Wabah Covis-19 di Saat Bulan Haram, Siklus Semesta Alam?

Rabu, 25 Maret 2020 - 07:30 WIB
Wabah Covis-19 di Saat Bulan Haram, Siklus Semesta Alam?
Wabah Covis-19 di Saat Bulan Haram, Siklus Semesta Alam?
A A A
Mochammad Sa'dun Masyhur
Holistic Healing Consulting, Expert and Inventor Medical Quran

Keberadaan virus corona di Indonesia telah menjadi realitas, harus diterima semua pihak, dengan segala konsekuensinya. Realitas ini sekaligus mematahkan spekulasi yang beredar luas, bahwa orang Indonesia kebal virus corona. Ungkapan bahwa daerah tropis aman penyebaran virus yang memiliki nama resmi COVID-19 itu adalah tidak benar.

Bagi masyarakat, sangat penting dipahami bahwa wabah penyakit, termasuk COVID-19, adalah suatu fenomena alam biasa. Tidak perlu panik, tetapi tetap butuh kewaspadaan yang tinggi, dan perlu membekali diri dengan pengetahuan yang tepat dan berguna, termasuk informasi bagaimana fenomena alam ini akan berlanjut. Menariknya, Covid-19 mulai menyerang Tanah Air pada bulan Rajab, kemarin.

Lantas, apa hubungannya dengan bulan Rajab, yang disebut sebagai bulan haram, bulan khusus yang dimuliakan?

Siklus Semesta Alam

Dalam ilmu astronomi, rotasi dan revolusi bulan, bumi dan matahari akan berpengaruh terhadap perubahan rasi bintang. Secara kasat mata dapat dirasakan dan dilihat, perbedaan pancaran gemerlap kerlip bintang di langit, perubahan siang-malam, terjadinya gerhana, pasang surut air laut, perbedaan musim dan iklim, serta perubahan arah dan kecepatan angin. Dengan alat sederhana, dapat juga diukur perubahan gravitasi bumi dan perjalanan waktu.

Seluruh perubahan itu kemudian akan mempengaruhi kehidupan seluruh mahluk hidup. Yakni setiap mahluk yang memiliki sel genetik, yang dalam terminologi Al-Qur'an disebut sebagai tiap-tiap yang bernafs (kullu nafsin).

Perubahan itu akan mempengaruhi terhadap seluruh aspek kehidupan: kelahiran, pertumbuhan, perkawinan, pembuahan dan kematian. Itulah sebabnya hanya pada bulan tertentu bunga-bunga bermekaran warna-warni. Kupu-kupu yang beragam jenisnya, tiba-tiba hadir mengepak-epakkan sayapnya yang indah. Atau pohon-pohon tertentu berbuah hanya pada musim tertentu. Dan sekiranya pohon yang sama itu berbuah setiap waktu, rasa buahnya menjadi berbeda-beda.

Dalam kaitanya dengan perhitungan bulan, Allah Subhanahu Wa Ta’ala (SWT) telah menetapkan bahwa jumlah bulan dalam satu tahun sebanyak 12 bulan.

إِنَّ عِدَّةَ الشُّهُورِ عِنْدَ اللَّهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا فِي كِتَابِ اللَّهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ۚ ذَٰلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ ۚ فَلَا تَظْلِمُوا فِيهِنَّ أَنْفُسَكُمْ ۚ وَقَاتِلُوا الْمُشْرِكِينَ كَافَّةً كَمَا يُقَاتِلُونَكُمْ كَافَّةً ۚ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ مَعَ الْمُتَّقِينَ

Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu, dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana merekapun memerangi kamu semuanya, dan ketahuilah bahwasanya Allah beserta orang-orang yang bertakwa”. (Al-Qur’an Surat Attaubah: 36)
Perhitungan ini menganulir kepercayaan kaum pagan, penyembah berhala atau matahari di Jazirah Arab waktu itu, yang semula meyakini jumlah bulan dalam setahun sebanyak 13 bulan.
Selanjutnya pada ayat tersebut juga dinyatakan, di antara 12 bulan itu terdapat 4 bulan haram. Sesuai hadis, jatuh pada bulan Muharram, Rajab, Zulkaidah dan Zulhijah, yang secara berurutan sebagai bulan ke 1, 7, 11 dan 12 Hijriyah. Masa waktu bulan itu, nyaris sama ditetapkan dalam kalender Jawa dikenal sebagai bulan Suro, Rejeb, Apit, dan Besar.

