Imam Ahmad Al-Muhajir, Habib yang Pertama Kali Hijrah ke Yaman
Minggu, 07 Mei 2023 - 11:54 WIB
DR H Miftah el-Banjary MA
Pakar Ilmu Linguistik Arab,
Pimpinan Majelis Dalail Khairat Indonesia-Malaysia
Berbicara tentang Ahlu Bait Nabi, tidak akan bisa terlepas dengan Sadah Alawiyyin yang mana nasab mereka masih tetaplah tersambung hingga Sayyidina Hasan dan Husein radhiyallahu 'anhumma hingga hari ini.
Salah satu tokoh sentral Saadati Alawiyyin yang paling monemenal dan paling berjasa menjaga kemurnian anak zuriyyah Rasulullah SAW hingga hari ini adalah al-Imam Ahmad bin Isa al-Muhajir yang darinya melahirkan generasi para ahli dzuriyyah Nabi yang kemudian dikenal sebagai golongan "Habaib" dan "Syaraif".
Imam Muhajir merupakan sesepuh dari keturunan Bani Alawiyin. Jasa yang beliau berikan kepada anak cucunya şangatlah besar. Tempat kelahiran dan kekayaan rela beliau tinggalkan demi menyelamatkan akidah keluarganya. Nasab Imam Muhajir bagaikan mentari yang memancarkan cahaya dengan begitu terangnya.
Nama lengkap beliau adalah Ahmad al-Muhajir bin Isa an-Nagib bin Muhammad bin Ali al Uraidi bin Ja'far al-Shadik bin Muhammad al-Bagir bin Ali Zainal Abidin bin Imam Husein bin Imam Ali bin Abi Thalib, suami Sayyidah Fatimah Az- Zahra, putri Rasulullah SAW.
Irak, tepatnya di Kota Bashrah, tempat beliau dilahirkan dan dibesarkan. Meskipun masih terjadi perbincangan mengenai tahun kelahiran Imam Muhajir di lisan para sejarawan. Sayyid Muhammad Diya' dalam kitabnya, Al-Imam al-Muhajir menyebutkan bahwa lahirnya Imam Muhajir kira-kira Tahun 273 Hijriyah.
Revolusi Zanji dimulai tahun 225 H pada masa Khalifah Abbasi al-Muhtadi yang menyebabkan petaka dan ketakutan bagi warga Kota Bashrah, Irak. Disusul datangnya fitnah Qaramithah pada tahun 278 H yang dipimpin oleh seorang laki-laki bernama Yahya bin Al-Mahdi di Bahrain.
Pada waktu itu, Kota Bashrah kehilangan keelokan dan keeksotisannya, ketenangan pun lenyap meninggalkannya. Hal itu bermula semenjak Imam Muhajir masih muda dan berlanjut hingga memasuki usia dewasa. Ketika Bashrah tak lagi bersahabat, Imam Muhajir mulai mencari tempat untuk menyelamatkan para keturunannya.
Imam Muhajir beserta rombongannya terdiri dari sanak keluarganya menuju Hijaz melewati Syam. Karena jalur yang biasa digunakan dari Irak menuju Hijaz sedang dalam keadaan genting di sebagian tempat peristirahatan sudah rusak, tanda tanda petunjuk arah juga tak lagi terpampang.
Rombongan Imam Muhajir berisi tujuh orang lmam al-Muhajir Ahmad bin Isa, istri beliau Zainab putri Abdullah bin Hasan al Uraidi, Abdullah (putra Imam al-Muhajir), Ummul Banin putri Muhammad (istri Abdullah bin Ahmad), Ismail bin Adbdullah bin Ahmad (yang dijuluki al-Bashri), Muhammad bin Sulaiman bin Ubaidillah (tetua para habaib Ahadilah), Ahmad al-Kudaimi (petuah para habaib Al-Kudaim atau Bani Kudaim), dan para pengikut Imam al-Muhajir yang berjumlah 70 orang.
Pada tahun 317 H, rombongan sampai ke Madinah al-Munawarah dan berdiam selama setahun. Dan pertengahan tahun 318 H, rombongan menuju Makkah untuk melaksanakan ibadah haiji.
