Pengertian Wahabi: Benarkan Julukan bagi Orang yang Melanggar Tradisi?
loading...
A
A
A
Orang-orang biasa menuduh " wahabi " kepada setiap orang yang melanggar tradisi , kepercayaan dan bid'ah mereka, sekalipun kepercayaan-kepercayaan mereka itu rusak, bertentangan dengan Al-Quranul Karim dan hadis-hadis sahih.
"Mereka menentang dakwah kepada tauhid dan enggan berdoa (memohon) hanya kepada Allah semata," tulis Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu dalam bukunya berjudul "Jalan Golongan yang Selamat" (Darul Haq, 1998)
Dia mengisahkan suatu kali, di depan seorang Syaikh, ia membacakan hadis riwayat Ibnu Abbas yang terdapat dalam kitab Al-Arba'in An-Nawawiyah. Hadis ini berbunyi:
"Jika engkau memohon maka mohonlah kepada Allah, dan jika engkau meminta pertolongan, maka mintalah pertolongan kepada Allah." (HR At-Tirmidzi).
Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu kagum dengan terhadap keterangan Imam Nawawi ketika beliau mengatakan, "Kemudian jika kebutuhan yang dimintanya --menurut tradisi-- di luar batas kemampuan manusia, seperti meminta hidayah (petunjuk), ilmu, kesembuhan dari sakit dan kesehatan, maka hal-hal itu (mesti) memintanya hanya kepada Allah semata. Dan jika hal-hal di atas dimintanya kepada makhluk maka itu amat tercela."
Lalu kepada Syaikh tersebut, Syaikh Muhammad bin Jamil Zainukatakan, "Hadis ini berikut keterangannya menegaskan tidak dibolehkannya meminta pertolongan kepada selain Allah."
Ia lalu menyergah, "Malah sebaliknya, hal itu dibolehkan."
Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu lalu bertanya, "Apa dalil anda?"
Syaikh itu ternyata marah sambil berkata dengan suara tinggi, "Sesungguhnya bibiku berkata, wahai Syaikh Sa'd" dan Aku bertanya padanya, "Wahai bibiku, apakah Syaikh Sa'd dapat memberi manfaat kepadamu?!" Ia menjawab, "Aku berdoa (meminta) kepadanya, sehingga ia menyampaikannya kepada Allah, lalu Allah menyembuhkanku."
Lalu Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu berkata, "Sesungguhnya engkau adalah seorang alim. Engkau banyak habiskan umurmu untuk membaca kitab-kitab. Tetapi sungguh mengherankan, engkau justru mengambil akidah dari bibimu yang bodoh itu."
Ia lalu berkata, "Pola pikirmu adalah pola pikir wahabi. Engkau pergi berumrah lalu datang dengan membawa kitab-kitab wahabi."
Padahal Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu, mengaku tidak mengenal sedikit pun tentang wahabi, kecuali sekadar yang ia dengar dari para Syaikh.
Mereka berkata tentang wahabi, "Orang-orang wahabi adalah mereka yang melanggar tradisi orang kebanyakan. Mereka tidak percaya kepada wali dan karamah-karamahnya, tidak mencintai Rasul dan berbagai tuduhan dusta lainnya."
"Jika orang-orang wahabi adalah mereka yang percaya hanya kepada pertolongan Allah semata, dan percaya yang menyembuhkan hanyalah Allah, maka aku wajib mengenal wahabi lebih jauh," ujar Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu.
Kemudian Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu tanyakan jama'ahnya, sehingga ia mendapat informasi bahwa pada setiap Kamis sore mereka menyelenggarakan pertemuan untuk mengkaji pelajaran tafsir, hadis, dan fikih.
Bersama anak-anak Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu dan sebagian pemuda intelektual, ia mendatangi majelis mereka kami masuk ke sebuah ruangan yang besar.
