Terminologi Nikah Misyar, Tak Sekadar Bobok-Bobok Siang
loading...
A
A
A
Pernikahan misyar telah menimbulkan perdebatan terutama di kalangan ulama kontemporer. Karena model nikah misyar baru dikenal masa kini, maka para ulama kontemporer berbeda pendapat menghukuminya.
"Sebenarnya masalah nikah misyar di Indonesia belum banyak dikaji atau diperbincangkan oleh para ahli hukum Islam ," tulis Chomim Tohari dalam papernya berjudul "Fatwa Ulama tentang Hukum Islam Nikah Misyar Perspektif Maqqasid Shari'ah".
Lalu apa sejatinya terminologi nikah misyar itu? Secara bahasa, menurut Ibnu Manzhur, Lisan al-‘Arab, misyar artinya pergi atau perjalanan. Kata ini menurut pakar bahasa mengandung pengertian kathrah, yakni terjadi dengan intensitas tinggi.
Nama al-misyar adalah sebuah nama bagi pernikahan, di mana suami pergi ke tempat istrinya, bukan sebaliknya.
Shaykh Jabir al-Hakami dalam artikelnya berjudul “Al-Misyar: al-Musamma, al-Dawa’i, wa Hukmuhu al-Syar’i” yang dilansir al-Nadwah mengatakan pernikahan ini disebut misyar dikarenakan suamilah yang bertolak menuju tempat istri di waktu-waktu yang terpisah lagi sempit. Ia tidak berlama-lama tinggal bersama istrinya, bahkan seringkali suami tersebut tidak bermalam dan tidak menetap.
Sebagian orang memandang bahwa misyar adalah bahasa ‘amiyyah yang berasal dari orang-orang Badui di sejumlah Negara Arab. Berkaitan dengan hal tersebut, Al-Qardhawi mengakui tidak mengetahui makna misyar (secara pasti).
Menurutnya, kata misyar bukan sebuah kata baku tetapi bentuk ‘amiyyah yang berkembang di sebagian Negara Teluk, dengan pengertian melewati sesuatu tanpa menyempatkan tinggal dalam waktu yang lama.
Bahkan sebagian pengkaji menyimpulkan pembatasan penggunaannya di distrik Najed saja, yakni di Kerajaan Saudi Arabia. Menurut sebagian pakar bahasa, kata “misyar” merupakan kata tidak baku yang dipakai di distrik Najed, dengan pengertian kunjungan di siang hari.
Ahmad Tamimi dalam artikelnya berjudul “Zawaj al-Misyar,” yang dilansir al-Usrah menjelaskan nama ini secara mutlak dipakai untuk jenis pernikahan yang mana sang suami menemui istrinya di siang hari saja, layaknya mengunjungi tetangga-tetangga.
Shaykh Abd Allah bin Sulayman bin Mani’ dalam “Hukm al-Zawaj”, mengatakan sisi perbedaan pernikahan ini dengan pernikahan umumnya adalah sang istri merelakan lepasnya hak pribadinya dalam pembagian hari dan nafkah. Ia juga merelakan sang suami mengunjungi dirinya di waktu-waktu yang longgar saja, kapan saja, siang atau malam.
"Sebenarnya masalah nikah misyar di Indonesia belum banyak dikaji atau diperbincangkan oleh para ahli hukum Islam ," tulis Chomim Tohari dalam papernya berjudul "Fatwa Ulama tentang Hukum Islam Nikah Misyar Perspektif Maqqasid Shari'ah".
Lalu apa sejatinya terminologi nikah misyar itu? Secara bahasa, menurut Ibnu Manzhur, Lisan al-‘Arab, misyar artinya pergi atau perjalanan. Kata ini menurut pakar bahasa mengandung pengertian kathrah, yakni terjadi dengan intensitas tinggi.
Nama al-misyar adalah sebuah nama bagi pernikahan, di mana suami pergi ke tempat istrinya, bukan sebaliknya.
Shaykh Jabir al-Hakami dalam artikelnya berjudul “Al-Misyar: al-Musamma, al-Dawa’i, wa Hukmuhu al-Syar’i” yang dilansir al-Nadwah mengatakan pernikahan ini disebut misyar dikarenakan suamilah yang bertolak menuju tempat istri di waktu-waktu yang terpisah lagi sempit. Ia tidak berlama-lama tinggal bersama istrinya, bahkan seringkali suami tersebut tidak bermalam dan tidak menetap.
Sebagian orang memandang bahwa misyar adalah bahasa ‘amiyyah yang berasal dari orang-orang Badui di sejumlah Negara Arab. Berkaitan dengan hal tersebut, Al-Qardhawi mengakui tidak mengetahui makna misyar (secara pasti).
Menurutnya, kata misyar bukan sebuah kata baku tetapi bentuk ‘amiyyah yang berkembang di sebagian Negara Teluk, dengan pengertian melewati sesuatu tanpa menyempatkan tinggal dalam waktu yang lama.
Bahkan sebagian pengkaji menyimpulkan pembatasan penggunaannya di distrik Najed saja, yakni di Kerajaan Saudi Arabia. Menurut sebagian pakar bahasa, kata “misyar” merupakan kata tidak baku yang dipakai di distrik Najed, dengan pengertian kunjungan di siang hari.
Ahmad Tamimi dalam artikelnya berjudul “Zawaj al-Misyar,” yang dilansir al-Usrah menjelaskan nama ini secara mutlak dipakai untuk jenis pernikahan yang mana sang suami menemui istrinya di siang hari saja, layaknya mengunjungi tetangga-tetangga.
Shaykh Abd Allah bin Sulayman bin Mani’ dalam “Hukm al-Zawaj”, mengatakan sisi perbedaan pernikahan ini dengan pernikahan umumnya adalah sang istri merelakan lepasnya hak pribadinya dalam pembagian hari dan nafkah. Ia juga merelakan sang suami mengunjungi dirinya di waktu-waktu yang longgar saja, kapan saja, siang atau malam.
(mhy)