditempuh di masa kondusif akan berbeda dengan kondisi kritis dibawah tekanan dan pengejaran musuh yang mengancam keselamatan.

Fir'aun bersama 1.600.000 pasukan bala tentaranya mengejar Nabi Musa dan Bani Israel hingga ke tepi Laut Merah dengan kereta kuda mereka selama 3 hari pengejaran.

Pertemuan antara pasukan Fir'aun dan Nabi Musa bertemu di tepi Laut Merah. Tak ada jalan menyelematkan diri, sebab di hadapan jalan terbentang lautan besar, sedangkan di arah belakang kejaran bala tentara musuh kian mendekat.

Nabi Musa dan kaum Bani Israel terdesak di tepi Laut Merah. Nabi Musa berdoa. Allah pun perintahkan mereka menyeberangi lautan dengan mukjizat pukulan tongkat Nabi Musa.

Seketika air laut terbelah. Belahan air laut di sebelah kiri dan kanan tertahan. Allah juga perintahkan angin barat bertiup, sehingga matahari bersinar terik untuk mengeringkan dasar laut agar mudah dilewati.

Dengan cara itulah, Allah selamatkan Bani Israel dari kejaran pasukan Fir'aun. Sedangkan, Fir'aun dan bala tentaranya yang kadung menyusul hingga ke dasar laut, Allah tenggelamkan tanpa kekuasaan menyelamatkan diri.

Setelah berhasil selamat dari kejaran bala tentara Ramses II, Nabi Musa pun melanjutkan misinya memasuki padang sahari Tih. Namun sebelum itu, mereka harus menunggu Nabi Musa terlebih dahulu bermunajat di puncak Gunung Thursina selama 40 hari 40 malam guna menerima wahyu dari Ilahi.

Nabi Musa menerima 10 titah dari Allah dalam bentuk Lauh (batu yang terpatri) yang kemudian menjadi syariat bagi kaum Bani Israel. Diantara perintah dalam titah itu agar tidak mensekutukan Allah dengan sesuatu apa pun.

Namun, apa yang dilakukan oleh kaum Bani Israel, mereka justru melakukan pelanggaran dan pembangkangan. Mereka membuat serta menyembah anak patung emas dari inisiatif Samiri, masih merupakan kerabat Nabi Musa. Samiri pun diusir oleh Nabi Musa.

Disebabkan, orang-orang Bani Israel banyak yang tidak bersyukur. Malah melakukan banyak pelanggaran dan pembangkangan, akhirnya mereka gagal memasuki Jerussalem.

Mereka tersesat selama 40 tahun dan tidak bisa memasuki wilayah Palestina, hingga Nabi Musa wafat. Mereka baru bisa memasuki, wilayah Palestina ketika diutus Nabi Joshua atau dalam Islam dikenal dengan sebutan Nabi Yashu'a.

Sebagai bentuk rasa syukur itulah, jika kaum Yahudi yang merupakan anak keturunan Bani Israel memiliki tradisi berpuasa, maka kita kaum muslimin yang menganggap Nabi Musa sebagai nabi umat Islam, maka kita lebih berhak lagi mensyukuri kemenangan Nabi Musa mengalahkan kezhaliman Fir'aun.
(rhs)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0725 seconds (0.1#10.140)