Wabah Covid-19 dalam Pandangan Kiyai Said Aqil Siroj

Senin, 30 Maret 2020 - 21:45 WIB
Wabah Covid-19 dalam...
Wabah Covid-19 dalam Pandangan Kiyai Said Aqil Siroj
A A A
PANDEMI virus Corona atau Covid-19 merupakan ujian kemanusiaan. Virus ini mulanya muncul dari Wuhan, China dan merebak ke berbagai negara di kawasan Eropa, Amerika, Asia, termasuk Indonesia.

Kini, para tenaga medis dan ahli obat-obatan di seluruh dunia sedang berjuang keras untuk menemukan solusi, pencegahan, dan penghentian penyakit baru itu. Termasuk kaum agamawan juga tiada henti memohon kepada Tuhan agar ujian berat ini segera berakhir.

Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Prof Dr KH Said Aqil Siroj mengemukakan, ilmuwan dan agamawan adalah dua golongan yang saling melengkapi. Golongan pertama beramal untuk memahami ciptaan Tuhan, dan yang terakhir beramal untuk mencari hubungan ciptaan dengan Sang Pencipta.

"Ilmuwan membahas kosmos yang paling besar hingga virus yang sangat kecil semacam Covid-19 ini. Agamawan membantu pikiran dan perasaan manusia yang halus-lembut untuk tetap terhubung dengan Dzat Maha Lembut (al-Halim) lagi Maha Halus (al-Lathif)," tutur Kiai Said dalam pandangan tertulisnya kepada SINDOnews, Senin (30/3/2020).

Menurutnya, perbedaan ilmuwan dan agamawan pun sedikit. Sebagian ilmuwan hanya fokus pada objek risetnya dan abai pada apa dibalik objeknya sebagai ciptaan. Sebagian lagi tidak saja fokus pada objek penelitiannya, melainkan juga beriman pada yang gaib di balik cara kerja semesta alam ini.

"Golongan terakhir ini disebut ilmuwan yang beriman. Dalam menangani virus Covid-19, ilmuwan beriman berikhtiar mencari vaksin sekaligus bertawakal pada Tuhan agar diberi keselamatan di luar daya upaya manusia sendiri," paparnya.

Dijelaskan Kiyai Said, agamawan dalam tataran manhajul fikr (metodologi berpikir), sejalan dengan ilmuwan beriman, hanya berbeda porsi pada urusan spesifikasi keahlian. Ilmuwan lebih dominan kajian sainstifiknya, agamawan lebih fokus pada detail dimensi ilahiah atau ketuhanannya. Covid-19 bagi agamawan harus dituntaskan dengan cara-cara ilmiah, melalui metode yang disarankan paramedis, tetapi ketakwaan dan keimanan pada Tuhan harus diperbanyak porsinya.

Persamaan manhajul fikr ilmuwan beriman dan agamawan ini berangkat dari keutuhan memandang hidup, wujud, being. Agamawan, khususnya kaum Sufi, memandang bahwa segala selain Allah tidak ada (non-eksistensi). Bila keyakinan ini dipegang teguh maka disebut fana’. Segala selain Allah adalah ciptaan Allah dan penampakan jejak-jejak kehendak dan kekuasaan Allah atau tajalliyat qudroh wa irodah ilahiah.

"Realitas hidup yang beragam dan warna-warni seperti sehat-sakit, bahagia-derita, kuat-lemah, hidup-mati, semua itu merupakan ciptaan dan wujud kreasi Allah," tuturnya.

Kemunculan Covid-19 di level ini dapat dipahami sebagai wujud penampakan qudroh irodah Allah yang dalam Islam memiliki sifat-sifat seperti Al-Dharru (Maha Pendatang Bencana), Al-Muntaqim (Maha Keras dan Pemarah), dan lainnya.

Termasuk kelak di alam akhirat, siksa neraka adalah penampakan (tajalli) sifat Allah yang Syadidul ‘Iqab (Maha Penyiksa). Sebaliknya, kebahagiaan surga juga tajalli sifat Allah yang Ar-Rahman Ar-Rahim (Maha Pengasih-Penyayang).

Di kehidupan dunia, kata Kiyai Said, kemunculan Covid-19 tidak jauh berbeda dari kemunculan figur-figur seperti Fir’aun musuh Nabi Musa AS, para pembunuh dan pengkhianat Nabi Isa, atau Abu Jahal penentang Nabi Muhammad SAW .

"Musuh-musuh para Nabi tersebut Tajalli Sifat-sifat Allah yang Al-Mudhillu (Maha Menyesatkan). Sedangkan figur-figur Nabi merupakan Tajalli Sifat-sifat Allah yang al-Hadiyu (Maha Pembimbing)," jelasnya.

Di mata agamawan, figur para Nabi dan musuh mereka adalah tajalli atau penampakan sifat-sifat qudroh irodah Allah, di dunia maupun akhirat. Paramedis beriman dan agamawan bersepakat di sini.

