Hebohnya Lebaran
A
A
A
“FUD, sebenarnya saya tak mau mengganggu kesibukanmu dengan SMS ini. Kamu orang besar, saya orang kecil. Tetapi, karena Idul Fitri ini saya tak bisa mudik, saya meminta maaf lahir batin melalui SMS ini saja.
Selamat Idul Fitri, ingin rasanya mudik bertemu denganmu di Madura kita”, demikian saya terima SMS dari Zainuddin, teman sekolah dan teman main saat saya remaja. Sekarang dia menjadi guru agama sekolah dasar di sebuah desa di Kabupaten Probolinggo. “Hai, Din, mengapa kamu tak mudik? Saya sudah membayangkan akan bernostalgia makan kaldu dan sate Madura bersamamu. Maaf lahir batin, ya.
Terasa ada beban di hati jika dalam mengakhiri Ramadan dan menyambut Idul Fitri ini saya belum meminta maaf padamu. Maaf, maaaf yang banyak”, tulis saya di SMS balasan padanya. Sejak Selasa lalu saya menerima ribuan pesan hari raya dari berbagai penjuru, melalui telepon, kartu Lebaran, Facebook, SMS, dan Twitter. Pada 1 Syawal sejak Rabu jam 23 malam sampai Kamis jam 3.30 pagi saya asyik merespons berbagai pesan yang masuk melalui Twitter maupun SMS.
Kalimat-kalimat pesan yang masuk bermacam-macam. Ada yang mengharukan, ada yang lucu-lucu, ada yang begitu serius menyatakan minta maaf. “Saat Lebaran begini, dulu kita sering berkeliling kampung dengan pakaian baru sambil merokok. Sekarang kamu sudah jadi orang besar, saya hanya berani melihat di TV dan membaca koran untuk berkomunikasi batin denganmu. Tetapi, kali ini saya memberanikan diri mengirim SMS untuk meminta maaf,” tulis Kholil, teman lain yang sekarang ada di Malang.
“Fud, ingat enggak waktu kita main mercon di kampung dulu. Sekarang kampung kita sudah maju, ada listrik dan ATM bank. Kita sudah kehilangan wajah kampung yang dulu kita susuri membangunkan orang-orang untuk bersahur. Mudik, ya? Minta maaf lahir batin,” tulis Hafi. “Mas Mahfud, Lebaran tahun lalu kita masih bisa ngumpul dengan Romdhon, dia sekarang sudah meninggal karena gagal ginjal. Alhamdulillah kita masih bisa menikmati Lebaran tahun ini. Kudengar kamu sudah punya cucu sekarang. ”
”Maaf lahir batin, mudah-mudahan usia kita sampai lagi ke Lebaran tahun depan”, tulis Chozin dari ujung timur Pulau Jawa. Hampir lima jam saya asyik merespons pesan-pesan yang kadang diselingi saling jawab dengan hangat itu. Kadang saya menjawab dengan serius, kadang bercanda, kadang dengan nada sangat terharu karena kenangan masa lalu.
Ketika sedang berdialog lewat dunia maya itu air mata saya meleleh saat mendengar alunan syahdu lagu religi Bimbo yang legendaris, Tuhandan Rindu Kami Padamu. Tuhan, tempat aku berteduh. Di mana aku mengeluh dengan segala keluh.... Rindu kami padamu ya Rasul. Rindu tiada terperi. Berabad jarak darimu ya Rasul, serasa dikau di sini.... “Meski ada yang mengatakan pemborosan uang dan waktu, tapi saya selalu mudik kalau Lebaran sebab saya termasuk ahli mudik.
Serawungan saat mudik sungguh menghangatkan jiwa dan meremajakan rasa kemanusiaan. Lebaran dan halal bihalal yang disertai tradisi mudik dengan berbagai bentuk pertemuan akrab antar manusia sungguhlah indah. Semangat utama dalam Lebaran adalah saling meminta dan memberi maaf serta bersilaturahmi dengan kerabat dan sahabat-sahabat. Lebaran dengan tradisi mudik itu murni produk budaya Islam Indonesia. Sebab itu, mudik Lebaran, halalbihalal, syawalan, dan sebagainya sebenarnya bukan peristiwa agama, melainkan peristiwa budaya.
