Kisah Jepang Menjadi Rumah bagi 230.000 Muslim
Sabtu, 01 Juli 2023 - 06:56 WIB
Sekitar 183.000 di antaranya adalah Muslim non-Jepang, terutama dari Indonesia, Pakistan, dan Bangladesh - Muslim Arab berjumlah sekitar 6.000 orang. Sisanya, sekitar 46.000 orang, adalah Muslim Jepang.
Bahkan dengan peningkatan dramatis dalam jumlah umat Islam, mereka masih merupakan bagian kecil dari total populasi Jepang yang berjumlah lebih dari 126 juta orang yang sebagian besar menganut kepercayaan Shinto atau Budha. Meski demikian, Tanada mengatakan negaranya perlu beradaptasi dengan perubahan demografi.
Dengan tingkat kelahiran yang menurun, populasi Jepang yang menua, dan tenaga kerja migran yang terus bertambah, peningkatan Muslim yang lambat namun stabil di negara tersebut dapat membantu mengatasi beberapa masalah yang terkait dengan tren tersebut.
Migrasi dan Konversi
Profesor Tanada mengatakan bahwa sementara jumlah umat Islam meningkat, tidak ada penjelasan tunggal atas kenaikan tersebut.
“Ada peningkatan migrasi. Migran Muslim dari negara-negara ini datang ke Jepang untuk bekerja, belajar, dan menetap. Konversi meningkat karena banyak Muslim menikah dengan orang Jepang, kemudian [orang] Jepang pindah agama pada saat pernikahan."
Ada juga contoh sebaliknya, dengan orang Jepang membawa pasangan Muslimnya kembali untuk menetap di negara tersebut.
Omneya Al Adeeli, 27, adalah salah satu pendatang baru tersebut. Dia pindah ke Jepang tepat sebelum dimulainya pandemi virus corona pada November 2019, setelah menikah dengan suaminya yang berkebangsaan Jepang, Shotaro Ono, yang pindah agama pada saat menikah.
Mereka bertemu saat dia mengunjungi Nablus di Tepi Barat yang diduduki, tempat Al Adeeli memiliki dan menjalankan restoran kecil Korea dan Jepang bernama KimPal.
"Saya selalu terpesona dengan budaya Jepang, saya biasa menonton anime ketika saya masih kecil dan juga mempelajari kata-kata Jepang pertama saya dari sana, saya kemudian mengambil kursus budaya Jepang di Universitas Al Najah di Nablus." Al Adeeli juga memiliki gelar dalam bahasa Inggris dari Universitas Terbuka Al Quds.
“Menyadari budaya Jepang berbeda dengan menjalaninya, tetapi saya ingin merangkul dan lebih membenamkan diri ke dalam hidup saya di sini.”
Sekarang bekerja sebagai penulis bahasa Arab untuk sebuah perusahaan pariwisata di Tokyo, Al Adeeli mengatakan dia senang dengan peluang yang ditawarkan negara asalnya yang baru.
"Saya suka kebebasan di sini, yang hilang di Palestina. Saya bisa bergerak kemanapun saya mau di sini tanpa pos pemeriksaan menghentikan saya. Saya juga menyukai rasa hormat di antara orang-orang, perasaan kesetaraan."
Menurut Tanada, yang menulis buku "Mosques in Japan: The Communal Activities of Muslims Living in Japan", Jepang akan melihat peningkatan generasi Muslim kedua dan ketiga dari mereka yang telah "menetap dan membangun keluarga" di negara tersebut.
"Muslim ini akan menjadi 'Muslim hibrida' yang akan terpapar pada latar belakang budaya yang beragam. Mereka akan menjadi orang kunci untuk membantu menjembatani komunitas lokal dengan komunitas Muslim."
Tanada mengatakan sekarang ada 110 masjid di Negeri Sakura itu dibandingkan tahun 80-an, yang hanya ada empat.
Tetapi sang profesor memperingatkan agar tidak menyamakan pertumbuhan dengan integrasi. Dia mengatakan kebanyakan orang Jepang tidak menyadari peningkatan yang stabil ini, dan komunitas tersebut ada sebagai “masyarakat paralel tanpa interaksi".