Selanjutnya, bila para medis bekerja menemukan vaksin Anti-Covid-19 ini, agamawan berjuang dengan memohon kepada Allah agar diberi keselamatan untuk semua manusia di muka bumi tanpa memandang perbedaan ras, agama, maupun kewarganegaraan. Di dalam pelajaran agama, ada mekanisme berdoa, sebagaimana dalam medis juga ada mekanisme penelitian ilmiah.

"Laa illaha illaallah diyakini umat muslim sebagai satu-satunya zikir paling utama. Kalimat Tauhid ini digunakan dengan tiga macam cara berbeda: Zikir Asma’, Zikir Sifat, dan Zikir Dzat. Zikir secara literlek berarti mengingat Allah," tuturnya.

Dengan berzikir, kata Kiyai Said, manusia sedang mengenali jati dirinya, dari mana ia datang, apa yang mesti dikerjakan, dan ke mana harus pergi (sangkan paraning dumadi).

Zikir Asma’ berarti mengucapkan kalimat laa ilaha illaallah dengan penuh harapan terpenuhinya kepentingan duniawi maupun ukhrawi. Semisal diberi keselamatan, kesehatan, kesejahteraan, termasuk bebas-aman dari persebaran Covid-19 yang mematikan. Artinya, memohon pada Allah agar dikehendaki dengan kehendak tertentu yakni sehat dan dijauhkan dari kehendak Allah yang lain seperti terpapar virus. Jalan ini disebut ta'abbud (beribadah).

Zikir Sifat berarti mengucapkan kalimat Tauhid itu dengan harapan semakin dekat dan memahami sifat-sifat Allah seperti Maha Kuasa (Qudroh), Maha Berkehendak (Irodah), Maha Mengetahui ('Ilm), Maha Melihat (Bashar), Maha Mendengar (Sama'), serta sifat-sifat keagungan-Nya yang lain, yang tak terbatas.

"Tujuan utama Zikir Sifat mendekat pada Allah, bukan mendapatkan pemberian-pemberian meterial dari Allah. Sebab, anugerah terbesar adalah mendekat itu sendiri. Jalan ini disebut Taqarrub (mendekat)," urainya.

Zikir Dzat berarti mengucapkan kalimat laa ilaha illallah tanpa harapan apa pun. Tidak meminta rezeki, kesehatan, keselamatan dari penyakit atau siksa neraka, mendapatkan pahala dan surga, bahkan tidak terlintas memohon ampunan maupun ridha Tuhan.

"Juga tidak pernah takut dihinggapi penyakit, tidak khawatir jasad ragawinya menderita. Yang diharap dan diminta hanyalah Dzat Allah. Jalan ini disebut Tahaqquq, pelepasan segala permohonan diiringi penyatuan diri," katanya.

Di era pandemi Covid-19 ini, tiga macam cara berzikir tersebut memiliki fungsi dan dampak berbeda pada psikologi dan mental manusia. Jalan Ta’abbud mendorong manusia berikhtiar sekuat tenaga dengan mematuhi aturan paramedis dan himbauan pemerintah, disertai keyakinan Allah akan segara mengubah kehidupan menjadi lebih baik.

Jalan Taqarrub mendorong manusia melihat keagungan dan kebesaran Allah, dari waktu ke waktu pikiran dan perasaannya awas dan teliti mencari hikmah di balik realitas.

"Bagi mereka, selamat dari bencana virus bersyukur pada Allah, terpapar virus pun akan tetap bersyukur pada Allah. Mereka berikhtiar dengan mengikuti saran paramedis dan imbauan pemerintah. Tetapi mereka lebih cenderung pada rasa ingin tahu inti ikhtiarnya dari pada apa hasil ikhtiarnya nanti. Lebih menikmati prosesnya dari pada hasilnya. Mereka mencari hakikat realitas hidup itu sebagai jejak-jejak keagungan dan kebesaran Allah (af’alullah)," katanya.

Sementara Jalan Tahaqquq, tutur Kiyai Said, adalah jalan manisnya iman. Mereka tidak lagi melihat apa pun selain Allah. Segala sesuatu selain Allah tidak ada, non-eksistensi. "Jangankan hanya urusan virus Corona, urusan hidup-mati itu sendiri diri, perkara nasib dan masa depan dunia dan akhirat, mereka sendiri tidak peduli. Tidak ada satupun yang lebih penting selain Dzat Allah Ta'ala," katanya.

Karena itu, Kiyai Said mengimbau, jika kita semua tidak mampu menempuh jalan taqarrub dan tahaqquq maka pilihlah jalan ta’abbud. "Berjuanglah dengan keras menghadapi pandemi ini, berikhtiarlah dengan mematuhi himbauan pemerintah dan saran paramedis, serta perbanyak permohonan pada Allah, Sang Maha Pencipta, dengan berdoa dan berharap agar mendapat kebaikan dan dijauhkan dari keburukan. Semoga semuanya selamat. Aamien," pungkasnya.
(rhs)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.1535 seconds (0.1#10.140)