Ragam dan Sejarah Maulid Nabi Muhammad SAW, Arab Saudi Tidak Merayakan
Kamis, 28 September 2023 - 15:49 WIB
Maulid Nabi Muhammad SAW tahun ini dirayakan pada hari Rabu 27 September. Banyak negara dengan populasi mayoritas Muslim menetapkan perayaan tersebut sebagai hari libur umum. Ini dianggap sebagai peristiwa penting yang memperingati kehidupan dan warisan tokoh paling penting dalam agama Islam.
Maulid Nabi , atau Maulid Nabawi, secara tradisional dirayakan oleh Muslim Suni pada tanggal 12 Rabi' al-Awwal. Meskipun ada keraguan apakah tanggal tersebut adalah tanggal pastinya. Umat Syiah merayakannya pada tanggal 17 Rabi' al-Awwal. Sebagian umat Islam lain lebih mempercayai tanggal 9 Rabi' al-Awwal sebagai maulid Nabi.
Tahun Hijriah adalah tahun lunar, dengan bulan-bulan yang dimulai ketika bulan sabit pertama terlihat. Ini adalah 11 sampai 12 hari lebih pendek dari tahun matahari, yang digunakan dalam kalender Masehi atau Kristen .
Hanya saja, tidak semua umat Islam setuju bahwa Maulid Nabi harus dirayakan. Golongan muslim Wahabbi dan Salafi tidak setuju perayaan maulid. Mereka menganggap perayaan tersebut sebagai bidah karena tidak ada dalam ajaran Islam.
Di Arab Saudi, di mana Wahhabisme dominan, hari lahir Nabi tidak diakui sebagai hari libur nasional.
Sejarah Maulid
Banyak versi tentang siapa yang pertama kali menggelar perayaan Maulid Nabi Muhammad SAW. Salah satu versi menyebut tokoh yang paling mula menggelar perayaan adalah Sultan Abu Said Muzhaffar Kukabri pada tahun 630 H. Konon acara ini digelar untuk memompa fanatisme umat Islam dalam menghadapi agresi militer Genghis Khan (1167-1227 M) dari Mongol.
Sultan Abu Said adalah Gubernur Irbil di Irak. Sultan Abu Said hidup pada tahun 549-630 H. Abdul Al-Rahman Al-Sayuthi dalam kitab "Husnu Al-Maqsub: Fi Amali Al-Maulid" menyebut kala itu ancaman Temujin atau Gengis Khan amat menakutkan.
Gengis Khan, seorang raja Mongol yang naik tahta ketika berusia 13 tahun dan mampu mengadakan konfederasi tokoh-tokoh agama, berambisi menguasai dunia. Penyelenggaraan acara maulid secara besar-besaran diharapkan dapat memompa fanatisme umat Islam yang kala itu sedang terpuruk.
Maulid perdana yang diadakan oleh Sultan Abu Said amat megah dan semarak. Tidak tanggung-tanggung, dia mengadakan acara Maulid selama 7 hari 7 malam. Dalam acara Maulid itu ada 5.000 ekor kambing, 10.000 ekor ayam, 100.000 keju dan 30.000 piring makanan. Acara ini menghabiskan 300.000 dinar uang emas.
Kemudian, dalam acara itu Sultan Abu Said mengundang para orator untuk menghidupkan nadi heroisme Muslimin. Hasilnya, semangat heroisme Muslimin saat itu dapat dikobarkan dan siap menjadi benteng kokoh Islam.
Perang Salib Hal yang sama juga dilakukan Sultan Shalahuddin al-Ayyubi untuk membangkitkan semangat juang umat Islam dalam Perang Salib, yakni pada saat negeri-negeri Islam mendapat serangan-serangan gelombang demi gelombang dari berbagai bangsa Eropa (Prancis, Jerman, Inggris).
Pada tahun 1099 laskar Eropa merebut Yerusalem dan mengubah Masjid al-Aqsa menjadi gereja. Umat Islam saat itu kehilangan semangat perjuangan (jihad) dan persaudaraan (ukhuwah), sebab secara politis terpecah-belah dalam banyak kerajaan dan kesultanan, meskipun khalifah tetap satu, yaitu Bani Abbas di Baghdad, sebagai lambang persatuan spiritual.
