Jalan Kebenaran: Tauhid Tingkat Tinggi Sekaligus Abstrak Menurut Cak Nur
Sabtu, 11 Februari 2023 - 10:19 WIB
Katakan (Muhammad): "Aku tidak pernah mengaku kepadamu bahwa aku memiliki perbendaharaan Allah juga tidak aku mengetahui alam gaib. Aku pun tidak pernah mengaku kepadamu bahwa aku adalah seorang malaikat. Aku hanyalah mengikuti apa yang diwahyukan kepadaku." Katakan (Muhammad): "Apakah sama antara orang yang melihat dan orang buta? Apakah kamu tidak berpikir?" ( QS al-An'am/6 :50)
Lebih lanjut, kata Cak Nur, senafas dengan prinsip-prinsip di atas, Nabi juga diperintahkan Allah menyatakan bahwa beliau tidaklah bermaksud membuat hal-hal baru terhadap apa yang telah diwariskan pada Rasul terdahulu. Beliau sendiri juga tidak tahu apa yang akan diperbuat Allah terhadap beliau. Misalnya, mengingat bahwa sebagai Rasul terdahulu ada yang menjadi korban, sampai terbunuh, oleh misi sucinya. "Nabi hanyalah mengikuti wahyu yang diterimanya, dan beliau hanyalah seorang pembawa peringatan yang tidak meragukan," jelas Cak Nur.
Katakan (Muhammad): "Aku bukanlah seorang pembuat bid'ah di antara Rasul-rasul (yang sudah-sudah), dan aku tidak pula tahu apa yang akan diperbuat (oleh Tuhan) kepadaku, juga tidak (apa yang diperbuat) kepadamu. Aku hanyalah mengikuti apa yang diwahyukan kepadaku dan aku hanyalah seorang pembawa peringatan yang jelas tidak meragukan. ( QS al-Ahqaf/46 :9)
Bagi seorang yang menerima pengajaran langsung dari Tuhan dan bertugas menjadi utusan-Nya, Nabi pasti mengetahui apa yang benar dan apa yang salah. Beliau pasti mengetahui pula siapa yang mendapat petunjuk Tuhan dan siapa pula yang sesat di antara manusia ini, termasuk di antara beliau sendiri berhadapan dengan kaum yang menolak kebenaran yang beliau ajarkan. Namun Allah masih mengajari beliau agar menerapkan apa yang disebut (dalam bahasa Inggris) the benefit of the doubt atau hikmah keraguan, sebagai metodologi pencarian kebenaran:
Katakan (Muhammad): "Siapa yang memberi kamu semua rizqi, baik yang dari langit maupun yang dari bumi? Katakan: "Allah! Dan boleh jadi kami, atau kamu, yang pasti berada di atas petunjuk kebenaran, atau pasti berada dalam kesesatan yang terang." ( QS Saba'/34 :24)
Semuanya itu dalam pandangan kesufian dan filsafat Islam, adalah jalan sebenarnya menuju dan menemukan kebahagiaan. Metafor yang telah disebutkan bahwa "mata air" di surga itu dinamakan "sal sabil-an" atau "tanyalah jalan" melukiskan bahwa kebahagiaan tidaklah bersumber dari perasaan kepastian dalam pengalaman pencarian Kebenaran.
Justru pengalaman rohani ketika dengan penuh ketulusan hati dan niat yang murni sungguh-sunggah mencari, dalam ketegangan antara kecemasan dan harapan (khawf-an wa thama'-an) yaitu kecemasan kalau-kalau gagal menemukan Kebenaran, dan harapan bahwa dengan Kebenaran itu akhirnya bakal terjadi perjumpaan (liqa). Seraya dengan itu, terjadi pula perlibatan diri dalam usaha perbaikan bumi dan menjaganya dari kerusakan yang mungkin menimpa.
Itulah inti jalan menuju kebenaran, dan sumber sejati cita-rasa piala melimpah (ka's-an dihaq-an) penuh minuman kebahagiaan.
