Bekam saat berpuasa
A
A
A
Tanya :
Apakah yang dimaksud dengan berpantik atau berbekam, dan bolehkah dilalukan waktu berpuasa?
Demikian pertanyaan saya.
Jawab :
Berpantik atau berbekam adalah menggaruk-garuk kulit badan dengan tanduk kerbau guna diisap darahnya agar hilang rasa pegal-pegal pada tubuh, pada masyarakat tertentu hal ini disebut juga dengan disumbu yang dilakukan dengan menggunakan api dan minyak lalu api yang di atas kulit itu ditutup dengan gelas lalu digaruk-garuk sehingga rasa pegal-pegal dan masuk angin bisa dilhilangkan, begitulah orang lakukan pada masa dulu.
Pada masa sekarang, bekam dilakukan untuk membuang darah kotor dari tubuh seseorang dengan cara dikop dengan tarikan menggunakan alat seperti mangkok, sesudah nampak menonjol dari darah yang dikop itu, disuntik atau disilet kulitnya sehingga darah kotor keluar dan diambil untuk dibuang sehingga sehingga peredarannya menjadi lancar.
Berpantik atau berbekam tidak termasuk hal-hal yang membatalkan puasa sebagaimana hadits Rasul SAW yang artinya: “Dari Ibnu Abbas: Sesungguhnya Nabi SAW telah telah berpantik ketika beliau dalam ihram dan beliau berpantik pula sewaktu berpuasa” (HR Bukhari).
Berpantik yang mengeluarkan darah memang tidak membatalkan puasa sebagaimana hadits di atas sehingga mengeluarkan darah juga tidak membatalkan puasa, kecuali darah haid dan nifas. Dalam kaitan ini, donor darah sewaktu berpuasa juga dibolehkan.
Demikian jawaban singkatnya, semoga bermanfaat bagi kita bersama.
Tiga kekasih ilahi
Setiap kita pasti ingin dicintai Allah SWT dan menjadi kekasih-Nya. Dicintai manusia saja kita sudah senang, apalagi bila dicintai Allah SWT, tentu lebih senang lagi. Ada banyak ayat dan hadits yang menyebutkan tentang siapa yang Allah SWT cintai dari hamba-hamba-Nya.
Dalam hadits qudsi yakni wahyu yang tidak termasuk dalam Alquran disebutkan bahwa Allah SWT sampai menyatakan wajib hukumnya atau pasti mencintai orang itu. Bila kita ingin termasuk orang yang dicintai Allah SWT, maka kita lakukan apa yang membua Allah SWT mencintai manusia.
Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Malik dan Hakim ini, Allah SWT memastikan diri-Nya untuk mencintai tiga orang.
1. Orang yang saling cinta karena Allah
Mencintai sesama manusia apalagi orang yang berlainan jenis, yakni laki-laki dengan wanita merupakan sesuatu yang sudah biasa. Yang menjadi luar biasa adalah bila seseorang mencintai orang lain karena Allah SWT, bukan karena kecantikan atau ketampanan, bukan karena harta dan kedudukan, bukan pula karena popularitas dan berbagai sebab duniawi lainnya. Dalam Hadits Qudsi,
Allah SWT berfirman:
حَقَّتْ مَحَبَّتِى لِلْمُتَحَبِّيْنَ فِيَّ
Pasti kecintaanKu bagi orang-orang yang saling mencintai karena Aku (HR, Malik dan Al Hakim).
Kalau begitu, bagaimana memahami maksud mencintai karena Allah?. Cintailah siapa saja karena Allah SWT mencintainya, itu namanya cinta karena Allah meskipun kita tidak menyukainya. Misalnya ada orang yang tidak baik dengan segala sikap dan perbuatannya yang melanggar hukum dan akhlak dalam Islam, kita dan banyak orang yang membencinya.
Tapi orang itu sudah bertaubat dengan sesungguh-sungguhnya yang membuatnya Allah SWT mencintainya, maka meskipun belum hilang rasa benci kita kepada orang itu, maka kitapun harus mencintainya karena Allah SWT sudah menyatakan cinta kepada orang itu sebagaimana firman-Nya: Sesunggunya Allah mencintai orang yang bertaubat dan mensucikan diri (QS Al Baqarah [2]:222).