Menurut Sultan Shalahuddin, semangat juang umat Islam harus dihidupkan kembali dengan cara mempertebal kecintaan umat kepada nabi mereka. Dia mengimbau umat Islam di seluruh dunia agar hari lahir Nabi Muhammad SAW, 12 Rabiul Awal, yang setiap tahun berlalu begitu saja tanpa diperingati, kini dirayakan secara massal.
Konon hal itu bukan gagasan murni Salahuddin, melainkan usul dari iparnya, Muzaffaruddin Gekburi, yang menjadi atabeg (semacam bupati) di Irbil, Suriah Utara.
Untuk mengimbangi maraknya peringatan Natal oleh umat Nasrani, Muzaffaruddin di istananya sering menyelenggarakan peringatan Maulid Nabi, cuma perayaannya bersifat lokal dan tidak setiap tahun.
Adapun Salahuddin ingin agar perayaan Maulid Nabi menjadi tradisi bagi umat Islam di seluruh dunia dengan tujuan meningkatkan semangat juang, bukan sekadar perayaan ulang tahun biasa.
Pada mulanya gagasan Salahuddin ditentang oleh para ulama, sebab sejak zaman Nabi peringatan seperti itu tidak pernah ada. Lagi pula hari raya resmi menurut ajaran agama cuma ada dua, yaitu Idul Fitri dan Idul Adha.
Salahuddin menegaskan bahwa perayaan Maulid Nabi hanyalah kegiatan yang menyemarakkan syiar agama, bukan perayaan yang bersifat ritual, sehingga tidak dapat dikategorikan bid'ah yang terlarang. Ketika Salahuddin meminta persetujuan dari Khalifah An-Nashir di Bagdad, ternyata khalifah setuju.
Pada ibadah haji bulan Zulhijjah 579 Hijriyah (1183 Masehi), Sultan Salahuddin al-Ayyubi sebagai penguasa Haramain (dua tanah suci Makkah dan Madinah) mengeluarkan instruksi kepada seluruh jemaah haji, agar jika kembali ke kampung halaman masing-masing segera mensosialisasikan kepada masyarakat Islam di mana saja berada, bahwa mulai tahun 580 Hijriah (1184 Masehi) tanggal 12 Rabiul Awal dirayakan sebagai hari Maulid Nabi dengan berbagai kegiatan yang membangkitkan semangat umat Islam.
Salah satu kegiatan yang diadakan oleh Sultan Salahuddin pada peringatan Maulid Nabi yang pertama kali tahun 1184 (580 Hijriah) adalah menyelenggarakan sayembara penulisan riwayat Nabi beserta puji-pujian bagi Nabi dengan bahasa yang seindah mungkin.
Seluruh ulama dan sastrawan diundang untuk mengikuti kompetisi tersebut. Pemenang yang menjadi juara pertama adalah Syaikh Ja'far al-Barzanji. Karyanya yang dikenal sebagai Kitab Barzanji sampai sekarang sering dibaca masyarakat di kampung-kampung pada peringatan Maulid Nabi.
Peringatan Maulid Nabi yang diselenggarakan Sultan Salahuddin itu membuahkan hasil yang positif. Semangat umat Islam menghadapi Perang Salib bergelora kembali. Salahuddin berhasil menghimpun kekuatan, sehingga pada tahun 1187 (583 Hijriah) Yerusalem direbut oleh Salahuddin dari tangan bangsa Eropa, dan Masjid al-Aqsa menjadi masjid kembali sampai hari ini.
Selain itu, perayaan Maulid Nabi juga dapat ditelusuri kembali pada tulisan Jamāl al-Dīn Ibn al-Ma'mūn yang wafat pada tahun 587 H/1192 M.
Maulid Nabi mulai populer di Mesir pada abad ke-11 M. Pada abad ke-12 masyarakat muslim di wilayah lain seperti Turki, Maroko, Suriah, dan Spanyol juga mulai merayakannya.
Saat ini, ada berbagai bentuk peringatan. Kelompok sufi di Mesir memasuki beberapa masjid paling terkenal di negara itu untuk melakukan apa yang dikenal sebagai “Halaqat al-Dzikir”, atau lingkaran zikir.
