Apakah Perempuan Bisa Menceraikan Suami? Begini Penjelasannya Menurut Islam
loading...

Jika dalam rumah tangga ada percekcokan sehingga pihak istri tidak bisa lagi bertahan bersama suaminya, maka pada konteks ini istri bisa mengajukan cerai kepada suaminya dengan disertai tebusan, atau istilahnya adalah khulu’. Foto ilustrasi/SINDOnews
A
A
A
Apakah perempuan bisa menceraikan suami ? Apa hukum dan syarat-syaratnya menurut Islam? Dalam kajian hukum Islam, hak menceraikan atau mengucapkan talak murni ada pada pihak suami. Oleh karena itu hanya suami yang bisa mentalak istrinya. Menurut an-Nawawi, hak talak berada pada pihak suami didasarkan pada penafsiran pada Surat Al Baqarah ayat 229, hadis, dan Ijma’.
Lalu bagaimana dengan pihak istri atau perempuan? Misalnya dalam rumah tangga ada percekcokan atau kejadian luar biasa sehingga pihak istri tidak bisa lagi bertahan bersama suaminya dan ingin bercerai, atau suami melakukan kesalahan dan menyakiti istrinya. Pada konteks ini istri bisa mengajukan cerai kepada suaminya dengan disertai tebusan, atau istilahnya adalah khulu’ .
Perlu diketahui, hukum asal khulu’ (sebagaimana hukum talak) adalah dilarang. Menurut sebagian ulama’ seperti mazhab Syafi’i, hukum asal khulu’ adalah makruh sebagaimana hukum talak. Akan tetapi hukum makruh ini dikecualikan dalam beberapa kondisi, di antaranya:
“Jika terjadi pertikaian dan percekcokan hebat (syiqaq) antara suami istri sehingga keduanya mempunyai kekhawatiran kuat tidak bisa menjalankan kewajibannya masing-masing, seperti istri tidak taat pada suami dan tidak berlaku baik dalam kehidupan berumah tangga, atau suami tidak berperilaku baik seperti melakukan KDRT kepada istri, dan upaya mendamaikan keduanya menemukan jalan buntu. Maka dalam hal ini khulu’ disunnahkan. Hal ini didasarkan pada penjelasan surat al-Baqarah ayat 229:
“… Tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu dari yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah …”
Menurut Syaikh Yusuf al-Qardhawi dalam bukunya yang diterjemahkan H. Mu'ammal Hamidy berjudul "Halal dan Haram dalam Islam" (PT Bina Ilmu, 1993), seorang perempuan apabila tidak suka kepada suaminya tidak sanggup bergaul bersama, maka diperkenankan menebus dirinya dan membeli kemerdekaannya dengan mengembalikan harta yang pernah diberikan oleh suami kepadanya berupa mas kawin , atau hadiah dengan sedikit berkurang atau lebih menurut kesepakatan bersama.
"Akan tetapi yang lebih baik si laki-laki tidak mengambil lebih dari apa yang pernah diberikan," ujar Syaikh Yusuf al Qardhawi.
Isteri Tsabit bin Qais pernah datang kepada Nabi Muhammad SAW mengadukan:
"Ya Rasulullah! Sesungguhnya Tsabit bin Qais tidak saya cela budi dan agamanya, tetapi saya tidak tahan marahnya. Kemudian Nabi bertanya tentang apa yang pernah dia ambil dari suaminya itu. Ia menjawab: Kebun. Lantas Nabi bertanya lagi., Apakah kamu mau mengembalikan kebun itu kepadanya? Ia menjawab: Ya. Maka bersabdalah Nabi kepada Tsabit: Terimalah kebun itu dan cerailah dia." (HR Bukhari dan Nasa'i)
Kendati demikian, kata al-Qardhawi, seorang istri tidak dibenarkan cepat-cepat minta cerai tanpa alasan yang dapat dibenarkan dan tanpa suatu pendorong yang dapat diterima yang kiranya bisa membawa kepada perceraian antara keduanya. Sebab Rasulullah SAW pernah bersabda sebagai berikut:
"Siapa saja perempuan yang minta cerai kepada suaminya tanpa suatu sebab yang dapat dibenarkan, maka dia tidak akan mencium bau surga." (Riwayat Abu Daud)
1. Karena suami memiliki cacat-cacat tertentu yang bisa merusak tujuan pernikahan, seperti gila, kemaluan terputus, dan impoten
2.Karena suami tidak mampu memberi mahar atau nafkah
3. Karena suami hilang tanpa ada kabar yang jelas (mafqud)
Menurut Ibnu Ruyd dalam kitab Bidayatul Mujtahid, salah satu dari tiga alasan di atas bisa menjadi alasan kuat istri menggugat cerai suaminya melalui hakim. Bahkan jika suaminya tidak mau menceraikannya, maka hakim berhak menceraikan keduanya. Jika hakim memutuskannya menceraikan keduanya dengan berbagai fakta dan alasan yang jelas, maka pernikahan keduanyanya berakhir atau bererai.