Di dalam suatu hadits, Rasulullah SAW bersabda yang berkaitan dengan dicintainya orang yang bertaubat oleh Allah SWT:
إِنَّ اللهَ يُحِبُّ الْعَبْدَ الْمُؤْمِنَ الْمُفْتَتَنَ التَّوَّابَ
Sesungguhnya Allah mencintai seorang hamba mukmin yang terjerumus dosa tetapi bertaubat (HR. Ahmad).
Dengan demikian, cinta karena Allah bukanlah cinta karena hawa nafsu dan selera. Bila yang kita cintai tidak dicintai Allah SWT, untuk apa kita mencintainya, sedangkan bila seseorang kita benci, padahal Allah SWT mencintainya, kenapa pula kita harus membencinya.
Disinilah pentingnya bagi kita menyesuaikan diri terhadap apa yang dibenci dan dicintai oleh Allah SWT sehingga dengan demikian iman kita menjadi sempurna, Rasulullah SAW bersabda:
مَنْ أَعْطَى ِللهِ تَعَالَى وَمَنَعَ ِللهِ تَعَالَى وَأَحَبَّ ِللهِ تَعَالَى وَأَبْغَضَ ِللهِ تَعَالَى وَأَنْكَحَ ِللهِ تَعَالَى فَقَدِ اسْتَكْمَلَ إِيْمَانُهُ
Barangsiapa memberi karena Allah, menolak karena Allah, mencintai karena Allah, membenci karena Allah dan menikah karena Allah, maka sempurnalah imannya (HR. Abu Daud).
2. Saling memberi karena Allah
Memberi karena Allah SWT adalah memberi karena Allah SWT memang memerintahkan kepada kita untuk berinfak dan berbagi tanpa diminta, apalagi diminta. Memberi karena Allah SWT adalah memberi tanpa mengharap balasan dari siapapun kecuali dari Allah SWT.
Bagi orang yang bertaqwa, berbagi merupakan karakter yang melekat dalam dirinya, tidak hanya pada saat memiliki harta yang berlebih, tapi juga pada kondisi lagi kurang, Allah SWT berfirman: Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertaqwa, (yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik diwaktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan (QS Ali Imran [3]:133-134).
Memberi menjadi satu keharusan karena ada saat dimana kita juga membutuhkan pemberian atau bantuan orang lain, namun kita harus memberi bukan karena mengharap balasan pemberian, tapi mermang sudah menjadi suatu keharusan, karena memang apa yang kita peroleh dan kita nikmati karena ada pengorbanan orang lain dalam banyak hal. Dalam hadits Qudsi, Allah swt berfirman:
حَقَّتْ مَحَبَّتِى لِلْمُتَبَاذِلِيْنَ فِيَّ
Pasti kecintaanKu bagi orang-orang yang saling memberi karena Aku (HR, Malik dan Al Hakim).
Namun yang amat disayangkan, banyak orang yang memberi karena mengharapkan sesuatu, bisa mengharap balasan yang lebih banyak atau lebih besar dari apa yang diberikan, mengharapkan mendapat posisi atau jabatan hingga berharap mendapatkan popularitas, minimal dihadapan orang yang diberinya. Istilah sekarang adalah tidak ada makan siang yang gratis.
3. Saling berkunjung karena Allah
Persahabatan antar satu orang dengan orang lain tidak hanya harus dijalin, tapi juga harus diperkuat jalinan itu. Apalagi jalinan persaudaraan karena ikatan nasab atau kefamilian. Selain berkomunikasi melalui alat-alat komunikasi modern seperti internet, SMS, BBM, whatsApp dan sebagainya, datang atau berkunjung secara fisik merupakan sesuatu yang tidak tergantikan.
Namun berkunjung itu harus semata-mata karena Allah SWT, bukan karena ada hal-hal lain yang ingin kita dapatkan seperti ingin mendapatkan makanan dan sebagainya. Bila kita mau saling berkunjung kepada sesama kita, khususnya saudara dalam keluarga, maka Allah SWT menyatakan kepastiannya mencintai orang tersebut, dalam hadits Qusi, Allah SWT berfirman:
حَقَّتْ مَحَبَّتِى لِلْمُتَزَاوِرِيْنَ فِيَّ
Pasti kecintaanKu bagi orang-orang yang saling berkunjung karena Aku (HR, Malik dan Al Hakim).