Tepatnya Lebaran memang bukan perintah primer Islam, tetapi logikanya dibangun secara sederhana dari ajaran Islam. Orang yang berpuasa dengan iman dan bersungguh-sungguh diampuni oleh Allah semua dosanya yang lalu. Tetapi, berdasar Hadits dari Abu Hurairah, dosa terhadap sesama manusia takkan pernah hilang sebelum pelakunya meminta maaf kepada manusia lain yang didosai.
Sebab itu, para wali penyiar Islam dulu menciptakan tradisi Lebaran untuk memberi momentum yang nyaman melakukan saling memaafkan guna menghapus kesalahan antarmanusia. Sunan Bonang menyimbolkan Lebaran itu dengan makanan “kupat” (nasi ketupat) yang bisa diartikan saling “mengaku lepat” (mengaku bersalah dan meminta maaf). Islam mengajarkan bahwa meminta ampun kepada Allah dan meminta maaf kepada sesama manusia harus dilakukan secepatnya, tidak harus menunggu Lebaran.
Belum tentu usia manusia itu sampai pada Lebaran berikutnya. Tetapi, dengan ditradisikan seperti di Indonesia, upaya saling memaafkan menjadi lebih mudah karena suasana kejiwaan memang diciptakan untuk itu. Suasana Lebaran, halal bihalal, dan syawalan selalu menimbulkan kehangatan dan heboh dalam artinya yang positif yakni membangun keakraban.
Meskipun Lebaran, mudik, dan segala tradisi acaranya itu produk budaya, ia tetaplah berpahala sunah sebab ia dikreasi dari ajaran agama tentang perintah saling memaafkan serta ajaran tentang silaturahmi.
Ada kaidah usul fikih: “al-‘Adatu muhakkamah”. Artinya, adat atau tradisi itu bernilai hukum. Tradisi yang baik berpahala, tradisi yang jelek berdosa. Mohon maaf lahir dan batin.
MOH MAHFUD MD
Guru Besar Hukum Konstitusi
Selamat Idul Fitri, ingin rasanya mudik bertemu denganmu di Madura kita”, demikian saya terima SMS dari Zainuddin, teman sekolah dan teman main saat saya remaja. Sekarang dia menjadi guru agama sekolah dasar di sebuah desa di Kabupaten Probolinggo. “Hai, Din, mengapa kamu tak mudik? Saya sudah membayangkan akan bernostalgia makan kaldu dan sate Madura bersamamu. Maaf lahir batin, ya.
Terasa ada beban di hati jika dalam mengakhiri Ramadan dan menyambut Idul Fitri ini saya belum meminta maaf padamu. Maaf, maaaf yang banyak”, tulis saya di SMS balasan padanya. Sejak Selasa lalu saya menerima ribuan pesan hari raya dari berbagai penjuru, melalui telepon, kartu Lebaran, Facebook, SMS, dan Twitter. Pada 1 Syawal sejak Rabu jam 23 malam sampai Kamis jam 3.30 pagi saya asyik merespons berbagai pesan yang masuk melalui Twitter maupun SMS.
Kalimat-kalimat pesan yang masuk bermacam-macam. Ada yang mengharukan, ada yang lucu-lucu, ada yang begitu serius menyatakan minta maaf. “Saat Lebaran begini, dulu kita sering berkeliling kampung dengan pakaian baru sambil merokok. Sekarang kamu sudah jadi orang besar, saya hanya berani melihat di TV dan membaca koran untuk berkomunikasi batin denganmu. Tetapi, kali ini saya memberanikan diri mengirim SMS untuk meminta maaf,” tulis Kholil, teman lain yang sekarang ada di Malang.