Jika melihat hukum yang berlaku di Indonesia, pengajuan perceraian di Pengadilan Agama bisa dari pihak suami, bisa juga dari pihak istri, tentu jika ada alasan kuat untuk mengajukan cerai.
Lalu bagaimana dengan pihak istri atau perempuan? Misalnya dalam rumah tangga ada percekcokan atau kejadian luar biasa sehingga pihak istri tidak bisa lagi bertahan bersama suaminya dan ingin bercerai, atau suami melakukan kesalahan dan menyakiti istrinya. Pada konteks ini istri bisa mengajukan cerai kepada suaminya dengan disertai tebusan, atau istilahnya adalah khulu’ .
Perlu diketahui, hukum asal khulu’ (sebagaimana hukum talak) adalah dilarang. Menurut sebagian ulama’ seperti mazhab Syafi’i, hukum asal khulu’ adalah makruh sebagaimana hukum talak. Akan tetapi hukum makruh ini dikecualikan dalam beberapa kondisi, di antaranya:
“Jika terjadi pertikaian dan percekcokan hebat (syiqaq) antara suami istri sehingga keduanya mempunyai kekhawatiran kuat tidak bisa menjalankan kewajibannya masing-masing, seperti istri tidak taat pada suami dan tidak berlaku baik dalam kehidupan berumah tangga, atau suami tidak berperilaku baik seperti melakukan KDRT kepada istri, dan upaya mendamaikan keduanya menemukan jalan buntu. Maka dalam hal ini khulu’ disunnahkan. Hal ini didasarkan pada penjelasan surat al-Baqarah ayat 229:
…. وَلَا يَحِلُّ لَكُمْ أَنْ تَأْخُذُوا مِمَّا آتَيْتُمُوهُنَّ شَيْئًا إِلَّا أَنْ يَخَافَا أَلَّا يُقِيمَا حُدُودَ اللَّهِ …
“… Tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu dari yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah …”
Menurut Syaikh Yusuf al-Qardhawi dalam bukunya yang diterjemahkan H. Mu'ammal Hamidy berjudul "Halal dan Haram dalam Islam" (PT Bina Ilmu, 1993), seorang perempuan apabila tidak suka kepada suaminya tidak sanggup bergaul bersama, maka diperkenankan menebus dirinya dan membeli kemerdekaannya dengan mengembalikan harta yang pernah diberikan oleh suami kepadanya berupa mas kawin , atau hadiah dengan sedikit berkurang atau lebih menurut kesepakatan bersama.
"Akan tetapi yang lebih baik si laki-laki tidak mengambil lebih dari apa yang pernah diberikan," ujar Syaikh Yusuf al Qardhawi.
Isteri Tsabit bin Qais pernah datang kepada Nabi Muhammad SAW mengadukan:
"Ya Rasulullah! Sesungguhnya Tsabit bin Qais tidak saya cela budi dan agamanya, tetapi saya tidak tahan marahnya. Kemudian Nabi bertanya tentang apa yang pernah dia ambil dari suaminya itu. Ia menjawab: Kebun. Lantas Nabi bertanya lagi., Apakah kamu mau mengembalikan kebun itu kepadanya? Ia menjawab: Ya. Maka bersabdalah Nabi kepada Tsabit: Terimalah kebun itu dan cerailah dia." (HR Bukhari dan Nasa'i)
Kendati demikian, kata al-Qardhawi, seorang istri tidak dibenarkan cepat-cepat minta cerai tanpa alasan yang dapat dibenarkan dan tanpa suatu pendorong yang dapat diterima yang kiranya bisa membawa kepada perceraian antara keduanya. Sebab Rasulullah SAW pernah bersabda sebagai berikut:
"Siapa saja perempuan yang minta cerai kepada suaminya tanpa suatu sebab yang dapat dibenarkan, maka dia tidak akan mencium bau surga." (Riwayat Abu Daud)
Syarat-syarat yang Harus Dipenuhi
Jika istri bersikukuh meminta cerai kepada suaminya dengan memberi tebusan tertentu dan ternyata suami tetap tidak mau menceraikan, maka istri bisa mengadukan atau meminta hakim untuk memutus cerai pernikahan keduanya dengan alasan-alasan tertentu, yaitu:1. Karena suami memiliki cacat-cacat tertentu yang bisa merusak tujuan pernikahan, seperti gila, kemaluan terputus, dan impoten
2.Karena suami tidak mampu memberi mahar atau nafkah
3. Karena suami hilang tanpa ada kabar yang jelas (mafqud)
Menurut Ibnu Ruyd dalam kitab Bidayatul Mujtahid, salah satu dari tiga alasan di atas bisa menjadi alasan kuat istri menggugat cerai suaminya melalui hakim. Bahkan jika suaminya tidak mau menceraikannya, maka hakim berhak menceraikan keduanya. Jika hakim memutuskannya menceraikan keduanya dengan berbagai fakta dan alasan yang jelas, maka pernikahan keduanyanya berakhir atau bererai.
Jika melihat hukum yang berlaku di Indonesia, pengajuan perceraian di Pengadilan Agama bisa dari pihak suami, bisa juga dari pihak istri, tentu jika ada alasan kuat untuk mengajukan cerai.
(wid)