Di kalangan ini, para sufi membacakan puisi-puisi keagamaan dan nasyid untuk memuji Tuhan dan Nabi Muhammad SAW.
Foto-foto:TRTWORLD
Maulid Nabi , atau Maulid Nabawi, secara tradisional dirayakan oleh Muslim Suni pada tanggal 12 Rabi' al-Awwal. Meskipun ada keraguan apakah tanggal tersebut adalah tanggal pastinya. Umat Syiah merayakannya pada tanggal 17 Rabi' al-Awwal. Sebagian umat Islam lain lebih mempercayai tanggal 9 Rabi' al-Awwal sebagai maulid Nabi.
Tahun Hijriah adalah tahun lunar, dengan bulan-bulan yang dimulai ketika bulan sabit pertama terlihat. Ini adalah 11 sampai 12 hari lebih pendek dari tahun matahari, yang digunakan dalam kalender Masehi atau Kristen .
Hanya saja, tidak semua umat Islam setuju bahwa Maulid Nabi harus dirayakan. Golongan muslim Wahabbi dan Salafi tidak setuju perayaan maulid. Mereka menganggap perayaan tersebut sebagai bidah karena tidak ada dalam ajaran Islam.
Di Arab Saudi, di mana Wahhabisme dominan, hari lahir Nabi tidak diakui sebagai hari libur nasional.
Sejarah Maulid
Banyak versi tentang siapa yang pertama kali menggelar perayaan Maulid Nabi Muhammad SAW. Salah satu versi menyebut tokoh yang paling mula menggelar perayaan adalah Sultan Abu Said Muzhaffar Kukabri pada tahun 630 H. Konon acara ini digelar untuk memompa fanatisme umat Islam dalam menghadapi agresi militer Genghis Khan (1167-1227 M) dari Mongol.
Sultan Abu Said adalah Gubernur Irbil di Irak. Sultan Abu Said hidup pada tahun 549-630 H. Abdul Al-Rahman Al-Sayuthi dalam kitab "Husnu Al-Maqsub: Fi Amali Al-Maulid" menyebut kala itu ancaman Temujin atau Gengis Khan amat menakutkan.
Gengis Khan, seorang raja Mongol yang naik tahta ketika berusia 13 tahun dan mampu mengadakan konfederasi tokoh-tokoh agama, berambisi menguasai dunia. Penyelenggaraan acara maulid secara besar-besaran diharapkan dapat memompa fanatisme umat Islam yang kala itu sedang terpuruk.
Maulid perdana yang diadakan oleh Sultan Abu Said amat megah dan semarak. Tidak tanggung-tanggung, dia mengadakan acara Maulid selama 7 hari 7 malam. Dalam acara Maulid itu ada 5.000 ekor kambing, 10.000 ekor ayam, 100.000 keju dan 30.000 piring makanan. Acara ini menghabiskan 300.000 dinar uang emas.
Kemudian, dalam acara itu Sultan Abu Said mengundang para orator untuk menghidupkan nadi heroisme Muslimin. Hasilnya, semangat heroisme Muslimin saat itu dapat dikobarkan dan siap menjadi benteng kokoh Islam.
Perang Salib Hal yang sama juga dilakukan Sultan Shalahuddin al-Ayyubi untuk membangkitkan semangat juang umat Islam dalam Perang Salib, yakni pada saat negeri-negeri Islam mendapat serangan-serangan gelombang demi gelombang dari berbagai bangsa Eropa (Prancis, Jerman, Inggris).
Pada tahun 1099 laskar Eropa merebut Yerusalem dan mengubah Masjid al-Aqsa menjadi gereja. Umat Islam saat itu kehilangan semangat perjuangan (jihad) dan persaudaraan (ukhuwah), sebab secara politis terpecah-belah dalam banyak kerajaan dan kesultanan, meskipun khalifah tetap satu, yaitu Bani Abbas di Baghdad, sebagai lambang persatuan spiritual.
Menurut Sultan Shalahuddin, semangat juang umat Islam harus dihidupkan kembali dengan cara mempertebal kecintaan umat kepada nabi mereka. Dia mengimbau umat Islam di seluruh dunia agar hari lahir Nabi Muhammad SAW, 12 Rabiul Awal, yang setiap tahun berlalu begitu saja tanpa diperingati, kini dirayakan secara massal.