Di sanalah, Imam al-Muhajir beserta rombongannya bertemu dengan para jamaah haji dari Tuhaim dan Hadhramaut. Mereka penduduk Hadhramaut memberi tahu fitnah Khawarij yang sedang mereka alami. Mereka juga meminta Imam Al-Muhajir untuk pergi ke Hadhramaut bersama-sama.
Seusai melaksanakan ibadah haji, Imam al-Muhajir bersama rombongan bergerak ke Hadhramaut sebagai kota pilihan. Tempat yang pertama beliau singgahi adalah Jubail yang terletak di lembah Dauan.
Tak berselang lama, beliau pindah ke Hajrain dan menetap di sana untuk beberapa waktu. Kemudian beliau melanjutkan Perjalanannya menuju daerah Husaisah dan menetap di sana hingga akhir hayatnya.
Sebagian referensi menyebutkan beberapa faktor perpindahan Imam Muhajir:
1. Suasana politik yang meruncing di Bashrah dan menyeluruh seantero Irak. Pemerintah Abbasiyah menerima pertentangan dan serangan dari golongan pemberontak seperti kaum Qaramithah dan lainnya.
2. Timbulnya berbagai fitnah, bencana dan kedengkian di kalangan masyarakat Irak dalam masalah agama dan dunia.
3. Berlakunya kerusakan akidah dan menularnya kegelapan bid'ah serta berlaku penentangan terhadap sunnah dan para pendukungnya.
4. Berlakunya pengkhianatan terhadap golongan Alawiyin, dan beratnya berbagai tekanan yang mereka rasakan.
Habib Ali bin Abu Bakar As-Sakran menyebutkan dalam Al-Barqah al-Masyiqah sebagai berikut:
Berkat hijrah beliau (Imam Muhajir ke Hadramaut) selamatlah anak cucunya dari berbagai kerusakan akidah, fitnah, kegelapan bid'ah, penentangan terhadap sunnah dan pengikutnya.
Berkat hijrah tersebut, mereka selamat dari kecenderungan untuk mengikuti berbagai keyakinan Syiah, yang sangat buruk, yang melanda sebagian besar para keturunan Rasulullah SAW yang berada di Irak.
Para cucu Rasulullah SAW di Irak terkena fitnah, mungkin karena mereka tetap tinggal di sana. Adapun anak cucu Imam Syihabuddin Ahmad bin Isa yang tiba di Hadhramaut, dan kemudian menetap di Tarim, maka mereka adalah cucu Rasulullah yang sunni (berakidah Ahlus Sunnah wal Jamaah) serta berakhlak mulia.
Dengan kerja keras, susah payah, dan penuh kesabaran Imam Muhajir berhasil membangun metode dakwah dengan caranya sendiri. Dan madzhab Ahlussunnah telah berhasil ditanamkan di hati masyarakat Hadhramaut.
Kemudian beliau kembali memenuhi panggilan-Nya pada tahun 345 H/956 M dan dimakamkan di daerah Makdam, Husaisah, Hadhramaut, yang masih tetap menjadi tujuan utama para peziarah hingga sekarang.
Dari sejarah di atas menjadi pelajaran penting ketika golongan Alawiyyin dihadapkan pada persoalan intrik politik, maka mereka akan dimusuhi, ditentang, diancam, bahkan akan dimusnahkan. Beruntung saja, Imam Ahmad al-Muhajir berhasil berhijrah ke Yaman dan mampu menyelamatkan milyaran generasi ahlu bait Nabi hingga saat ini.
Padahal, telah menjadi isyarat Al-Qur'an bahwa anak keturunan Rasulullah SAW akan terjaga hingga hari kiamat. Mereka akan terus bertebaran sebagaimana banyaknya bintang-bintang yang menghiasi langit. "Inna a'thainakal Kautsar.. "
Bagi mereka yang tidak memahami sejarah bisa saja akan mudahnya terpengaruh dan terprovokasi oleh para pembenci ahli bait Nabi untuk menolak, bahkan menentang kebenaran eksistensi dzuriyyah Nabi, karena alasan mereka tidak senang dengan sikap dan perilaku perseorangan atau oknum yang bergelar "Habib" atau "Syarif".
