Sejarah Diponegoro sampai paduan budaya santri & masyarakat

Selasa, 16 Juli 2013 - 23:12 WIB
Sejarah Diponegoro sampai paduan budaya santri & masyarakat
Sejarah Diponegoro sampai paduan budaya santri & masyarakat
A A A
Sindonews.com - Kata pesantren terkadang membuat sebagian orang membayangkan, jika tempat menuntut ilmu agama Islam ini sangat tertutup dari kata zaman yang modern. Baik sekolah maupun asrama dilingkari dengan tembok yang menjulang tinggi. Sehingga, kehidupan santri (sebutan pelajar pondok pesantren) terkesan jauh dari masyarakat sekitar.

Kondisi tersebut tidak akan ditemui di Pondok Pesantren Pabelan yang berada di Desa Pabelan, Kecamatan Mungkid, Kabupaten Magelang. Rerimbun pohon berbagai jenis tumbuh di sepanjang jalan dan halaman di dalam komplek pesantren yang memiliki luas sekira tujuh hektar ini.

Sebuah bangunan sekolah berjajar di sepanjang jalan masuk pesantren. Di hadapannya, tampak masjid dengan arsitektur paduan Jawa-Arab yang dibangun sekira tahun 1820 silam.

Masjid peninggalan KH Muhammad Ali tersebut sebagai cikal bakal Pondok Pesantren Pabelan.

"Di sini dulunya tempat pembela perjuangan Pangeran Diponegoro. Akhirnya disebut Pabelan, dari kata pembelaan," ujar KH Ahmad Najib A Hamam, pengasuh Pondok Pesantren Pabelan di lokasi, Selasa (16/7/2013).

Banyak cerita yang mengungkapkan di Pabelan ini sangat erat kaitannya dengan sejarah Pangeran Diponegoro.

"Di depan pesantren ada lahan yang disebut Kebun Bambu atau Kebun Mojo. Yakni markas besar milik Kiai Mojo, seorang pembantu Pangeraan Diponegoro dalam melawan penjajah," lanjutnya.

Namun, setelah perjuangan melawan penjajah tersebut kondisi Pesantren Pabelan mengalami pasang-surut. Sebab, saat itu pesantren belum memiliki bentuk fisik. Hanya banyak santri yang mendalami ilmu agama di masjid tersebut.

Hingga pada tahun 1963, KH Hamam Dja'far (ayah KH Ahmad Najib A Hamam) telah menyelesaikan studinya di Pondok Pesantren Gontor Ponorogo Jawa Timur.

Selama dua tahun membaur dengan masyarakat, muncul keprihatinan untuk membangun perekonomian masyarakat tentu dengan bekal ilmu agama.

Selanjutnya, dia kembali menghidupkan Pondok Pesantren Pabelan. Saat itu, KH Hamam Dja'far masih berusia 26 tahun.

"Saat itu pesantren dihidupkan hanya dengan modal masjid peninggalan salah satu kakeknya itu. Santri pertama ada sekitar 35 yakni 16 putra dan 16 putri," jelasnya.

Selama perjalanan membangun pesantren terutama bagian fisik, KH Hamam Dja'far tidak membuat tembok pembatas. Dia membiarkan pesantrennya membaur dengan kehidupan masyarakat sekitar.

"Selalu melibatkan santri dan masyarakat sekitar. Sebab itu memang sudah menjadi cita-cita. Santri harus bisa bermasyarakat secara baik, dan juga masyarakat bisa maju," paparnya.

Perjuangan meningkatkan perekonomian masyarakat ditelorkan melalui pemberian gratis bagi masyarakat Pabelan yang mengenyam pendidikan di pesantren ini.

"Khusus masyarakat Pabelan yang belajar di sini tidak dipungut biaya. Saat ini ada sekitar 130 santri yang berasal dari Pabelan sendiri," imbuh KH Ahmad Najib.

Namun, bagi lulusan Pesantren Pabelan terutama yang berasal dari Pabelan diwajibkan untuk mengabdi di pesantren. Mulai sebagai pengajar sampai di koperasi pesantres setidaknya satu tahun.

"Supaya benar-benar siap saat terjun di masyarakat. Kalau yang dari luar, kami tawarkan dulu mau mengabdi atau tidak," tambahnya.

Di dunia pendidikan, ujarnya, pesantren yang diasuhnya ini juga kerap mengikuti pertukaran pelajar. Di antaranya di Amerika dan Jepang.

Sistem pengajaran tersebut cukup berhasil melahirkan tokoh-tokoh. Di antaranya Komaruddin Hidayat, Rektor UIN Jakarta, Bachtiar Effendi, Pengamat Politik, Siti Ambar Fathonah sebagai Wakil Bupati Semarang, dan lainnya.

Berbagai prestasi juga berhasil ditorehkan oleh pondok pesantren ini. Pada tahun 1980, pondok ini mendapatkan penghargaan dari Pakistan karena arsitektur bangunannya. Tahun 1982, mendapatkan Kalpataru karena berhasil mengajak santri menanam pohon.

Tahun 2007 mendapatkan penghargaan dari pemerintah pusat terkait pengelolaan kesehatan santri dan masyarakat. Selain itu hampir tiap tahunnya, santri di sana dikirim dalam ajang International Award for Young People. Gurunya pun juga banyak diminta mengajar ke Amerika untuk studi banding soal sistem pendidikan pesantren.

Keberhasilan-keberhasilan ini, lanjutnya, tidak luput dari ajaran khas pondok pesantren ini. Di sini, santri memang diajarkan untuk berani, jujur, tanggungjawab, disiplin, serta berguna untuk masyarakat sekitar.

Dia melanjutkan pendidikan khas dari pensantren ini adalah mengabdi masyarakat. "Kami ingin memberikan pengalaman hidup pada santri," katanya.

Salah seorang santri, Syahril asal Bengkulu yang baru saja mendapat kesempatan ke Jepang tahun lalu mengatakan, Pesantren Pabelan banyak mengajarkan tentang pembentukan jati diri.

"Kedisiplinan, keberanian, tanggung jawab, kejujuran, banyak diajarkan di sini," katanya.

Dalam program ini, tuturnya, santri dituntut belajar memahami sistem belajar dan budaya. "Kami saling tukar kebudayaan di sana," tandasnya.
(mhd)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.5944 seconds (0.1#10.140)