Dalam hubungannya dengan perubahan siklus bulan, fenomena wabah virus corona, dan wabah penyakit lainnya yang terjadi sekarang ini, tidak dapat dilepaskan dengan perubahan siklus semesta alam, yang terjadi pada bulan-bulan sebelumnya.

Perubahan musim dan cuaca ekstrim, sebenarnya telah mulai pada bulan kelima, yang dalam astronomi Jawa, disebut mongso manggolo. Pada musim ini, ditandai dengan terjadinya hujan sangat lebat (tidak harus di Pulau Jawa), pohon asam mulai menumbuhkan daun muda, ulat mulai bermunculan, ular keluar sarang, dan laron keluar dari liangnya. Tanda lainnya bagi petani, jenis tumbuhan empon-empon, lempuyang dan temu kunci mulai bertunas.

Sebenarnya mongso kalimo atau terjadi pada bulan Jumadil Awal itu, semua mahluk hidup mengalami perkembangan atau pertumbuhan awal. Pada bulan sebelumnya menetas dan mulai tumbuh dan berkembangbiak. Musim ini juga disebut mongso labuh-semplah karena berbagai jenis ragam ikan di laut banyak bermunculan, sehingga para nelayan mulai panen raya ikan, dan banyak kapal berlabuh untuk menjual ikan di pelabuhan. Perkembangiakan dan tumbuhan berbagai jenis dan ragamnya juga terjadi dan dialami biota renik, serta segala macam mikroorganisma di muka bumi.

Pada musim inilah virus corona mulai berkembang biak. Secara faktual, virus corona awalnya hanya dikenali sebagai virus yang menyerang hewan itu, dilaporkan terjadi pada medio November 2019, di pasar grosir hewan, Wuhan, China Selatan. Penyebaran virus antarhewan itu kemudian bermutasi menjadi virus yang menyerang manusia, dan dilaporkan korban pertama pada 31 Desember 2019, meskipun dalam laporan yang lain disebut 3 Desember 2019. Berlanjut kemudian, penyebaran COVID-19 itu terjadi antarmanusia dengan sangat cepat dan mematikan.

Masa pancaroba ini kemudian bertemu musim buah, sebagai sumber kehidupan yang melimpah bagi seluruh kehidupan mahluk hidup. Pada mongso kanem ini, hampir seluruh buah-buahan, mangga, durian, rambutan, sawo, manggis dan lain-lainnya, panen raya. Pada musim ini, sebenarnya melimpah sumberdaya bagi manusia untuk memilih asupan gizi yang terbaik guna menjaga daya tahan dan kesehatan tubuh, sebagai cadangan di musim berikutnya.

Memasuki mongso kapitu bersamaan dengan bulan haram, Rajab, dalam siklus mata rantai makhluk hidup yang terputus akan terjadi ledakan populasi. Persoalan akan muncul jika populasi yang mengalami ledakan itu bersifat patogen bagi manusia, sehingga sangat berbahaya.

Akibatnya, dalam astronomi Jawa, bulan Rajab dicatat sebagai puncak penyebaran penyakit. Condro pranoto mongsonya berbunyi, wiso kéntir ing maruto, artinya racun hanyut bersama tiupan angin. Sehingga akan banyak timbul penyakit, tidak hanya pada manusia tetapi juga ternak unggas serta menjangkiti semua makhluk hidup.

Perubahan mulai masuknya musim panas pada dua bulan berikutnya, setelah bulan Sya'ban (mulai 25 Maret 2020) dan pada Ramadan (24 April 2020), akan sangat menolong, karena dalam kondisi panas berbagai jenis jamur dan renik patogen dengan sendirinya akan berkurang, atau setidaknya tidak mampu berkembang. Karena itulah penyebaran COVID-19, diperkirakan baru akan dapat diatasi atau mereda paling cepat pada akhir bulan April 2020. Semoga.

Sayangnya, penanggalan berdasarkan perhitungan bulan, yang banyak memberikan pemahaman terjadinya fenomena alam itu, tidak lagi banyak dipakai, bahkan sudah ditinggalkan, dianggap kuno dan berbau mistik. Hampir di seluruh dunia fokus mengunakan kalender perhitungan matahari, sehingga kebanyakan orang sulit memahami fenomena alam, selain hanya berguna untuk peringatan hari-hari yang tidak jelas pangkal ujungnya.

Seyogyanya kaum muslimin kembali mengunakan penanggalan Hijriyah, agar mudah menyesuikan diri dengan perubahan alam. Saking tidak tahunya, menganggap bahwa alam enggan bersahabat dengan manusia, padahal sebaliknya, manusialah yang harus bersahabat dengan alam. (bersambung)
(mhy)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.2810 seconds (0.1#10.140)