Mengenalkan puasa kepada anak
A
A
A
BAGI anak-anak, membiasakan untuk berpuasa tidaklah mudah. Namun, Anda harus mengajarkan hal itu sedini mungkin. Sebenarnya usia berapa yang tepat untuk mulai mengajari anak berpuasa dan apa manfaatnya buat si kecil?
Dini Ekayanti tak sabar menghitung hari jatuhnya bulan Ramadan. Usianya baru tujuh tahun, belum lagi akil balig, namun setiap tahunnya sejak usia taman kanak-kanak, bocah ini selalu antusias menyambut Ramadan. Dia semangat ingin berpuasa seperti orang tua dan teman-temannya. Meski begitu, dia sendiri hanya kuat berpuasa setengah hari.
“Saya ajari dia berpuasa sejak usia 5 tahun. Saya minta dia tidak makan dan minum sampai waktu zuhur. Untungnya, Dini sekolah di TK Islam, jadi lingkungannya cukup mendukung untuk mengajari anak ikut berpuasa,” tutur Sofia, sang bunda.
Layaknya anak-anak lain, setelah berbuka di siang hari, Dini ingin kembali melanjutkan puasanya hingga menjelang magrib. Sang bunda pun tak mempermasalahkan. Hanya saja, pada usianya yang sudah 7 tahun, Sofia ingin putri tunggalnya tersebut mulai mencoba berpuasa hingga waktu berbuka tiba. “Tidak setiap hari sih, semampu dia saja. Intinya, saya ingin coba mengajari Dini berpuasa sehari penuh,” kata ibu rumah tangga ini.
Kendati demikian, Sofia mengaku, perihal makna berpuasa tentu putri kecilnya itu belum bisa memahami. Yang Dini tahu hanya sebatas pahala yang didapatnya bila berpuasa dan bahwa Allah akan menyayangi dirinya. Sementara itu, Mazaya yang baru berusia 4 tahun, belum lagi tahu arti berpuasa. Dia hanya tahu sebatas menahan diri untuk tidak minum, makan, dan menikmati permen lollipop kesukaannya.
“Saya sebenarnya tidak secara khusus mengajari dia (Mazaya) berpuasa. Hanya saja, dia melihat teman TK-nya dan saudaranya yang lain pada bangun sahur dan buka puasa bersama, jadi dia minta ikut puasa juga,”kata Putri, ibu dari Mazaya.
Putri mengaku, Mazaya amat bersemangat untuk berpuasa. Bahkan sering dia yang membangunkan kedua kakaknya untuk sahur. Dia sendiri tidak makan nasi seperti layaknya orang yang berpuasa. Cukup dengan segelas susu dan terkadang menyantap roti. Lalu bersama kakaknya, dia mengikuti membaca doa niat berpuasa sebisanya. “Tapi, dia berbuka tidak sampai jam 12. Pokoknya pulang sekolah sekitar jam 10, langsung saya beri susu. Kadang malah sebelum berangkat sekolah kalau sangat haus sekali, dia minta minum segelas,” kata Putri sambil tertawa.
Namun, Putri cukup senang dan bangga dengan keinginan Mazaya berpuasa pada usianya yang masih sangat belia. Kemauannya cukup keras, padahal teman-teman sekolahnya saja banyak yang tidak berpuasa. Dari kacamata psikologi, mengajari anak berpuasa idealnya sudah bisa dilakukan sejak anak menginjak usia TK atau mulai usia 4–5 tahun. Namun, tujuannya adalah mengenalkan berpuasa sehingga anak hanya diajak untuk berpuasa semampunya saja dengan misi sekadar menahan keinginan makan dan minum, tidak lebih dari itu.
“Anak-anak belum wajib berpuasa. Biasanya mereka puasa setengah hari. Dan sifatnya hanya mengenalkan. Mengenai hikmah puasa untuk menahan hawa nafsu dan sebagainya, jangan diharapkan anak-anak akan mengerti,” kata psikolog Agustina Hendriati Psi MSc. Dijelaskan lebih detail oleh Agustina, sebab secara natural dalam perkembangan anak, pemahaman dirinya akan hal-hal yang berbau konkret hanya bisa ditangkap dan dipahami pada akhir masa SD.
Sementara, ibadah sendiri pada dasarnya bersifat abstrak dan belum dipahami makna seutuhnya oleh si anak. Meski begitu, menurut dosen psikologi di Universitas Atma Jaya ini, ada beberapa esensi yang bisa ditanamkan oleh orang tua lewat ibadah puasa ini. Ya, latihan berpuasa dapat membentuk karakter anak ke depan. Misalnya saja, dari ritual berpuasa ini orangtua dapat mengajari anak bagaimana berempati kepada orang yang tidak mampu.
Ajak anak memberi sedekah kepada fakir miskin sambil mengatakan, “Bapak itu dan anaknya susah mencari makan, kalau adik/kakak kan tidak susah. Makanya, harus bersyukur dengan cara menghabiskan makanan kamu.”Ajak pula anak untuk menyumbangkan pakaian yang layak kepada orang yang tidak mampu.
Puasa juga melatih anak mengatur emosi atau mengendalikan keinginan untuk makan dan minum, karena harus menahannya. Hal ini sekaligus melatih kedisiplinan diri. Selama berpuasa, anak menjadi lebih kreatif dengan mencari jalan untuk mengisi waktu sambil menunggu waktu berbuka tiba.
