Kisah Jepang Menjadi Rumah bagi 230.000 Muslim

Sabtu, 01 Juli 2023 - 06:56 WIB
“Meskipun tidak mudah untuk mengubah kesalahpahaman dan stereotipe kita tentang komunitas Muslim yang dilukiskan oleh media, saya harap orang-orang dapat memulainya dengan memperhatikan mereka dan mengunjungi masjid-masjid yang terbuka untuk umum.”

Tanada yakin Jepang harus beradaptasi dengan demografinya yang berubah dan bekerja menuju “koeksistensi multikultural”, dengan lebih banyak interaksi yang dibutuhkan antarbudaya.



Salah satu kemungkinan studi kasus terkait hal itu adalah Marliza Madung, 30 tahun, yang pindah ke kota Kobe, sebelah barat Osaka, pada tahun 2011 setelah mendapatkan beasiswa dari pemerintah Malaysia untuk belajar Bioteknologi di Universitas Osaka.

Madung, yang berasal dari Sabah di wilayah Malaysia di Kalimantan, mengatakan dia percaya koeksistensi adalah inti dari masyarakat yang harmonis.

Dia mempelajari bahasa Jepang dalam kursus intensif selama dua tahun sebelum pindah ke negara tersebut. Ketertarikannya pada budaya Jepang telah meluas hingga mencakup topik-topik bernuansa etiket yang terlibat dalam memberi dan menerima kartu nama, dan cara menulis email.

"Saya menunjukkan kepada atasan saya bagaimana saya bisa beradaptasi dengan gaya kerja orang Jepang dengan berkomunikasi dan menulis dalam bahasa Jepang, dengan mempelajari tata krama bisnis mereka yang sangat sopan dan untuk membuktikan bahwa meski dengan perbedaan budaya, saya masih bisa belajar dan beradaptasi dengan baik", ujarnya. "Sebagai imbalannya, bos saya selalu memberi saya waktu untuk salat, dan membiarkan saya berlibur selama hari raya Idul Fitri".

Mengembangkan Relasi

Kampung halaman angkat Madung, Kobe, juga menjadi rumah bagi masjid pertama Jepang, yang dibangun pada tahun 1935. Masjid utama Tokyo dibangun tiga tahun kemudian oleh Turk-Tatar pada tahun 1938 dan kemudian dibangun kembali sebagai Tokyo Camii pada tahun 2000.



Sebagian besar tenaga kerja migran Jepang berasal dari negara tetangga, seperti China, Vietnam, Kamboja, namun kehadiran mereka tidak membantu menghentikan efek populasi yang menua.

Dengan jatuhnya Kekaisaran Ottoman, orang Turki melakukan perjalanan melintasi Asia sebagai pelancong dan pedagang untuk mencari kehidupan yang lebih baik, kata Shokeir. “Imigran Turki adalah yang pertama dari dunia Muslim yang pindah ke Jepang. Tidak terlalu bagus secara ekonomi saat itu, terutama setelah Perang Dunia Kedua, orang-orang berjuang."

Tetapi ketika komunitas menetap dan memantapkan diri di negara itu, terutama menjalankan toko dan layanan, atau bekerja di pabrik, komunitas Muslim mulai tumbuh.

Shokeir, penulis kontributor untuk The Arab, intisari triwulanan tentang hubungan Jepang-Arab. Dia juga penulis media Arab di Universitas Georgetown Qatar, kepada Middle East Eye dari rumahnya di Doha.

Shokeir mengatakan bahwa hubungan antara Jepang dan dunia Arab dulunya “sangat dangkal” sampai krisis minyak pada tahun 1973 dan 1979. Baru pada saat itulah banyak orang Jepang mulai memperhatikan Timur Tengah.

Dia menyatakan: “85% dari minyak (Jepang) diimpor dari negara-negara Teluk, jadi ketika Saudi membuka Institut Islam Arab di Tokyo, ada banyak siswa pergi ke sana untuk belajar bahasa Arab, itu menjadi populer. Mereka ingin tahu dari siapa orang-orang ini kita membeli energi kita?”

Dari negara-negara Arab, Arab Saudi memiliki hubungan paling mapan dengan Jepang. The Japan Foundation, sebuah program pertukaran budaya yang didirikan pada tahun 1972, mulai mensponsori siswa di perguruan tinggi teknik "canggih" di Arab Saudi.

“Co-sponsor lainnya adalah pemerintah Saudi dan industri teknik dan otomotif besar yang sedang naik daun di Jepang, seperti Panasonic, Sony dan Toyota. Lulusan dari perguruan tinggi luar biasa ini akan langsung masuk ke karir teknik,” katanya.



Masyarakat yang Ideal
Halaman :
Follow
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Hadits of The Day
Dari Mu'adz bin Jabal bahwa Rasulullah shallallahu wa'alaihi wa sallam menggandeng tangannya dan berkata: Wahai Mu'adz, demi Allah, aku mencintaimu, aku wasiatkan kepadamu wahai Mu'adz, janganlah engkau tinggalkan setiap selesai shalat untuk mengucapkan:  ALLAAHUMMA A'INNII 'ALAA DZIKRIKA WA SYUKRIKA WA HUSNI 'IBAADATIK (Ya Allah, tolonglah aku untuk selalu mengingat-Mu (berdzikir kepada-Mu), dan bersyukur kepada-Mu, serta beribadah dengan baik kepada-Mu.)

(HR. Sunan Abu Dawud No. 1301)
Artikel Terkait
Al-Qur'an, Bacalah!
Rekomendasi
Terpopuler
Artikel Terkini More