Konon hal itu bukan gagasan murni Salahuddin, melainkan usul dari iparnya, Muzaffaruddin Gekburi, yang menjadi atabeg (semacam bupati) di Irbil, Suriah Utara.
Untuk mengimbangi maraknya peringatan Natal oleh umat Nasrani, Muzaffaruddin di istananya sering menyelenggarakan peringatan Maulid Nabi, cuma perayaannya bersifat lokal dan tidak setiap tahun.
Adapun Salahuddin ingin agar perayaan Maulid Nabi menjadi tradisi bagi umat Islam di seluruh dunia dengan tujuan meningkatkan semangat juang, bukan sekadar perayaan ulang tahun biasa.
Pada mulanya gagasan Salahuddin ditentang oleh para ulama, sebab sejak zaman Nabi peringatan seperti itu tidak pernah ada. Lagi pula hari raya resmi menurut ajaran agama cuma ada dua, yaitu Idul Fitri dan Idul Adha.
Salahuddin menegaskan bahwa perayaan Maulid Nabi hanyalah kegiatan yang menyemarakkan syiar agama, bukan perayaan yang bersifat ritual, sehingga tidak dapat dikategorikan bid'ah yang terlarang. Ketika Salahuddin meminta persetujuan dari Khalifah An-Nashir di Bagdad, ternyata khalifah setuju.
Pada ibadah haji bulan Zulhijjah 579 Hijriyah (1183 Masehi), Sultan Salahuddin al-Ayyubi sebagai penguasa Haramain (dua tanah suci Makkah dan Madinah) mengeluarkan instruksi kepada seluruh jemaah haji, agar jika kembali ke kampung halaman masing-masing segera mensosialisasikan kepada masyarakat Islam di mana saja berada, bahwa mulai tahun 580 Hijriah (1184 Masehi) tanggal 12 Rabiul Awal dirayakan sebagai hari Maulid Nabi dengan berbagai kegiatan yang membangkitkan semangat umat Islam.
Salah satu kegiatan yang diadakan oleh Sultan Salahuddin pada peringatan Maulid Nabi yang pertama kali tahun 1184 (580 Hijriah) adalah menyelenggarakan sayembara penulisan riwayat Nabi beserta puji-pujian bagi Nabi dengan bahasa yang seindah mungkin.
Seluruh ulama dan sastrawan diundang untuk mengikuti kompetisi tersebut. Pemenang yang menjadi juara pertama adalah Syaikh Ja'far al-Barzanji. Karyanya yang dikenal sebagai Kitab Barzanji sampai sekarang sering dibaca masyarakat di kampung-kampung pada peringatan Maulid Nabi.
Peringatan Maulid Nabi yang diselenggarakan Sultan Salahuddin itu membuahkan hasil yang positif. Semangat umat Islam menghadapi Perang Salib bergelora kembali. Salahuddin berhasil menghimpun kekuatan, sehingga pada tahun 1187 (583 Hijriah) Yerusalem direbut oleh Salahuddin dari tangan bangsa Eropa, dan Masjid al-Aqsa menjadi masjid kembali sampai hari ini.
Selain itu, perayaan Maulid Nabi juga dapat ditelusuri kembali pada tulisan Jamāl al-Dīn Ibn al-Ma'mūn yang wafat pada tahun 587 H/1192 M.
Maulid Nabi mulai populer di Mesir pada abad ke-11 M. Pada abad ke-12 masyarakat muslim di wilayah lain seperti Turki, Maroko, Suriah, dan Spanyol juga mulai merayakannya.
Saat ini, ada berbagai bentuk peringatan. Kelompok sufi di Mesir memasuki beberapa masjid paling terkenal di negara itu untuk melakukan apa yang dikenal sebagai “Halaqat al-Dzikir”, atau lingkaran zikir.
Di kalangan ini, para sufi membacakan puisi-puisi keagamaan dan nasyid untuk memuji Tuhan dan Nabi Muhammad SAW.
Foto-foto:TRTWORLD
(mhy)