Karena itu, ketika Rasulullah saw bertanya kepada pada sahabat tentang maukah aku beritahukan kepada kalian tentang orang yang akan menjadi penghuni surga?, diantaranya beliau menjawab:
اَلرَّجُلُ يَزُوْرُ أَخَاهُ فِى نَاحِيَةِ الْمِصْرِ لاَ يَزُوْرُهُ إلاَّ لِلَّهِ عَزَّ وَجَلَّ
Seorang laki-laki yang mengunjungi saudaranya di penjuru kota dengan ikhlas karena Allah (HR. Ibnu Asakir, Abu Na’im dan Nasa’i).
Segala yang baik memang harus dirasakan kenikmatannya, termasuk dalam persaudaraan. Sama halnya dengan orang yang ingin menikmati hal lain, sebut saja misalnya pertandingan sepakbola yang biasanya disiarkan oleh televisi dan kita bisa menyaksikannya dari rumah masing-masing dengan santai, tapi bagi orang yang ingin menikmati, mereka tetap menyaksikan langsung di stadion meski harus berkorban waktu, biaya dan tenaga.
Begitu pula dengan pertunjukan musik yang para penonton juga sudah mengetahui dan mendengar lagu yang hendak dinyanyikan, tapi yang ingin menikmati tetap datang ke tempat pertunjukan meski harus mengorbankan waktu, tenaga hingga biaya yang besar. Bila untuk hal lain orang mau menikmatinya secara langsung, mengapa untuk menguatkan persaudaraan tidak mau kita nikmati dengan secara langsung dengan datang secara fisik, tidak hanya melalui alat-alat komunikasi.
Dengan demikian, menjadi kekasih Allah swt bila dicapai oleh siapa saja dengan beriman kepada-Nya serta melakukan apa saja yang Allah SWT menyukainya.
Apakah yang dimaksud dengan berpantik atau berbekam, dan bolehkah dilalukan waktu berpuasa?
Demikian pertanyaan saya.
Jawab :
Berpantik atau berbekam adalah menggaruk-garuk kulit badan dengan tanduk kerbau guna diisap darahnya agar hilang rasa pegal-pegal pada tubuh, pada masyarakat tertentu hal ini disebut juga dengan disumbu yang dilakukan dengan menggunakan api dan minyak lalu api yang di atas kulit itu ditutup dengan gelas lalu digaruk-garuk sehingga rasa pegal-pegal dan masuk angin bisa dilhilangkan, begitulah orang lakukan pada masa dulu.
Pada masa sekarang, bekam dilakukan untuk membuang darah kotor dari tubuh seseorang dengan cara dikop dengan tarikan menggunakan alat seperti mangkok, sesudah nampak menonjol dari darah yang dikop itu, disuntik atau disilet kulitnya sehingga darah kotor keluar dan diambil untuk dibuang sehingga sehingga peredarannya menjadi lancar.
Berpantik atau berbekam tidak termasuk hal-hal yang membatalkan puasa sebagaimana hadits Rasul SAW yang artinya: “Dari Ibnu Abbas: Sesungguhnya Nabi SAW telah telah berpantik ketika beliau dalam ihram dan beliau berpantik pula sewaktu berpuasa” (HR Bukhari).
Berpantik yang mengeluarkan darah memang tidak membatalkan puasa sebagaimana hadits di atas sehingga mengeluarkan darah juga tidak membatalkan puasa, kecuali darah haid dan nifas. Dalam kaitan ini, donor darah sewaktu berpuasa juga dibolehkan.
Demikian jawaban singkatnya, semoga bermanfaat bagi kita bersama.
Tiga kekasih ilahi
Setiap kita pasti ingin dicintai Allah SWT dan menjadi kekasih-Nya. Dicintai manusia saja kita sudah senang, apalagi bila dicintai Allah SWT, tentu lebih senang lagi. Ada banyak ayat dan hadits yang menyebutkan tentang siapa yang Allah SWT cintai dari hamba-hamba-Nya.
