Sifat dan Karakteristik Ibad ar-Rahman (3): Selalu Merespons dengan Salam dan Kedamaian

Kamis, 24 Agustus 2023 - 20:10 WIB
Imam Shamsi Ali (kiri) menjabat tangan Wali Kota New York ketika bertemu di sebuah acara beberapa waktu lalu. Foto/Ist
Imam Shamsi Ali

Direktur Jamaica Muslim Center,

Presiden Nusantara Foundation USA

Karakteristik ketiga dari ibaad ar-Rahman (hamba-hamba Yang Maha Penyayang) adalah واذا خاطبهم الجاهلون قالوا سلاما (dan ketika orang-orang jahil berkata-kata kepada mereka, mereka respons dengan: "Salaam."

Potongan ayat ini sejatinya menyampaikan dua hal. Menyampaikan aksi sekaligus reaksi. Ayat ini menyampaikan prilaku orang-orang jahil dengan aksi jahil, baik dengan perkataan maupun perbuatan. Dan karakter hamba-hamba Ar-Rahman ibaad ar-Rahman) ketika merespons mereka, baik dengan kata-kata maupun dengan aksi.

Kata khitaab (khaatabahum) populer dengan khutbah (ceramah). Tapi secara umum khataba dapat diartikan menyampaikan (semakna dengan ballagha), baik dengan kata-kata maupun aksi (perbuatan). Ketika khitaab ini dikaitkan dengan mereka yang jahil, pastinya kata-kata dan perbuatan itu juga adalah kata dan/atau aksi yang jahil. Sesuatu yang jahil pastinya memiliki dampak kebodohan dan keburukan.

Di sinilah kemudian ibaad ar-Rahman menampilkan diri dengan tampilan yang berbeda. Bahwa mereka punya keistimewaan dan keunikan. Karena mereka adalah hamba-hamba-Nya Yang Maha kasih dan Maha sayang, Allah SWT. Karenanya dalam merespon perkataan dan/atau perbuatan mereka yang jahil, mereka melakukannya dengan cara damai dan untuk tujuan damai (قالوا سلاما).

Kalau saja kita merujuk kepada banyak ayat dalam Al-Qur'an akan didapati betapa ajaran Islam itu sangat imbang dan rasional dalam menyikapi semua permasalahan hidup. Termasuk dalam menyikapi prilaku jahil orang-orang yang jahil di sekitar kita.

Secara umum Al-Qur'an menyampaikan tiga kemungkinan cara merespons orang-orang yang jahil.

Pertama, Al-Qur'an menawarkan respons dengan balasan yang setimpal. Sebagaimana firman-Nya:

وَجَزٰٓ ؤُا  سَيِّئَةٍ  سَيِّئَةٌ  مِّثْلُهَا  ۚ فَمَنْ  عَفَا  وَاَ صْلَحَ  فَاَ جْرُهٗ  عَلَى  اللّٰهِ  ۗ اِنَّهٗ  لَا  يُحِبُّ  الظّٰلِمِيْنَ

"Dan balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang setimpal, tetapi barang siapa memaafkan dan berbuat baik (kepada orang yang berbuat jahat) maka pahalanya dari Allah. Sungguh, Dia tidak menyukai orang-orang zalim." (QS. Asy-Syura: Ayat 40)

Kedua, Islam menawarkan dengan cara tidak menghiraukan alias menjauhi saja. Kira-kira pay no attention. Tak usah pusing dengan kejahilan mereka. Seperti firman-Nya:

فَاَ عْرِضْ  عَنْهُمْ  وَتَوَكَّلْ  عَلَى  اللّٰهِ  ۗ وَكَفٰى  بِا للّٰهِ  وَكِيْلًا

"Maka berpalinglah dari mereka dan bertawakallah kepada Allah. Cukuplah Allah yang menjadi pelindung." (QS. An-Nisa' Ayat 81)

Namun yang ketiga Al-Qur'an juga mengajarkan cara merespons dengan memaafkan:

فَا عْفُوْا  وَا صْفَحُوْا  حَتّٰى  يَأْتِيَ  اللّٰهُ  بِاَ مْرِهٖ  ۗ اِنَّ  اللّٰهَ  عَلٰى  کُلِّ  شَيْءٍ  قَدِيْرٌ

"Maka maafkanlah dan berlapang dadalah sampai Allah memberikan perintah-Nya. Sungguh, Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu." (QS. Al-Baqarah Ayat 109)

Pertanyaan yang kemudian timbul adalah mana cara merespons yang dikategorikan yang lebih baik (ahsan) dan cara yang damai Salaama? Jawabannya adalah tergantung kepada keadaan dan tujuan yang akan dicapai.

Jika memang dengan memaafkan akan menyelesaikan masalah, bukan justeru menambah masalah, maka itulah yang terbaik. Atau jika dengan cara tidak usah dipedulikan akan menghentikan kejahilan orang-orang jahil maka lakukanlah.

Tapi jika memaafkan mereka yang semena-mena atau tidak menghiraukan mereka justru akan semakin menambah kezaliman maka tentu respons pertama itu yang dikategorikan respon yang terbaik seperti dalam firman-Nya: ادفع بالتي هي احسن.

Dan itu pula yang dikategorikan قالوا سلاما atau mereka merespons dengan cara dan tujuan yang mendatangkan kedamaian dan keselamatan.

Jika kita merujuk kepada sejarah Rasulullah ﷺ memang beliau sering memaafkan mereka yang bersalah. Beliau memaafkan penduduk kota Makkah yang pernah menzaliminya. Tapi jangan lupa, beliau juga menegakkan hukuman kepada kaum Yahudi di Madinah di saat mereka memberontak kepada negara Madinah.

Artinya respons Salaama itu bukan berarti selalu menunduk, tersenyum, apalagi lemah. Tapi bagaimana merespon secara baik, benar, dan tentunya bertujuan untuk maslahat yang lebih besar. Terkadang merespons dengan cara yang keras bahkan mungkin kasar tapi bertujuan menghentikan kekerasan dan kekasaran sebenarnya itulah respons yang ahsan (respon yang baik) dan Salaama (keselamatan).

Intinya adalah ibaad ar-Rahman itu berwawasan dan berkarakter Salaama. Sekali lagi, Salaama bisa berarti lemah lembut. Tapi juga bisa berarti tegas (اشداء). Kedua cara merespons itu bagi hamba-hamba Ibaad ar-Rahman (hamba-hamba Yang Maha Rahman) berorientasi Salaama atau kedamaian, ketentraman dan keselamatan.

(Bersambung)!

NYC Subway,21Agustus2023

(rhs)
Follow
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
cover top ayah
يٰمَعۡشَرَ الۡجِنِّ وَالۡاِنۡسِ اِنِ اسۡتَطَعۡتُمۡ اَنۡ تَنۡفُذُوۡا مِنۡ اَقۡطَارِ السَّمٰوٰتِ وَالۡاَرۡضِ فَانْفُذُوۡا‌ؕ لَا تَنۡفُذُوۡنَ اِلَّا بِسُلۡطٰنٍ‌ۚ
Wahai golongan jin dan manusia! Jika kamu sanggup menembus melintasi penjuru langit dan bumi, maka tembuslah. Kamu tidak akan mampu menembusnya kecuali dengan kekuatan dari Allah.

(QS. Ar-Rahman Ayat 33)
cover bottom ayah
Artikel Terkait
Al-Qur'an, Bacalah!
Rekomendasi
Terpopuler
Artikel Terkini More