4 Penyebab Perbedaan Pendapat Ulama dalam Menentukan Hukum Nikah Misyar
Rabu, 01 November 2023 - 05:15 WIB
Chomim Tohari mengatakan sebagian ulama memilih tawaqquf (abstain) tentang hukum nikah misyar , lantaran menurut mereka esensi pernikahan seperti ini berikut dalil yang dipergunakan baik yang mendukung maupun yang menolak tampak belum jelas dan meyakinkan.
"Mereka menyatakan bahwa sangat penting untuk dilakukan pengkajian mendalam dan pencermatan ekstra perihal nikah misyar ini," tulis Chomim Tohari dalam papernya berjudul "Fatwa Ulama tentang Hukum Islam Nikah Misyar Perspektif Maqqasid Shari'ah"
Di antara ulama kontemporer yang mengambil posisi ini adalah Shaykh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin.
Chomim Tohari mengatakan pembahasan di atas menunjukkan bahwa para ulama hingga kini belum mencapai kesepakatan tentang hukum nikah misyar. Karena nikah misyar merupakan masalah baru dan belum ditemukan dasar hukum yang kuat untuk menghukuminya, maka sewajarnya manakala terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama.
Menurut Chomim Tohari, beberapa hal yang menjadi sebab perbedaan pendapat tersebut adalah:
Pertama, perbedaan manhaj dalam menetapkan hukum. Antara kelompok yang membolehkan dan yang melarang pernikahan misyar sama-sama menggunakan dalil akal dalam menentukan hukumnya.
Namun letak perbedaannya adalah kelompok yang membolehkan nikah misyar (seperti Yusuf alQardhawi ) lebih banyak menggunakan pendekatan kemaslahatan (istislahi) yang dapat dicapai dalam pernikahan ini. Meskipun alQardhawi juga menggunakan qiyas -yakni mengqiyaskan nikah misyar dengan kasus Saudah istri Nabi yang memberikan hak malamnya untuk Aisyah - namun dengan proporsi yang kecil.
Sementara kelompok yang menentang nikah misyar tampaknya lebih mengedepankan qiyas antara nikah misyar dengan nikah biasa. Sehingga adanya perbedaan-perbedaan antara nikah misyar dengan nikah biasa, menyebabkan nikah misyar dianggap sebagai pernikahan yang tidak sah, sehingga harus diharamkan.
Selain itu, kelompok yang melarang nikah misyar lebih banyak melihat aspek mudharat yang dihasilkan dari jenis pernikahan ini.
Menurut Chomim Tohari, dari perspektif ilmu ushul fiqh, kelompok yang menolak nikah misyar mengharamkan pernikahan jenis ini dengan metode sadd ad-dharih. Artinya, menutup jalan yang menuju kepada kerusakan.
Kedua, perbedaan dalam penetapan kriteria keabsahan nikah. Chomim Tohari mengatakan sebagaimana diketahui bahwa di antara alasan yang dikemukakan oleh para ulama yang membolehkan nikah misyar adalah selama suatu pernikahan terpenuhi syarat dan rukunnya, maka pernikahan itu sah.
Sedangkan ulama yang mengharamkan nikah misyar berpandangan bahwa keabsahan pernikahan tidak semata-mata tercapainya syarat dan rukun pernikahan, tetapi juga harus terwujud tujuan-tujuan pernikahan.
Jadi, kriteria pernikahan yang sah menurut ulama yang membolehkan nikah misyar adalah pernikahan yang terpenuhi syarat dan rukunnya. Sedangkan kriteria pernikahan yang sah menurut ulama yang mengharamkan nikah misyar adalah pernikahan yang tidak hanya terpenuhi syarat dan rukunnya, tetapi sekaligus tujuan-tujuan pernikahan tersebut.
Ketiga, perbedaan dalam memahami wajib tidaknya sosialisasi suatu pernikahan. Pernikahan misyar (meskipun tidak semuanya) biasanya mengandung unsur kerahasiaan antara pihak yang melakukan nikah misyar dengan istri pertama dan keluarganya.
Perdebatan tentang akibat hukum merahasiakan pernikahan ini sebenarnya telah terjadi pada masa lalu antara para ulama mazhab. Mazhab Maliki misalnya, berpendapat bahwa misi pernikahan adalah pemberitahuan dan sosialisasi. Syarat adanya sosialisasi merupakan syarat sahnya suatu pernikahan.
Dengan adanya permintaan untuk dirahasiakan, baik oleh kedua suami istri, wali, maupun saksi, berarti tidak terwujud misi pemberitahuan dan sosialisasi.