“Ada stereotip negatif tentang Muslim di Jepang, sama seperti di Eropa. Media yang meliput terorisme oleh teroris Muslim dan liputan berita negatif lainnya tentang Islam menciptakan ini,” katanya.
Bahkan dengan peningkatan dramatis dalam jumlah umat Islam, mereka masih merupakan bagian kecil dari total populasi Jepang yang berjumlah lebih dari 126 juta orang yang sebagian besar menganut kepercayaan Shinto atau Budha. Meski demikian, Tanada mengatakan negaranya perlu beradaptasi dengan perubahan demografi.
Dengan tingkat kelahiran yang menurun, populasi Jepang yang menua, dan tenaga kerja migran yang terus bertambah, peningkatan Muslim yang lambat namun stabil di negara tersebut dapat membantu mengatasi beberapa masalah yang terkait dengan tren tersebut.
Baca Juga
Migrasi dan Konversi
Profesor Tanada mengatakan bahwa sementara jumlah umat Islam meningkat, tidak ada penjelasan tunggal atas kenaikan tersebut.
“Ada peningkatan migrasi. Migran Muslim dari negara-negara ini datang ke Jepang untuk bekerja, belajar, dan menetap. Konversi meningkat karena banyak Muslim menikah dengan orang Jepang, kemudian [orang] Jepang pindah agama pada saat pernikahan."
Ada juga contoh sebaliknya, dengan orang Jepang membawa pasangan Muslimnya kembali untuk menetap di negara tersebut.
Omneya Al Adeeli, 27, adalah salah satu pendatang baru tersebut. Dia pindah ke Jepang tepat sebelum dimulainya pandemi virus corona pada November 2019, setelah menikah dengan suaminya yang berkebangsaan Jepang, Shotaro Ono, yang pindah agama pada saat menikah.
Mereka bertemu saat dia mengunjungi Nablus di Tepi Barat yang diduduki, tempat Al Adeeli memiliki dan menjalankan restoran kecil Korea dan Jepang bernama KimPal.
"Saya selalu terpesona dengan budaya Jepang, saya biasa menonton anime ketika saya masih kecil dan juga mempelajari kata-kata Jepang pertama saya dari sana, saya kemudian mengambil kursus budaya Jepang di Universitas Al Najah di Nablus." Al Adeeli juga memiliki gelar dalam bahasa Inggris dari Universitas Terbuka Al Quds.
“Menyadari budaya Jepang berbeda dengan menjalaninya, tetapi saya ingin merangkul dan lebih membenamkan diri ke dalam hidup saya di sini.”
Sekarang bekerja sebagai penulis bahasa Arab untuk sebuah perusahaan pariwisata di Tokyo, Al Adeeli mengatakan dia senang dengan peluang yang ditawarkan negara asalnya yang baru.
"Saya suka kebebasan di sini, yang hilang di Palestina. Saya bisa bergerak kemanapun saya mau di sini tanpa pos pemeriksaan menghentikan saya. Saya juga menyukai rasa hormat di antara orang-orang, perasaan kesetaraan."
Menurut Tanada, yang menulis buku "Mosques in Japan: The Communal Activities of Muslims Living in Japan", Jepang akan melihat peningkatan generasi Muslim kedua dan ketiga dari mereka yang telah "menetap dan membangun keluarga" di negara tersebut.
"Muslim ini akan menjadi 'Muslim hibrida' yang akan terpapar pada latar belakang budaya yang beragam. Mereka akan menjadi orang kunci untuk membantu menjembatani komunitas lokal dengan komunitas Muslim."
Tanada mengatakan sekarang ada 110 masjid di Negeri Sakura itu dibandingkan tahun 80-an, yang hanya ada empat.
Tetapi sang profesor memperingatkan agar tidak menyamakan pertumbuhan dengan integrasi. Dia mengatakan kebanyakan orang Jepang tidak menyadari peningkatan yang stabil ini, dan komunitas tersebut ada sebagai “masyarakat paralel tanpa interaksi".
“Ada stereotip negatif tentang Muslim di Jepang, sama seperti di Eropa. Media yang meliput terorisme oleh teroris Muslim dan liputan berita negatif lainnya tentang Islam menciptakan ini,” katanya.