Jalan Kebenaran: Tauhid Tingkat Tinggi Sekaligus Abstrak Menurut Cak Nur

Sabtu, 11 Februari 2023 - 10:19 WIB
Prof Dr Nurcholish Madjid, MA. Foto/Ilustrasi: Ist
Cendekiawan Islam, Prof Dr Nurcholish Madjid, MA (1939-2005) atau populer dipanggil Cak Nur menjelaskan tentang tauhid tingkat tinggi dan sekaligus amat abstrak tatkala mengupas tentang konsep-konsep kebahagiaan dan kesengsaraan dalam buku berjudul "Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah".

Menurutnya, metodologi takhalli di kalangan kaum Sufi mengharuskan adanya proses pengosongan diri dari anggapan-anggapan, asumsi-asumsi dan klaim-klaim tentang pengetahuan yang benar, agar supaya dalam menempuh jalan lurus mencari Kebenaran itu terjadi kemurnian sejati (ikhlas).

"Jika dalam konteks duniawi berpikir selalu menuntut adanya pra-asumsi atau premis, maka dalam konteks pencarian Kebenaran sejati itu, pra-asumsi dan premis justru harus dilepaskan," ujarnya

Hanya saja, menurut Cak Nur, meskipun tanpa ada pra-asumsi atau premis, berpikir dalam konteks kesufian tidaklah berarti tiadanya rasionalitas.



Kenyataan bahwa al-Qur'an senantiasa menyerukan penggunaan akal untuk mencari dan menerima Kebenaran menunjukkan bahwa antara rasio dan pengalaman keagamaan tidaklah terdapat pertentangan. Justru tasawuf sebagai bidang yang menggarap segi esoterik keagamaan, adalah suatu bentuk perkembangan rasionalitas yang tertinggi.

Erich Fromm sebagaimana dikutip Cak Nur berkata: "Saya harus memberi catatan bahwa, sangat berlawanan dengan perasaan umum bahwa mistisisme adalah suatu jenis pengalaman keagamaan yang tidak rasional, ia justru mengetengahkan perkembangan tertinggi rasionalitas dalam pemikiran keagamaan. Seperti dinyatakan oleh Albert Schweitzer: "Pemikiran rasional yang bebas dari asumsi-asumsi berakhir dalam mistisisme".

Pembuangan asumsi-asumsi adalah fase pembebasan yang amat sulit dalam menempuh jalan menuju hakikat. Kesulitan itu dapat dipahami antara lain dari peringatan Ibn 'Arabi dalam sebuah syair kesufiannya sebagaimana dinukil dalam al-Futuhat al-Makkiyah:

"Barangsiapa mengaku dengan pasti bahwa Allah bergaul dengan dirinya, dan ia tidak lari (dari pengakuan itu), maka itu adalah tanda bahwa ia tak tahu apa-apa.

Tidak ada yang tahu Allah kecuali Allah sendiri, maka waspadalah, sebab yang sadar di antaramu tentulah tidak seperti yang alpa.

Ketiadaan kemampuan menangkap pengertian adalah ma'rifat begitulah memang pandangan akan hal itu bagi yang berakal sehat. Dia adalah Tuhan yang sebenarnya, yang pujian kepada-Nya tidak terbilang, Dia adalah Yang Maha Suci, maka janganlah kamu buat bagi-Nya perbandingan."



Mengetahui Tuhan

Jadi, kata Cak Nur, perasaan tahu Tuhan adalah justru pertanda tidak tahu apa-apa. "Mengetahui Tuhan" mengesankan adanya hasil pencarian rasional yang luar biasa. Tetapi sekali orang menginsafi bahwa Tuhan adalah Wujud Mutlak, yang berarti tidak akan terjangkau wujud nisbi seperti manusia dan seluruh alam raya ciptaan-Nya, maka ia pun akan paham bahwa perasaan, apalagi keyakinan, bahwa bila ia tahu Tuhan adalah kebodohan yang tiada taranya.

Dalam gambaran Ibn 'Arabi , bahkan seandainya seseorang dapat mengetahui alam gaib, maka saat alam gaib itu tersingkap baginya adalah juga saat ia tertutup baginya.

Jadi, sejalan dengan sifat paradoksal kenyataan-kenyataan, justru saat seseorang tahu alam gaib adalah juga saat ia tidak tahu.

"Jika matahari ilmu telah terbenam maka bingunglah akal-pikiran yang kemampuannya hanya dalam teori pembuktian. Kalau seandainya alam gaib itu dapat disaksikan oleh mata penglihatan, maka saat munculnya alam gaib itu adalah juga saat ia terbenam," lanjut Ibn 'Arabi dalam al-Futuhat al-Makkiyyah.

Cak Nur menjelaskan, maka perjalanan mencari Tuhan mengikuti garis lurus atau al-shirath al-mustaqim adalah perjalanan yang mensyaratkan kekosongan pikiran perbandingan mengenai Tuhan dan bebas dari asumsi-asumsi, yang diistilahkan dalam ilmu tasawuf sebagai akhalli, pengosongan diri. Inilah tauhid dalam tingkatnya yang amat tinggi, sekaligus amat abstrak (mujarrad).

Kemudian ada isyarat dalam al-Qur'an bahwa Nabi sendiri pun melakukan takhalli. Nabi diperintahkan agar menyatakan bahwa beliau hanyalah seorang Utusan Tuhan; antara lain untuk mengajarkan kepercayaan pada adanya alam gaib. Namun beliau hanyalah seorang manusia yang diutus Allah, dengan mengikuti ajaran yang diwahyukan pada beliau dan menyampaikan ajaran itu kepada masyarakat manusia.

Halaman :
Follow
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Hadits of The Day
Dari Ibnu Umar radhiyallahu 'anhu, ia berkata: Dahulu Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam apabila Berbuka Puasa, beliau mengucapkan:  DZAHABAZH ZHAMAA'U WABTALLATIL 'URUUQU WA TSABATIL AJRU IN SYAA-ALLAAH (Telah hilang dahaga, dan telah basah tenggorokan, dan telah tetap pahala insya Allah).

(HR. Sunan Abu Dawud No. 2010)
Artikel Terkait
Al-Qur'an, Bacalah!
Rekomendasi
Terpopuler
Artikel Terkini More