Selain itu, merahasiakan hubungan pernikahan dianggap termasuk ciri-ciri perzinaan. Sehingga pernikahan manakala sudah diminta untuk disembunyikan, maka mirip dengan praktik perzinaan, maka akibatnya rusak secara hukum.
"Mereka menyatakan bahwa sangat penting untuk dilakukan pengkajian mendalam dan pencermatan ekstra perihal nikah misyar ini," tulis Chomim Tohari dalam papernya berjudul "Fatwa Ulama tentang Hukum Islam Nikah Misyar Perspektif Maqqasid Shari'ah"
Di antara ulama kontemporer yang mengambil posisi ini adalah Shaykh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin.
Chomim Tohari mengatakan pembahasan di atas menunjukkan bahwa para ulama hingga kini belum mencapai kesepakatan tentang hukum nikah misyar. Karena nikah misyar merupakan masalah baru dan belum ditemukan dasar hukum yang kuat untuk menghukuminya, maka sewajarnya manakala terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama.
Menurut Chomim Tohari, beberapa hal yang menjadi sebab perbedaan pendapat tersebut adalah:
Pertama, perbedaan manhaj dalam menetapkan hukum. Antara kelompok yang membolehkan dan yang melarang pernikahan misyar sama-sama menggunakan dalil akal dalam menentukan hukumnya.
Namun letak perbedaannya adalah kelompok yang membolehkan nikah misyar (seperti Yusuf alQardhawi ) lebih banyak menggunakan pendekatan kemaslahatan (istislahi) yang dapat dicapai dalam pernikahan ini. Meskipun alQardhawi juga menggunakan qiyas -yakni mengqiyaskan nikah misyar dengan kasus Saudah istri Nabi yang memberikan hak malamnya untuk Aisyah - namun dengan proporsi yang kecil.
Sementara kelompok yang menentang nikah misyar tampaknya lebih mengedepankan qiyas antara nikah misyar dengan nikah biasa. Sehingga adanya perbedaan-perbedaan antara nikah misyar dengan nikah biasa, menyebabkan nikah misyar dianggap sebagai pernikahan yang tidak sah, sehingga harus diharamkan.
Selain itu, kelompok yang melarang nikah misyar lebih banyak melihat aspek mudharat yang dihasilkan dari jenis pernikahan ini.
Menurut Chomim Tohari, dari perspektif ilmu ushul fiqh, kelompok yang menolak nikah misyar mengharamkan pernikahan jenis ini dengan metode sadd ad-dharih. Artinya, menutup jalan yang menuju kepada kerusakan.
Kedua, perbedaan dalam penetapan kriteria keabsahan nikah. Chomim Tohari mengatakan sebagaimana diketahui bahwa di antara alasan yang dikemukakan oleh para ulama yang membolehkan nikah misyar adalah selama suatu pernikahan terpenuhi syarat dan rukunnya, maka pernikahan itu sah.
Sedangkan ulama yang mengharamkan nikah misyar berpandangan bahwa keabsahan pernikahan tidak semata-mata tercapainya syarat dan rukun pernikahan, tetapi juga harus terwujud tujuan-tujuan pernikahan.
Jadi, kriteria pernikahan yang sah menurut ulama yang membolehkan nikah misyar adalah pernikahan yang terpenuhi syarat dan rukunnya. Sedangkan kriteria pernikahan yang sah menurut ulama yang mengharamkan nikah misyar adalah pernikahan yang tidak hanya terpenuhi syarat dan rukunnya, tetapi sekaligus tujuan-tujuan pernikahan tersebut.
Ketiga, perbedaan dalam memahami wajib tidaknya sosialisasi suatu pernikahan. Pernikahan misyar (meskipun tidak semuanya) biasanya mengandung unsur kerahasiaan antara pihak yang melakukan nikah misyar dengan istri pertama dan keluarganya.
Perdebatan tentang akibat hukum merahasiakan pernikahan ini sebenarnya telah terjadi pada masa lalu antara para ulama mazhab. Mazhab Maliki misalnya, berpendapat bahwa misi pernikahan adalah pemberitahuan dan sosialisasi. Syarat adanya sosialisasi merupakan syarat sahnya suatu pernikahan.
Dengan adanya permintaan untuk dirahasiakan, baik oleh kedua suami istri, wali, maupun saksi, berarti tidak terwujud misi pemberitahuan dan sosialisasi.
Selain itu, merahasiakan hubungan pernikahan dianggap termasuk ciri-ciri perzinaan. Sehingga pernikahan manakala sudah diminta untuk disembunyikan, maka mirip dengan praktik perzinaan, maka akibatnya rusak secara hukum.