Kisah Khalifah Umar Bin Abdul Aziz Mendorong Pembukuan Hadis, Cikal Bakal Ahlussunah
Kamis, 23 Februari 2023 - 14:42 WIB
Cendekiawan Muslim, Prof Dr Nurcholish Madjid, MA (1939 – 2005) atau populer dipanggil Cak Nur mengatakan dorongan pembukuan hadis dilakukan pertama kali oleh Khalifah Umar Ibn Abdul Aziz (w. 102 H.) dari Bani Umayyah. Dari sinilah menjadi cikap bakal paham ahlussunah wal jamaah .
Khalifah ini terkenal dengan sebutan kehormatan, Umar II, yang mengisyaratkan pengakuan bahwa ia adalah pelanjut kekhalifahan Umar Ibn al-Khaththab yang bijakbestari. Maka banyak kalangan kaum Muslim yang memandang Umar II sebagai anggota kelima dari al-Khulafa, al-Rasyidun, sesudah Ali Ibn Abi Thalib .
Dalam buku berjudul "Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah", Cak Nur menjelaskan Umar II memerintahkan seorang sarjana terkenal, Syihab al-Din al-Zuhri (w. 124 H) untuk meneliti dan membuktikan tradisi yang hidup di kalangan penduduk Madinah. Umar II berkeyakinan bahwa tradisi itu merupakan kelanjutan langsung pola kehidupan masyarakat Madinah di zaman Nabi, jika bukannya malah merupakan wujud historis yang kongkret dari "tradisi" atau "sunnah" Nabi sendiri.
Dari sudut analisa politik, kata Cak Nur, tindakan Umar II ini adalah untuk menemukan dan mengukuhkan landasan pembenaran bagi ideologi Jama'ah-nya, yang dengan ideologi itu ia ingin merangkul seluruh kaum Muslim tanpa memandang aliran politik atau pemahaman keagamaan mereka, termasuk kaum Syi'ah dan Khawarij yang merupakan kaum oposan terhadap rezim Umayyah.
Umar II melihat bahwa sikap yang serba akomodatif pada semua kaum muslim tanpa memandang aliran politik atau paham keagamaan khasnya itu telah diberikan contohnya oleh penduduk Madinah, di bawah ke kepeloporan tokoh-tokohnya seperti 'Abd-Allah ibn 'Umar (Ibn al-Khaththab), 'Abd-Allah Ibn 'Abbas dan 'Abd-Allah Ibn Mas'ud.
Jadi, dalam pandangan 'Umar II, kata Cak Nur, sikap yang serba inklusifistik sesama kaum muslim itu merupakan "tradisi" atau "sunnah" historis penduduk Madinah, dan dengan begitu, juga merupakan kelanjutan yang sah dari "tradisi" atau "sunnah" Nabi. "Maka penelitian dan pembukaan tentang tradisi penduduk Madinah akan dengan sendirinya menghasilkan pembukaan 'tradisi' atau 'sunnah' Nabi," ujar Cak Nur.
Selanjutnya, 'sunnah' itu akan memberi landasan legitimasi bagi idenya tentang persatuan seluruh umat Islam dalam 'Jama'ah' yang serba mencakup.
Menurut Cak Nur, berdasarkan latar belakang inilah maka ideologi Umar II kelak disebut sebagai paham "sunnah dan jama'ah" dan para pendukungnya disebut ahl al-sunnah wa al-Jama'ah (golongan sunnah dan jama'ah).
Tokoh ulama Sunni, Dr Mushthafa al-Siba'i, menurut Cak Nur, amat menghargai kebijakan Umar II berkenaan dengan pembukaan sunnah itu, sekalipun ia menyesalkan sikap Khalifah yang baginya terlalu banyak memberi angin pada kaum Syi'ah dan Khawarij. Al-Siba'i menganggap kebijakan Umar II ini menjadikan golongan oposisi itu mampu memobilisasi diri sehingga, dalam kolaborasinya dengan kaum Abbasi, mereka akhirnya mampu meruntuhkan Dinasti Umayyah dan melaksanakan pembalasan dendam yang sangat kejam.