Dalam hadits qudsi yakni wahyu yang tidak termasuk dalam Alquran disebutkan bahwa Allah SWT sampai menyatakan wajib hukumnya atau pasti mencintai orang itu. Bila kita ingin termasuk orang yang dicintai Allah SWT, maka kita lakukan apa yang membua Allah SWT mencintai manusia.
Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Malik dan Hakim ini, Allah SWT memastikan diri-Nya untuk mencintai tiga orang.
1. Orang yang saling cinta karena Allah
Mencintai sesama manusia apalagi orang yang berlainan jenis, yakni laki-laki dengan wanita merupakan sesuatu yang sudah biasa. Yang menjadi luar biasa adalah bila seseorang mencintai orang lain karena Allah SWT, bukan karena kecantikan atau ketampanan, bukan karena harta dan kedudukan, bukan pula karena popularitas dan berbagai sebab duniawi lainnya. Dalam Hadits Qudsi,
Allah SWT berfirman:
حَقَّتْ مَحَبَّتِى لِلْمُتَحَبِّيْنَ فِيَّ
Pasti kecintaanKu bagi orang-orang yang saling mencintai karena Aku (HR, Malik dan Al Hakim).
Kalau begitu, bagaimana memahami maksud mencintai karena Allah?. Cintailah siapa saja karena Allah SWT mencintainya, itu namanya cinta karena Allah meskipun kita tidak menyukainya. Misalnya ada orang yang tidak baik dengan segala sikap dan perbuatannya yang melanggar hukum dan akhlak dalam Islam, kita dan banyak orang yang membencinya.
Tapi orang itu sudah bertaubat dengan sesungguh-sungguhnya yang membuatnya Allah SWT mencintainya, maka meskipun belum hilang rasa benci kita kepada orang itu, maka kitapun harus mencintainya karena Allah SWT sudah menyatakan cinta kepada orang itu sebagaimana firman-Nya: Sesunggunya Allah mencintai orang yang bertaubat dan mensucikan diri (QS Al Baqarah [2]:222).
Di dalam suatu hadits, Rasulullah SAW bersabda yang berkaitan dengan dicintainya orang yang bertaubat oleh Allah SWT:
إِنَّ اللهَ يُحِبُّ الْعَبْدَ الْمُؤْمِنَ الْمُفْتَتَنَ التَّوَّابَ
Sesungguhnya Allah mencintai seorang hamba mukmin yang terjerumus dosa tetapi bertaubat (HR. Ahmad).
Dengan demikian, cinta karena Allah bukanlah cinta karena hawa nafsu dan selera. Bila yang kita cintai tidak dicintai Allah SWT, untuk apa kita mencintainya, sedangkan bila seseorang kita benci, padahal Allah SWT mencintainya, kenapa pula kita harus membencinya.
Disinilah pentingnya bagi kita menyesuaikan diri terhadap apa yang dibenci dan dicintai oleh Allah SWT sehingga dengan demikian iman kita menjadi sempurna, Rasulullah SAW bersabda:
مَنْ أَعْطَى ِللهِ تَعَالَى وَمَنَعَ ِللهِ تَعَالَى وَأَحَبَّ ِللهِ تَعَالَى وَأَبْغَضَ ِللهِ تَعَالَى وَأَنْكَحَ ِللهِ تَعَالَى فَقَدِ اسْتَكْمَلَ إِيْمَانُهُ
Barangsiapa memberi karena Allah, menolak karena Allah, mencintai karena Allah, membenci karena Allah dan menikah karena Allah, maka sempurnalah imannya (HR. Abu Daud).
2. Saling memberi karena Allah
Memberi karena Allah SWT adalah memberi karena Allah SWT memang memerintahkan kepada kita untuk berinfak dan berbagi tanpa diminta, apalagi diminta. Memberi karena Allah SWT adalah memberi tanpa mengharap balasan dari siapapun kecuali dari Allah SWT.
