Nasihat Imam Al-Ghazali tentang Rezeki
A
A
A
Manusia memang diperintahkan oleh Allah Ta'ala untuk berikhtiar, berusaha dan bekerja untuk mencari nafkah. Namun, seberapa besar rezeki yang kita peroleh sudah ditentukan dan dijamin oleh Allah.
Setiap muslim harus menggantungkan diri kepada Allah dalam segala urusan termasuk soal rezeki. Orang yang tidak menggantungkan diri kepada Allah, pikirannya akan selalu terpusat kepada rezeki, kebutuhan, dan urusan-urusan lain.
Ia akan sibuk memburu rezeki dengan perasaan waswas. Pada akhirnya ia tidak peduli lagi apakah rezekinya itu diperoleh dengan cara yang baik (halal) atau tidak. Cara mengatasinya tidak lain kecuali bertawakal (berserah diri).
Allah Ta'ala berfirman: "Sesungguhnya Allah, Dialah Maha Pemberi Rezeki" (QS Adz-Dzariyat: 58). "Dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezekinya," (QS Hud: 6)
Imam Al-Ghazali dalam Kitab tasawufnya 'Minhajul 'Abidin' (pedoman dasar bagi para ahli ibadah) mengatakan, "Hendaklah engkau tahu bahwa rezeki manusia itu telah dibagikan oleh Allah sebelum kita dilahirkan. Hal ini telah disebut secara jelas dalam al-Kitab dan hadits-hadits Rasulullah SAW. Bahkan, engkau pun tahu bahwa apa yang dibagikan-Nya tidak dapat diganti dan tidak pula diubah. Jika engkau menolak pembagian tersebut dan berharap agar diubah, maka berarti engkau mendekati kekufuran. Semoga Allah Ta’ala melindungi kita dari pikiran semacam itu."
Jika engkau mengetahui pembagian rezeki dari Allah itu benar adanya dan tidak mungkin berubah karena suatu hal, lalu mengapa kita menghalalkan segala cara untuk mencari rezeki, hingga lupa halal dan haram? Bahkan, melupakan kewajiban untuk beribadah.
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam (SAW) bersabda, "Sudah tertulis di punggung ikan dan banteng tentang rezeki si fulan. Maka, orang yang tamak tidak akan mendapatkan tambahan selain dari kepayahannya sendiri."
Gurunya Imam Al-Ghazali memberi nasihat: "Sesungguhnya apa yang ditakdirkan sebagai makanan yang engkau kunyah, maka tidak akan dikunyah oleh orang lain. Karena itu, makanlah bagian rezekimu itu dengan mulia, janganlah engkau memakannya dengan hina!"
Setiap muslim harus menggantungkan diri kepada Allah dalam segala urusan termasuk soal rezeki. Orang yang tidak menggantungkan diri kepada Allah, pikirannya akan selalu terpusat kepada rezeki, kebutuhan, dan urusan-urusan lain.
Ia akan sibuk memburu rezeki dengan perasaan waswas. Pada akhirnya ia tidak peduli lagi apakah rezekinya itu diperoleh dengan cara yang baik (halal) atau tidak. Cara mengatasinya tidak lain kecuali bertawakal (berserah diri).
Allah Ta'ala berfirman: "Sesungguhnya Allah, Dialah Maha Pemberi Rezeki" (QS Adz-Dzariyat: 58). "Dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezekinya," (QS Hud: 6)
Imam Al-Ghazali dalam Kitab tasawufnya 'Minhajul 'Abidin' (pedoman dasar bagi para ahli ibadah) mengatakan, "Hendaklah engkau tahu bahwa rezeki manusia itu telah dibagikan oleh Allah sebelum kita dilahirkan. Hal ini telah disebut secara jelas dalam al-Kitab dan hadits-hadits Rasulullah SAW. Bahkan, engkau pun tahu bahwa apa yang dibagikan-Nya tidak dapat diganti dan tidak pula diubah. Jika engkau menolak pembagian tersebut dan berharap agar diubah, maka berarti engkau mendekati kekufuran. Semoga Allah Ta’ala melindungi kita dari pikiran semacam itu."
Jika engkau mengetahui pembagian rezeki dari Allah itu benar adanya dan tidak mungkin berubah karena suatu hal, lalu mengapa kita menghalalkan segala cara untuk mencari rezeki, hingga lupa halal dan haram? Bahkan, melupakan kewajiban untuk beribadah.
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam (SAW) bersabda, "Sudah tertulis di punggung ikan dan banteng tentang rezeki si fulan. Maka, orang yang tamak tidak akan mendapatkan tambahan selain dari kepayahannya sendiri."
Gurunya Imam Al-Ghazali memberi nasihat: "Sesungguhnya apa yang ditakdirkan sebagai makanan yang engkau kunyah, maka tidak akan dikunyah oleh orang lain. Karena itu, makanlah bagian rezekimu itu dengan mulia, janganlah engkau memakannya dengan hina!"
(rhs)