Menurut al-Siba'i, sebelum masa Umar II pun sebetulnya sudah ada usaha-usaha pribadi untuk mencatat hadis, sebagaimana dilakukan oleh 'Abd Allah Ibn 'Amr Ibn al-'Ash.
Imam Syafii
Lebih jauh lagi, Cak Nur mengatakan sesungguhnya, pembukuan hadis secara sistematis dan kritis dan dalam skala besar serta pada tingkat kesungguhan yang tinggi baru dimulai pada awal abad ketiga dengan tampilnya Iman al-Syafi'i (w. 204 H), dan baru benar-benar rampung pada awal abad keempat Hijri, dengan tampilnya al-Nasa'i (w. 303 H).
Imam al-Syafi'i adalah tokoh pemikir peletak sebenarnya teori ilmiah pengumpulan dan klasifikasi hadis. Teori dan metodenya kemudian diterapkan dengan setia oleh al-Bukhari (w. 256 H), lalu diteruskan berturut-turut oleh Muslim (w. 261 H), Ibn Majah (w.273 H), Abu Dawud (w.275H), al-Turmudzi (.w. 279 H) dan terakhir, al-Nasa'i (w. 303 H).
Koleksi mereka berenam itulah yang kelak disebut "Kitab yang Enam" (al-Kutub al-Sittah). Akibatnya, pengertian "sunnah" pun kemudian menjadi hampir identik dengan koleksi hadis dalam "Kitab yang Enam" itu.
Menurut Cak Nur, fakta historis tersebut di atas menunjukkan bahwa proses pengumpulan hadits berlangsung selama satu abad atau lebih, dimulai sejak sekitar dua abad setelah Nabi dan rampung sekitar tiga abad setelah Nabi.
Sesudah masa itu memang masih terdapat usaha pengumpulan sisa-sisa hadis oleh beberapa pribadi, namun sudah tidak lagi banyak berarti. Selain dasar-dasar pertimbangan yang berasal dari al-Qur'an dan pesan Nabi sendiri --menurut pengertian yang dipegang oleh mereka yang ingkar hadits-- masa kodifikasi dan seleksi hadis yang demikian lama sesudah masa Nabi dan yang memakan waktu demikian panjang merupakan dasar sikap mereka yang meragukan otoritas hadis.
Khalifah ini terkenal dengan sebutan kehormatan, Umar II, yang mengisyaratkan pengakuan bahwa ia adalah pelanjut kekhalifahan Umar Ibn al-Khaththab yang bijakbestari. Maka banyak kalangan kaum Muslim yang memandang Umar II sebagai anggota kelima dari al-Khulafa, al-Rasyidun, sesudah Ali Ibn Abi Thalib .
Dalam buku berjudul "Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah", Cak Nur menjelaskan Umar II memerintahkan seorang sarjana terkenal, Syihab al-Din al-Zuhri (w. 124 H) untuk meneliti dan membuktikan tradisi yang hidup di kalangan penduduk Madinah. Umar II berkeyakinan bahwa tradisi itu merupakan kelanjutan langsung pola kehidupan masyarakat Madinah di zaman Nabi, jika bukannya malah merupakan wujud historis yang kongkret dari "tradisi" atau "sunnah" Nabi sendiri.
Dari sudut analisa politik, kata Cak Nur, tindakan Umar II ini adalah untuk menemukan dan mengukuhkan landasan pembenaran bagi ideologi Jama'ah-nya, yang dengan ideologi itu ia ingin merangkul seluruh kaum Muslim tanpa memandang aliran politik atau pemahaman keagamaan mereka, termasuk kaum Syi'ah dan Khawarij yang merupakan kaum oposan terhadap rezim Umayyah.
Umar II melihat bahwa sikap yang serba akomodatif pada semua kaum muslim tanpa memandang aliran politik atau paham keagamaan khasnya itu telah diberikan contohnya oleh penduduk Madinah, di bawah ke kepeloporan tokoh-tokohnya seperti 'Abd-Allah ibn 'Umar (Ibn al-Khaththab), 'Abd-Allah Ibn 'Abbas dan 'Abd-Allah Ibn Mas'ud.