Bagi orang yang bertaqwa, berbagi merupakan karakter yang melekat dalam dirinya, tidak hanya pada saat memiliki harta yang berlebih, tapi juga pada kondisi lagi kurang, Allah SWT berfirman: Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertaqwa, (yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik diwaktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan (QS Ali Imran [3]:133-134).
Memberi menjadi satu keharusan karena ada saat dimana kita juga membutuhkan pemberian atau bantuan orang lain, namun kita harus memberi bukan karena mengharap balasan pemberian, tapi mermang sudah menjadi suatu keharusan, karena memang apa yang kita peroleh dan kita nikmati karena ada pengorbanan orang lain dalam banyak hal. Dalam hadits Qudsi, Allah swt berfirman:
حَقَّتْ مَحَبَّتِى لِلْمُتَبَاذِلِيْنَ فِيَّ
Pasti kecintaanKu bagi orang-orang yang saling memberi karena Aku (HR, Malik dan Al Hakim).
Namun yang amat disayangkan, banyak orang yang memberi karena mengharapkan sesuatu, bisa mengharap balasan yang lebih banyak atau lebih besar dari apa yang diberikan, mengharapkan mendapat posisi atau jabatan hingga berharap mendapatkan popularitas, minimal dihadapan orang yang diberinya. Istilah sekarang adalah tidak ada makan siang yang gratis.
3. Saling berkunjung karena Allah
Persahabatan antar satu orang dengan orang lain tidak hanya harus dijalin, tapi juga harus diperkuat jalinan itu. Apalagi jalinan persaudaraan karena ikatan nasab atau kefamilian. Selain berkomunikasi melalui alat-alat komunikasi modern seperti internet, SMS, BBM, whatsApp dan sebagainya, datang atau berkunjung secara fisik merupakan sesuatu yang tidak tergantikan.
Namun berkunjung itu harus semata-mata karena Allah SWT, bukan karena ada hal-hal lain yang ingin kita dapatkan seperti ingin mendapatkan makanan dan sebagainya. Bila kita mau saling berkunjung kepada sesama kita, khususnya saudara dalam keluarga, maka Allah SWT menyatakan kepastiannya mencintai orang tersebut, dalam hadits Qusi, Allah SWT berfirman:
حَقَّتْ مَحَبَّتِى لِلْمُتَزَاوِرِيْنَ فِيَّ
Pasti kecintaanKu bagi orang-orang yang saling berkunjung karena Aku (HR, Malik dan Al Hakim).
Karena itu, ketika Rasulullah saw bertanya kepada pada sahabat tentang maukah aku beritahukan kepada kalian tentang orang yang akan menjadi penghuni surga?, diantaranya beliau menjawab:
اَلرَّجُلُ يَزُوْرُ أَخَاهُ فِى نَاحِيَةِ الْمِصْرِ لاَ يَزُوْرُهُ إلاَّ لِلَّهِ عَزَّ وَجَلَّ
Seorang laki-laki yang mengunjungi saudaranya di penjuru kota dengan ikhlas karena Allah (HR. Ibnu Asakir, Abu Na’im dan Nasa’i).
Segala yang baik memang harus dirasakan kenikmatannya, termasuk dalam persaudaraan. Sama halnya dengan orang yang ingin menikmati hal lain, sebut saja misalnya pertandingan sepakbola yang biasanya disiarkan oleh televisi dan kita bisa menyaksikannya dari rumah masing-masing dengan santai, tapi bagi orang yang ingin menikmati, mereka tetap menyaksikan langsung di stadion meski harus berkorban waktu, biaya dan tenaga.
Begitu pula dengan pertunjukan musik yang para penonton juga sudah mengetahui dan mendengar lagu yang hendak dinyanyikan, tapi yang ingin menikmati tetap datang ke tempat pertunjukan meski harus mengorbankan waktu, tenaga hingga biaya yang besar. Bila untuk hal lain orang mau menikmatinya secara langsung, mengapa untuk menguatkan persaudaraan tidak mau kita nikmati dengan secara langsung dengan datang secara fisik, tidak hanya melalui alat-alat komunikasi.
Dengan demikian, menjadi kekasih Allah swt bila dicapai oleh siapa saja dengan beriman kepada-Nya serta melakukan apa saja yang Allah SWT menyukainya.
(nfl)