Wallahu A'lam
Pakar Ilmu Linguistik Arab,
Pimpinan Majelis Dalail Khairat Indonesia-Malaysia
Berbicara tentang Ahlu Bait Nabi, tidak akan bisa terlepas dengan Sadah Alawiyyin yang mana nasab mereka masih tetaplah tersambung hingga Sayyidina Hasan dan Husein radhiyallahu 'anhumma hingga hari ini.
Salah satu tokoh sentral Saadati Alawiyyin yang paling monemenal dan paling berjasa menjaga kemurnian anak zuriyyah Rasulullah SAW hingga hari ini adalah al-Imam Ahmad bin Isa al-Muhajir yang darinya melahirkan generasi para ahli dzuriyyah Nabi yang kemudian dikenal sebagai golongan "Habaib" dan "Syaraif".
Imam Muhajir merupakan sesepuh dari keturunan Bani Alawiyin. Jasa yang beliau berikan kepada anak cucunya şangatlah besar. Tempat kelahiran dan kekayaan rela beliau tinggalkan demi menyelamatkan akidah keluarganya. Nasab Imam Muhajir bagaikan mentari yang memancarkan cahaya dengan begitu terangnya.
Nama lengkap beliau adalah Ahmad al-Muhajir bin Isa an-Nagib bin Muhammad bin Ali al Uraidi bin Ja'far al-Shadik bin Muhammad al-Bagir bin Ali Zainal Abidin bin Imam Husein bin Imam Ali bin Abi Thalib, suami Sayyidah Fatimah Az- Zahra, putri Rasulullah SAW.
Irak, tepatnya di Kota Bashrah, tempat beliau dilahirkan dan dibesarkan. Meskipun masih terjadi perbincangan mengenai tahun kelahiran Imam Muhajir di lisan para sejarawan. Sayyid Muhammad Diya' dalam kitabnya, Al-Imam al-Muhajir menyebutkan bahwa lahirnya Imam Muhajir kira-kira Tahun 273 Hijriyah.
Revolusi Zanji dimulai tahun 225 H pada masa Khalifah Abbasi al-Muhtadi yang menyebabkan petaka dan ketakutan bagi warga Kota Bashrah, Irak. Disusul datangnya fitnah Qaramithah pada tahun 278 H yang dipimpin oleh seorang laki-laki bernama Yahya bin Al-Mahdi di Bahrain.
Pada waktu itu, Kota Bashrah kehilangan keelokan dan keeksotisannya, ketenangan pun lenyap meninggalkannya. Hal itu bermula semenjak Imam Muhajir masih muda dan berlanjut hingga memasuki usia dewasa. Ketika Bashrah tak lagi bersahabat, Imam Muhajir mulai mencari tempat untuk menyelamatkan para keturunannya.
Imam Muhajir beserta rombongannya terdiri dari sanak keluarganya menuju Hijaz melewati Syam. Karena jalur yang biasa digunakan dari Irak menuju Hijaz sedang dalam keadaan genting di sebagian tempat peristirahatan sudah rusak, tanda tanda petunjuk arah juga tak lagi terpampang.
Rombongan Imam Muhajir berisi tujuh orang lmam al-Muhajir Ahmad bin Isa, istri beliau Zainab putri Abdullah bin Hasan al Uraidi, Abdullah (putra Imam al-Muhajir), Ummul Banin putri Muhammad (istri Abdullah bin Ahmad), Ismail bin Adbdullah bin Ahmad (yang dijuluki al-Bashri), Muhammad bin Sulaiman bin Ubaidillah (tetua para habaib Ahadilah), Ahmad al-Kudaimi (petuah para habaib Al-Kudaim atau Bani Kudaim), dan para pengikut Imam al-Muhajir yang berjumlah 70 orang.
Pada tahun 317 H, rombongan sampai ke Madinah al-Munawarah dan berdiam selama setahun. Dan pertengahan tahun 318 H, rombongan menuju Makkah untuk melaksanakan ibadah haiji.