Jadi, dalam pandangan 'Umar II, kata Cak Nur, sikap yang serba inklusifistik sesama kaum muslim itu merupakan "tradisi" atau "sunnah" historis penduduk Madinah, dan dengan begitu, juga merupakan kelanjutan yang sah dari "tradisi" atau "sunnah" Nabi. "Maka penelitian dan pembukaan tentang tradisi penduduk Madinah akan dengan sendirinya menghasilkan pembukaan 'tradisi' atau 'sunnah' Nabi," ujar Cak Nur.
Selanjutnya, 'sunnah' itu akan memberi landasan legitimasi bagi idenya tentang persatuan seluruh umat Islam dalam 'Jama'ah' yang serba mencakup.
Menurut Cak Nur, berdasarkan latar belakang inilah maka ideologi Umar II kelak disebut sebagai paham "sunnah dan jama'ah" dan para pendukungnya disebut ahl al-sunnah wa al-Jama'ah (golongan sunnah dan jama'ah).
Tokoh ulama Sunni, Dr Mushthafa al-Siba'i, menurut Cak Nur, amat menghargai kebijakan Umar II berkenaan dengan pembukaan sunnah itu, sekalipun ia menyesalkan sikap Khalifah yang baginya terlalu banyak memberi angin pada kaum Syi'ah dan Khawarij. Al-Siba'i menganggap kebijakan Umar II ini menjadikan golongan oposisi itu mampu memobilisasi diri sehingga, dalam kolaborasinya dengan kaum Abbasi, mereka akhirnya mampu meruntuhkan Dinasti Umayyah dan melaksanakan pembalasan dendam yang sangat kejam.
Menurut al-Siba'i, sebelum masa Umar II pun sebetulnya sudah ada usaha-usaha pribadi untuk mencatat hadis, sebagaimana dilakukan oleh 'Abd Allah Ibn 'Amr Ibn al-'Ash.
Imam Syafii
Lebih jauh lagi, Cak Nur mengatakan sesungguhnya, pembukuan hadis secara sistematis dan kritis dan dalam skala besar serta pada tingkat kesungguhan yang tinggi baru dimulai pada awal abad ketiga dengan tampilnya Iman al-Syafi'i (w. 204 H), dan baru benar-benar rampung pada awal abad keempat Hijri, dengan tampilnya al-Nasa'i (w. 303 H).
Imam al-Syafi'i adalah tokoh pemikir peletak sebenarnya teori ilmiah pengumpulan dan klasifikasi hadis. Teori dan metodenya kemudian diterapkan dengan setia oleh al-Bukhari (w. 256 H), lalu diteruskan berturut-turut oleh Muslim (w. 261 H), Ibn Majah (w.273 H), Abu Dawud (w.275H), al-Turmudzi (.w. 279 H) dan terakhir, al-Nasa'i (w. 303 H).
Koleksi mereka berenam itulah yang kelak disebut "Kitab yang Enam" (al-Kutub al-Sittah). Akibatnya, pengertian "sunnah" pun kemudian menjadi hampir identik dengan koleksi hadis dalam "Kitab yang Enam" itu.
Menurut Cak Nur, fakta historis tersebut di atas menunjukkan bahwa proses pengumpulan hadits berlangsung selama satu abad atau lebih, dimulai sejak sekitar dua abad setelah Nabi dan rampung sekitar tiga abad setelah Nabi.
Sesudah masa itu memang masih terdapat usaha pengumpulan sisa-sisa hadis oleh beberapa pribadi, namun sudah tidak lagi banyak berarti. Selain dasar-dasar pertimbangan yang berasal dari al-Qur'an dan pesan Nabi sendiri --menurut pengertian yang dipegang oleh mereka yang ingkar hadits-- masa kodifikasi dan seleksi hadis yang demikian lama sesudah masa Nabi dan yang memakan waktu demikian panjang merupakan dasar sikap mereka yang meragukan otoritas hadis.
(mhy)