"Sejenak kami menanti, sampai tiada berapa lama seorang Syaikh yang sudah berusia masuk ruangan. Beliau memberi salam kepada kami dan menjabat tangan semua hadirin dimulai dari sebelah kanan, lalu beliau duduk di kursi dantak seorang pun berdiri untuknya," ujar Syaikh Muhammad bin Jamil Zainuberkisah.
"Mereka menentang dakwah kepada tauhid dan enggan berdoa (memohon) hanya kepada Allah semata," tulis Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu dalam bukunya berjudul "Jalan Golongan yang Selamat" (Darul Haq, 1998)
Dia mengisahkan suatu kali, di depan seorang Syaikh, ia membacakan hadis riwayat Ibnu Abbas yang terdapat dalam kitab Al-Arba'in An-Nawawiyah. Hadis ini berbunyi:
"Jika engkau memohon maka mohonlah kepada Allah, dan jika engkau meminta pertolongan, maka mintalah pertolongan kepada Allah." (HR At-Tirmidzi).
Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu kagum dengan terhadap keterangan Imam Nawawi ketika beliau mengatakan, "Kemudian jika kebutuhan yang dimintanya --menurut tradisi-- di luar batas kemampuan manusia, seperti meminta hidayah (petunjuk), ilmu, kesembuhan dari sakit dan kesehatan, maka hal-hal itu (mesti) memintanya hanya kepada Allah semata. Dan jika hal-hal di atas dimintanya kepada makhluk maka itu amat tercela."
Lalu kepada Syaikh tersebut, Syaikh Muhammad bin Jamil Zainukatakan, "Hadis ini berikut keterangannya menegaskan tidak dibolehkannya meminta pertolongan kepada selain Allah."
Ia lalu menyergah, "Malah sebaliknya, hal itu dibolehkan."
Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu lalu bertanya, "Apa dalil anda?"
Syaikh itu ternyata marah sambil berkata dengan suara tinggi, "Sesungguhnya bibiku berkata, wahai Syaikh Sa'd" dan Aku bertanya padanya, "Wahai bibiku, apakah Syaikh Sa'd dapat memberi manfaat kepadamu?!" Ia menjawab, "Aku berdoa (meminta) kepadanya, sehingga ia menyampaikannya kepada Allah, lalu Allah menyembuhkanku."
Lalu Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu berkata, "Sesungguhnya engkau adalah seorang alim. Engkau banyak habiskan umurmu untuk membaca kitab-kitab. Tetapi sungguh mengherankan, engkau justru mengambil akidah dari bibimu yang bodoh itu."
Baca Juga
Ia lalu berkata, "Pola pikirmu adalah pola pikir wahabi. Engkau pergi berumrah lalu datang dengan membawa kitab-kitab wahabi."
Padahal Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu, mengaku tidak mengenal sedikit pun tentang wahabi, kecuali sekadar yang ia dengar dari para Syaikh.
Mereka berkata tentang wahabi, "Orang-orang wahabi adalah mereka yang melanggar tradisi orang kebanyakan. Mereka tidak percaya kepada wali dan karamah-karamahnya, tidak mencintai Rasul dan berbagai tuduhan dusta lainnya."
"Jika orang-orang wahabi adalah mereka yang percaya hanya kepada pertolongan Allah semata, dan percaya yang menyembuhkan hanyalah Allah, maka aku wajib mengenal wahabi lebih jauh," ujar Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu.
Kemudian Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu tanyakan jama'ahnya, sehingga ia mendapat informasi bahwa pada setiap Kamis sore mereka menyelenggarakan pertemuan untuk mengkaji pelajaran tafsir, hadis, dan fikih.
Bersama anak-anak Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu dan sebagian pemuda intelektual, ia mendatangi majelis mereka kami masuk ke sebuah ruangan yang besar.
"Sejenak kami menanti, sampai tiada berapa lama seorang Syaikh yang sudah berusia masuk ruangan. Beliau memberi salam kepada kami dan menjabat tangan semua hadirin dimulai dari sebelah kanan, lalu beliau duduk di kursi dantak seorang pun berdiri untuknya," ujar Syaikh Muhammad bin Jamil Zainuberkisah.