Semua itu dapat kita timba dari petunjuk Ilahi dalam al-Qur'an, yang patut sekali kita renungkan:
"Serulah Tuhanmu sekalian, dengan kerendahan hati dan suara sunyi sesungguhuya Allah tidak suka kepada mereka yang kelewat batas. Dan janganlah kamu merusak bumi setelah bumi itu diperbaiki. Lalu serulah Dia dalam kecemasan dan harapan. Sesungguhnya rahmat Allah itu dekat kepada mereka yang berbuat kebaikan. ( QS al-A'raf/7 :54-55)
Lebih lanjut, kata Cak Nur, senafas dengan prinsip-prinsip di atas, Nabi juga diperintahkan Allah menyatakan bahwa beliau tidaklah bermaksud membuat hal-hal baru terhadap apa yang telah diwariskan pada Rasul terdahulu. Beliau sendiri juga tidak tahu apa yang akan diperbuat Allah terhadap beliau. Misalnya, mengingat bahwa sebagai Rasul terdahulu ada yang menjadi korban, sampai terbunuh, oleh misi sucinya. "Nabi hanyalah mengikuti wahyu yang diterimanya, dan beliau hanyalah seorang pembawa peringatan yang tidak meragukan," jelas Cak Nur.
Katakan (Muhammad): "Aku bukanlah seorang pembuat bid'ah di antara Rasul-rasul (yang sudah-sudah), dan aku tidak pula tahu apa yang akan diperbuat (oleh Tuhan) kepadaku, juga tidak (apa yang diperbuat) kepadamu. Aku hanyalah mengikuti apa yang diwahyukan kepadaku dan aku hanyalah seorang pembawa peringatan yang jelas tidak meragukan. ( QS al-Ahqaf/46 :9)
Bagi seorang yang menerima pengajaran langsung dari Tuhan dan bertugas menjadi utusan-Nya, Nabi pasti mengetahui apa yang benar dan apa yang salah. Beliau pasti mengetahui pula siapa yang mendapat petunjuk Tuhan dan siapa pula yang sesat di antara manusia ini, termasuk di antara beliau sendiri berhadapan dengan kaum yang menolak kebenaran yang beliau ajarkan. Namun Allah masih mengajari beliau agar menerapkan apa yang disebut (dalam bahasa Inggris) the benefit of the doubt atau hikmah keraguan, sebagai metodologi pencarian kebenaran:
Katakan (Muhammad): "Siapa yang memberi kamu semua rizqi, baik yang dari langit maupun yang dari bumi? Katakan: "Allah! Dan boleh jadi kami, atau kamu, yang pasti berada di atas petunjuk kebenaran, atau pasti berada dalam kesesatan yang terang." ( QS Saba'/34 :24)
Semuanya itu dalam pandangan kesufian dan filsafat Islam, adalah jalan sebenarnya menuju dan menemukan kebahagiaan. Metafor yang telah disebutkan bahwa "mata air" di surga itu dinamakan "sal sabil-an" atau "tanyalah jalan" melukiskan bahwa kebahagiaan tidaklah bersumber dari perasaan kepastian dalam pengalaman pencarian Kebenaran.
Justru pengalaman rohani ketika dengan penuh ketulusan hati dan niat yang murni sungguh-sunggah mencari, dalam ketegangan antara kecemasan dan harapan (khawf-an wa thama'-an) yaitu kecemasan kalau-kalau gagal menemukan Kebenaran, dan harapan bahwa dengan Kebenaran itu akhirnya bakal terjadi perjumpaan (liqa). Seraya dengan itu, terjadi pula perlibatan diri dalam usaha perbaikan bumi dan menjaganya dari kerusakan yang mungkin menimpa.
Itulah inti jalan menuju kebenaran, dan sumber sejati cita-rasa piala melimpah (ka's-an dihaq-an) penuh minuman kebahagiaan.
Semua itu dapat kita timba dari petunjuk Ilahi dalam al-Qur'an, yang patut sekali kita renungkan:
"Serulah Tuhanmu sekalian, dengan kerendahan hati dan suara sunyi sesungguhuya Allah tidak suka kepada mereka yang kelewat batas. Dan janganlah kamu merusak bumi setelah bumi itu diperbaiki. Lalu serulah Dia dalam kecemasan dan harapan. Sesungguhnya rahmat Allah itu dekat kepada mereka yang berbuat kebaikan. ( QS al-A'raf/7 :54-55)
(mhy)