Di sanalah, Imam al-Muhajir beserta rombongannya bertemu dengan para jamaah haji dari Tuhaim dan Hadhramaut. Mereka penduduk Hadhramaut memberi tahu fitnah Khawarij yang sedang mereka alami. Mereka juga meminta Imam Al-Muhajir untuk pergi ke Hadhramaut bersama-sama.
Seusai melaksanakan ibadah haji, Imam al-Muhajir bersama rombongan bergerak ke Hadhramaut sebagai kota pilihan. Tempat yang pertama beliau singgahi adalah Jubail yang terletak di lembah Dauan.
Tak berselang lama, beliau pindah ke Hajrain dan menetap di sana untuk beberapa waktu. Kemudian beliau melanjutkan Perjalanannya menuju daerah Husaisah dan menetap di sana hingga akhir hayatnya.
Sebagian referensi menyebutkan beberapa faktor perpindahan Imam Muhajir:
1. Suasana politik yang meruncing di Bashrah dan menyeluruh seantero Irak. Pemerintah Abbasiyah menerima pertentangan dan serangan dari golongan pemberontak seperti kaum Qaramithah dan lainnya.
2. Timbulnya berbagai fitnah, bencana dan kedengkian di kalangan masyarakat Irak dalam masalah agama dan dunia.
3. Berlakunya kerusakan akidah dan menularnya kegelapan bid'ah serta berlaku penentangan terhadap sunnah dan para pendukungnya.
4. Berlakunya pengkhianatan terhadap golongan Alawiyin, dan beratnya berbagai tekanan yang mereka rasakan.
Habib Ali bin Abu Bakar As-Sakran menyebutkan dalam Al-Barqah al-Masyiqah sebagai berikut:
Berkat hijrah beliau (Imam Muhajir ke Hadramaut) selamatlah anak cucunya dari berbagai kerusakan akidah, fitnah, kegelapan bid'ah, penentangan terhadap sunnah dan pengikutnya.
Berkat hijrah tersebut, mereka selamat dari kecenderungan untuk mengikuti berbagai keyakinan Syiah, yang sangat buruk, yang melanda sebagian besar para keturunan Rasulullah SAW yang berada di Irak.
Para cucu Rasulullah SAW di Irak terkena fitnah, mungkin karena mereka tetap tinggal di sana. Adapun anak cucu Imam Syihabuddin Ahmad bin Isa yang tiba di Hadhramaut, dan kemudian menetap di Tarim, maka mereka adalah cucu Rasulullah yang sunni (berakidah Ahlus Sunnah wal Jamaah) serta berakhlak mulia.
Dengan kerja keras, susah payah, dan penuh kesabaran Imam Muhajir berhasil membangun metode dakwah dengan caranya sendiri. Dan madzhab Ahlussunnah telah berhasil ditanamkan di hati masyarakat Hadhramaut.
Kemudian beliau kembali memenuhi panggilan-Nya pada tahun 345 H/956 M dan dimakamkan di daerah Makdam, Husaisah, Hadhramaut, yang masih tetap menjadi tujuan utama para peziarah hingga sekarang.
Dari sejarah di atas menjadi pelajaran penting ketika golongan Alawiyyin dihadapkan pada persoalan intrik politik, maka mereka akan dimusuhi, ditentang, diancam, bahkan akan dimusnahkan. Beruntung saja, Imam Ahmad al-Muhajir berhasil berhijrah ke Yaman dan mampu menyelamatkan milyaran generasi ahlu bait Nabi hingga saat ini.
Padahal, telah menjadi isyarat Al-Qur'an bahwa anak keturunan Rasulullah SAW akan terjaga hingga hari kiamat. Mereka akan terus bertebaran sebagaimana banyaknya bintang-bintang yang menghiasi langit. "Inna a'thainakal Kautsar.. "
Bagi mereka yang tidak memahami sejarah bisa saja akan mudahnya terpengaruh dan terprovokasi oleh para pembenci ahli bait Nabi untuk menolak, bahkan menentang kebenaran eksistensi dzuriyyah Nabi, karena alasan mereka tidak senang dengan sikap dan perilaku perseorangan atau oknum yang bergelar "Habib" atau "Syarif".
Wallahu A'lam
(rhs)