Persoalan Keadilan Ilahi Bukan Problem Nalar tapi Problem Rasa
Sabtu, 13 Januari 2024 - 18:32 WIB
Apakah nalar manusia menginginkan agar Tuhan tidak menciptakan manusia sama sekali? Jangan berkeinginan seperti itu, karena ini bertentangan dengan makna kekuasaan-Nya. Bukankah wujud dan kekuasaan-Nya tidak dapat tercermin kecuali melalui ciptaan-Nya?
Boleh jadi Anda berkata bahwa yang dikemukakan di atas ini adalah tinjauan kekuasaan dan kodrat Ilahi, bukan dari sudut pandang rahmat dan nikmat-Nya. Bukankah dari sudut tinjauan ini, "tidak menciptakan sama sekali justru jauh lebih baik daripada menciptakan sesuatu yang disertai dengan kepedihan dan kejahatan?"
"Barangkali demikian," kata Quraish. "Tetapi, mungkin juga pernyataan "mencipta dan memelihara hak atas berlanjutnya eksistensi, tidak mencegah kelanjutan eksistensi, dan memperoleh rahmat sewaktu terdapat kemungkinan eksis atau potensi untuk mencapai kesempurnaan," tambahnya.
Jika seperti itu adanya, persoalan keadilan Ilahi bukan problem nalar, melainkan problem rasa, sebagai akibat dari keinginan manusia untuk selalu mendapatkan yang terbaik untuk diri, keluarga, atau jenisnya saja, hingga melupakan pihak lain. Jika problemnya demikian, yang mampu menanggulanginya adalah rasa juga. Di sinilah agama dan keyakinan berperan amat besar.
Boleh jadi Anda berkata bahwa yang dikemukakan di atas ini adalah tinjauan kekuasaan dan kodrat Ilahi, bukan dari sudut pandang rahmat dan nikmat-Nya. Bukankah dari sudut tinjauan ini, "tidak menciptakan sama sekali justru jauh lebih baik daripada menciptakan sesuatu yang disertai dengan kepedihan dan kejahatan?"
"Barangkali demikian," kata Quraish. "Tetapi, mungkin juga pernyataan "mencipta dan memelihara hak atas berlanjutnya eksistensi, tidak mencegah kelanjutan eksistensi, dan memperoleh rahmat sewaktu terdapat kemungkinan eksis atau potensi untuk mencapai kesempurnaan," tambahnya.
Jika seperti itu adanya, persoalan keadilan Ilahi bukan problem nalar, melainkan problem rasa, sebagai akibat dari keinginan manusia untuk selalu mendapatkan yang terbaik untuk diri, keluarga, atau jenisnya saja, hingga melupakan pihak lain. Jika problemnya demikian, yang mampu menanggulanginya adalah rasa juga. Di sinilah agama dan keyakinan berperan amat besar.
(mhy)