Syam Pra-Islam: Kisah Banu Gassan di Bawah Romawi
Senin, 08 Januari 2024 - 15:00 WIB
Syam dikuasai Arab dari Banu Gassan pada era pra-Islam. Amir demi amir sampai kepada Jabalah bin al-Aiham sebagai penguasa Arab Syam ketika Umar bin Khattab memasuki Irak.
Muhammad Husain Haekal dalam bukunya berjudul "Abu Bakr As-Siddiq" yang diterjemahkan dari bahasa Arab oleh Ali Audah (PT Pustaka Litera AntarNusa, 1987) menulis di antara mereka yang berkuasa ialah Amr al-Asgar pada tahun 587 M.
"Ketika melarikan diri dari Nu'man bin al-Munzir penguasa Hirah, Nabigah az-Zubyani (penyair terkemuka) berlindung kepadanya," tutur Haekal.
Sesudah dia, Abu Karib an-Nu'man VI anak Haris al-Asgar yang berkuasa. Ia disanjung-sanjung oleh Nabigah dengan sajak-sajaknya yang terbaik.
Kemudian naik pula beberapa amir yang menandakan banyaknya jumlah mereka dalam membagi-bagi kerajaan Banu Gassan di Syam itu, yang akhirnya sampai kepada Aiham II, kemudian anaknya Jabalah bin al-Aiham.
Sudah sejak lama kekuasaan di Syam itu dibagi-bagi menjadi sekian banyak amir. Barangkali memang sudah menjadi politik Romawi supaya jangan ada perlawanan menentang kekuasaannya jika mereka bersatu.
Hal ini diperkuat oleh tak adanya ibu kota Banu Gassan di Syam, seperti halnya dengan Hirah ibu kota Banu Lakhm di Irak. Bahkan al-Jabiah, Tadmur, Jaulan, Jillaq di dekat Damsyik, masing-masing punya ibu kota sendiri.
"Yang demikian ini sejalan dengan politik pemerintah pusat yang sudah menjadi ketentuan imperium Romawi, seperti halnya dengan perluasaan kekuasaan penguasa Hirah yang sejalan dengan politik desentralisasi imperium Persia," ujar Haekal.
Arab Irak dan Arab Syam itu sangat berpegang teguh pada kebebasan pribadi dan pada tata cara Arabnya. Oleh karena itu bahasa penduduk kawasan Semenanjung itu adalah bahasa mereka sendiri.
Di Irak, bahasa Persia tak mampu menghapusnya, dan di Syam bahasa Yunani dan Latin tak pula mampu menggesernya. Itu sebabnya hubungan raja-raja di Hirah dengan raja-raja Banu Gassan di Semenanjung itu tetap kuat.
Mereka yang masih mengagungkan raja-raja dan memperoleh hadiah-hadiah penghargaan adalah para penyair Semenanjung itu.
Buku-buku sastra dan kumpulan-kumpulan puisi oleh penyair-penyair semacam Nabigah az-Zubyani, A'sya Qais, Alqamah al-Fahl dan yang lain banyak berkisah tentang raja-raja dan kedermawanan mereka serta sampai berapa jauh kebudayaan dan kemewahan pada zaman mereka itu.
Penyair Nabi, Hassan bin Sabit, sebelum Islam erat sekali berhubungan dengan Jabalah bin al-Aiham.
Orang-orang Arab yang pindah dari Semenanjung ke pedalaman Syam itu tetap memelihara ciri-ciri mereka yang khas, adat istiadat serta bahasa Arab. Mereka itulah yang menjadi pelopor dalam merintis jalan terbentuknya kedaulatan Islam.
Mereka itulah yang di kemudian hari sering sekali bergabung ke dalam pasukan Muslimin. Mereka yang tadinya sekutu-sekutu Romawi dan Persia itu berperang di barisan Muslimin.
Muhammad Husain Haekal dalam bukunya berjudul "Abu Bakr As-Siddiq" yang diterjemahkan dari bahasa Arab oleh Ali Audah (PT Pustaka Litera AntarNusa, 1987) menulis di antara mereka yang berkuasa ialah Amr al-Asgar pada tahun 587 M.
"Ketika melarikan diri dari Nu'man bin al-Munzir penguasa Hirah, Nabigah az-Zubyani (penyair terkemuka) berlindung kepadanya," tutur Haekal.
Sesudah dia, Abu Karib an-Nu'man VI anak Haris al-Asgar yang berkuasa. Ia disanjung-sanjung oleh Nabigah dengan sajak-sajaknya yang terbaik.
Kemudian naik pula beberapa amir yang menandakan banyaknya jumlah mereka dalam membagi-bagi kerajaan Banu Gassan di Syam itu, yang akhirnya sampai kepada Aiham II, kemudian anaknya Jabalah bin al-Aiham.
Sudah sejak lama kekuasaan di Syam itu dibagi-bagi menjadi sekian banyak amir. Barangkali memang sudah menjadi politik Romawi supaya jangan ada perlawanan menentang kekuasaannya jika mereka bersatu.
Hal ini diperkuat oleh tak adanya ibu kota Banu Gassan di Syam, seperti halnya dengan Hirah ibu kota Banu Lakhm di Irak. Bahkan al-Jabiah, Tadmur, Jaulan, Jillaq di dekat Damsyik, masing-masing punya ibu kota sendiri.
"Yang demikian ini sejalan dengan politik pemerintah pusat yang sudah menjadi ketentuan imperium Romawi, seperti halnya dengan perluasaan kekuasaan penguasa Hirah yang sejalan dengan politik desentralisasi imperium Persia," ujar Haekal.
Baca Juga
Arab Irak dan Arab Syam itu sangat berpegang teguh pada kebebasan pribadi dan pada tata cara Arabnya. Oleh karena itu bahasa penduduk kawasan Semenanjung itu adalah bahasa mereka sendiri.
Di Irak, bahasa Persia tak mampu menghapusnya, dan di Syam bahasa Yunani dan Latin tak pula mampu menggesernya. Itu sebabnya hubungan raja-raja di Hirah dengan raja-raja Banu Gassan di Semenanjung itu tetap kuat.
Mereka yang masih mengagungkan raja-raja dan memperoleh hadiah-hadiah penghargaan adalah para penyair Semenanjung itu.
Buku-buku sastra dan kumpulan-kumpulan puisi oleh penyair-penyair semacam Nabigah az-Zubyani, A'sya Qais, Alqamah al-Fahl dan yang lain banyak berkisah tentang raja-raja dan kedermawanan mereka serta sampai berapa jauh kebudayaan dan kemewahan pada zaman mereka itu.
Penyair Nabi, Hassan bin Sabit, sebelum Islam erat sekali berhubungan dengan Jabalah bin al-Aiham.
Orang-orang Arab yang pindah dari Semenanjung ke pedalaman Syam itu tetap memelihara ciri-ciri mereka yang khas, adat istiadat serta bahasa Arab. Mereka itulah yang menjadi pelopor dalam merintis jalan terbentuknya kedaulatan Islam.
Mereka itulah yang di kemudian hari sering sekali bergabung ke dalam pasukan Muslimin. Mereka yang tadinya sekutu-sekutu Romawi dan Persia itu berperang di barisan Muslimin.
Baca Juga
(mhy)