Dini Ekayanti tak sabar menghitung hari jatuhnya bulan Ramadan. Usianya baru tujuh tahun, belum lagi akil balig, namun setiap tahunnya sejak usia taman kanak-kanak, bocah ini selalu antusias menyambut Ramadan. Dia semangat ingin berpuasa seperti orang tua dan teman-temannya. Meski begitu, dia sendiri hanya kuat berpuasa setengah hari.
“Saya ajari dia berpuasa sejak usia 5 tahun. Saya minta dia tidak makan dan minum sampai waktu zuhur. Untungnya, Dini sekolah di TK Islam, jadi lingkungannya cukup mendukung untuk mengajari anak ikut berpuasa,” tutur Sofia, sang bunda.
Layaknya anak-anak lain, setelah berbuka di siang hari, Dini ingin kembali melanjutkan puasanya hingga menjelang magrib. Sang bunda pun tak mempermasalahkan. Hanya saja, pada usianya yang sudah 7 tahun, Sofia ingin putri tunggalnya tersebut mulai mencoba berpuasa hingga waktu berbuka tiba. “Tidak setiap hari sih, semampu dia saja. Intinya, saya ingin coba mengajari Dini berpuasa sehari penuh,” kata ibu rumah tangga ini.
Kendati demikian, Sofia mengaku, perihal makna berpuasa tentu putri kecilnya itu belum bisa memahami. Yang Dini tahu hanya sebatas pahala yang didapatnya bila berpuasa dan bahwa Allah akan menyayangi dirinya. Sementara itu, Mazaya yang baru berusia 4 tahun, belum lagi tahu arti berpuasa. Dia hanya tahu sebatas menahan diri untuk tidak minum, makan, dan menikmati permen lollipop kesukaannya.
“Saya sebenarnya tidak secara khusus mengajari dia (Mazaya) berpuasa. Hanya saja, dia melihat teman TK-nya dan saudaranya yang lain pada bangun sahur dan buka puasa bersama, jadi dia minta ikut puasa juga,”kata Putri, ibu dari Mazaya.
Putri mengaku, Mazaya amat bersemangat untuk berpuasa. Bahkan sering dia yang membangunkan kedua kakaknya untuk sahur. Dia sendiri tidak makan nasi seperti layaknya orang yang berpuasa. Cukup dengan segelas susu dan terkadang menyantap roti. Lalu bersama kakaknya, dia mengikuti membaca doa niat berpuasa sebisanya. “Tapi, dia berbuka tidak sampai jam 12. Pokoknya pulang sekolah sekitar jam 10, langsung saya beri susu. Kadang malah sebelum berangkat sekolah kalau sangat haus sekali, dia minta minum segelas,” kata Putri sambil tertawa.
Namun, Putri cukup senang dan bangga dengan keinginan Mazaya berpuasa pada usianya yang masih sangat belia. Kemauannya cukup keras, padahal teman-teman sekolahnya saja banyak yang tidak berpuasa. Dari kacamata psikologi, mengajari anak berpuasa idealnya sudah bisa dilakukan sejak anak menginjak usia TK atau mulai usia 4–5 tahun. Namun, tujuannya adalah mengenalkan berpuasa sehingga anak hanya diajak untuk berpuasa semampunya saja dengan misi sekadar menahan keinginan makan dan minum, tidak lebih dari itu.
“Anak-anak belum wajib berpuasa. Biasanya mereka puasa setengah hari. Dan sifatnya hanya mengenalkan. Mengenai hikmah puasa untuk menahan hawa nafsu dan sebagainya, jangan diharapkan anak-anak akan mengerti,” kata psikolog Agustina Hendriati Psi MSc. Dijelaskan lebih detail oleh Agustina, sebab secara natural dalam perkembangan anak, pemahaman dirinya akan hal-hal yang berbau konkret hanya bisa ditangkap dan dipahami pada akhir masa SD.
Sementara, ibadah sendiri pada dasarnya bersifat abstrak dan belum dipahami makna seutuhnya oleh si anak. Meski begitu, menurut dosen psikologi di Universitas Atma Jaya ini, ada beberapa esensi yang bisa ditanamkan oleh orang tua lewat ibadah puasa ini. Ya, latihan berpuasa dapat membentuk karakter anak ke depan. Misalnya saja, dari ritual berpuasa ini orangtua dapat mengajari anak bagaimana berempati kepada orang yang tidak mampu.
Ajak anak memberi sedekah kepada fakir miskin sambil mengatakan, “Bapak itu dan anaknya susah mencari makan, kalau adik/kakak kan tidak susah. Makanya, harus bersyukur dengan cara menghabiskan makanan kamu.”Ajak pula anak untuk menyumbangkan pakaian yang layak kepada orang yang tidak mampu.
Puasa juga melatih anak mengatur emosi atau mengendalikan keinginan untuk makan dan minum, karena harus menahannya. Hal ini sekaligus melatih kedisiplinan diri. Selama berpuasa, anak menjadi lebih kreatif dengan mencari jalan untuk mengisi waktu sambil menunggu waktu berbuka tiba.
(hyk)