“Fud, ingat enggak waktu kita main mercon di kampung dulu. Sekarang kampung kita sudah maju, ada listrik dan ATM bank. Kita sudah kehilangan wajah kampung yang dulu kita susuri membangunkan orang-orang untuk bersahur. Mudik, ya? Minta maaf lahir batin,” tulis Hafi. “Mas Mahfud, Lebaran tahun lalu kita masih bisa ngumpul dengan Romdhon, dia sekarang sudah meninggal karena gagal ginjal. Alhamdulillah kita masih bisa menikmati Lebaran tahun ini. Kudengar kamu sudah punya cucu sekarang. ”
”Maaf lahir batin, mudah-mudahan usia kita sampai lagi ke Lebaran tahun depan”, tulis Chozin dari ujung timur Pulau Jawa. Hampir lima jam saya asyik merespons pesan-pesan yang kadang diselingi saling jawab dengan hangat itu. Kadang saya menjawab dengan serius, kadang bercanda, kadang dengan nada sangat terharu karena kenangan masa lalu.
Ketika sedang berdialog lewat dunia maya itu air mata saya meleleh saat mendengar alunan syahdu lagu religi Bimbo yang legendaris, Tuhandan Rindu Kami Padamu. Tuhan, tempat aku berteduh. Di mana aku mengeluh dengan segala keluh.... Rindu kami padamu ya Rasul. Rindu tiada terperi. Berabad jarak darimu ya Rasul, serasa dikau di sini.... “Meski ada yang mengatakan pemborosan uang dan waktu, tapi saya selalu mudik kalau Lebaran sebab saya termasuk ahli mudik.
Serawungan saat mudik sungguh menghangatkan jiwa dan meremajakan rasa kemanusiaan. Lebaran dan halal bihalal yang disertai tradisi mudik dengan berbagai bentuk pertemuan akrab antar manusia sungguhlah indah. Semangat utama dalam Lebaran adalah saling meminta dan memberi maaf serta bersilaturahmi dengan kerabat dan sahabat-sahabat. Lebaran dengan tradisi mudik itu murni produk budaya Islam Indonesia. Sebab itu, mudik Lebaran, halalbihalal, syawalan, dan sebagainya sebenarnya bukan peristiwa agama, melainkan peristiwa budaya.
Tepatnya Lebaran memang bukan perintah primer Islam, tetapi logikanya dibangun secara sederhana dari ajaran Islam. Orang yang berpuasa dengan iman dan bersungguh-sungguh diampuni oleh Allah semua dosanya yang lalu. Tetapi, berdasar Hadits dari Abu Hurairah, dosa terhadap sesama manusia takkan pernah hilang sebelum pelakunya meminta maaf kepada manusia lain yang didosai.
Sebab itu, para wali penyiar Islam dulu menciptakan tradisi Lebaran untuk memberi momentum yang nyaman melakukan saling memaafkan guna menghapus kesalahan antarmanusia. Sunan Bonang menyimbolkan Lebaran itu dengan makanan “kupat” (nasi ketupat) yang bisa diartikan saling “mengaku lepat” (mengaku bersalah dan meminta maaf). Islam mengajarkan bahwa meminta ampun kepada Allah dan meminta maaf kepada sesama manusia harus dilakukan secepatnya, tidak harus menunggu Lebaran.
Belum tentu usia manusia itu sampai pada Lebaran berikutnya. Tetapi, dengan ditradisikan seperti di Indonesia, upaya saling memaafkan menjadi lebih mudah karena suasana kejiwaan memang diciptakan untuk itu. Suasana Lebaran, halal bihalal, dan syawalan selalu menimbulkan kehangatan dan heboh dalam artinya yang positif yakni membangun keakraban.
Meskipun Lebaran, mudik, dan segala tradisi acaranya itu produk budaya, ia tetaplah berpahala sunah sebab ia dikreasi dari ajaran agama tentang perintah saling memaafkan serta ajaran tentang silaturahmi.
Ada kaidah usul fikih: “al-‘Adatu muhakkamah”. Artinya, adat atau tradisi itu bernilai hukum. Tradisi yang baik berpahala, tradisi yang jelek berdosa. Mohon maaf lahir dan batin.
MOH MAHFUD MD
Guru Besar Hukum Konstitusi
(nfl)