Apa yang Dimaksud Syura dalam Islam?

Jum'at, 09 Februari 2024 - 17:57 WIB
Apa yang dimaksud syura dalam Islam? Syura adalah suatu prinsip yang menegaskan bahwa semua problematika kekuasaan dapat dibicarakan. Ilustrasi: Ist
Apa yang dimaksud syura dalam Islam ? Ahmad Sukardja dalam bukunya berjudul "Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara Dalam Persfektif Fiqih Siyasah" (Jakarta : Sinar Grafika, 2012) mengatakan syura merupakan sendi kehidupan dalam sosial dan bernegara yang digunakan sebagai prinsip yang harus ditegakkan di muka bumi.

Syura adalah suatu prinsip yang menegaskan bahwa semua problematika kekuasaan dapat dibicarakan. Mengenai cara bermusyawarah, yang perlu dibentuk ialah lembaga permusywaratan, dan di dalamnya harus ada cara

pengambilan keputusan, cara pelaksanaan putusan musyawarah, dan aspek-aspek tata laksana lainnya, jadi sebagai prinsip musyawarah adalah syari'at .



Muhammd Iqbal dalam buku “Fiqh Siyasah, Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam” (Jakarta, Prenadamedia Griup) mengatakan defenisi syura memilki dua pengertian yaitu menampakkan dan memaparkan sesuatu atau mengambil sesuatu.



Kata syura berasal dari bahasa Arab yaitu sya-wa-ra yang secara etimologis berarti mengeluarkan madu dari sarang lebah. Sejalan dengan ini, kata syura dalam bahasa Indonesia menjadi “musyawarah” mengandung makna segala sesuatu yang dapat diambil atau dikeluarkan dari yang lain (termasuk pendapat) untuk memperoleh kebaikkan.

Hal ini semakna dengan pengertian lebah yang mengeluarkan madu yang berguna bagi manusia. Dengan demikian, keputusan yang diambil berdasarkan syura merupakan sesuatu yang baik dan berguna bagi kepentingan kehidupan manusia.

Sedangkan secara istilah dari beberapa ulama telah memberikan defenisi syura yang dikutip dari buku Muhammmad Iqbal, yakni seperti Ar Raghib al Ashfahani yang mendefenisikan syura sebagai proses mengemukakan pendapat dengan saling merevisi antara peserta syura.



Menurut Ibnu Al Arabi al Maliki, syura adalah dengan berkumpul untuk meminta pendapat (dalam suatu permasalahan) dimana peserta syura saling mengeluarkan pendapat yang dimiliki.

Defenisi syura yang dikeluarkan oleh para pakar pemikir Kontemporer di antaranya adalah proses menelusuri pendapat para ahli dalam suatu permasalahan untuk mencapai solusi yang mendekati kebenaran.

Asas syura dalam arti universal ialah bahwa eksistensi jamaah, hak-hak, dan pertanggungjawaban diambil dari solidaritas seluruh individu sebagai bagian dirinya.

Pendapat jamaah merupakan pendapat dari keseluruhan dari mereka, pemikirannya juga sebagai hasil pemikiran mereka, akalnya pun akal mereka.

Kehendak yang kolektif juga tidak lain merupakan kehendak mereka seluruh individu atau orang-orang yang mukallaf dari mereka. Kehendak ini dicetuskan oleh suatu ketetapan yang mereka ambil atas hasil tukar pikiran dan perbincangan di antara mereka, yang dalam hal ini setiap mukallaf dari mereka memiliki kebebasan mengeluarkan pendapat serta membantah pendapat orang lain.



Jadi, menurut Taufik Muhammad Asy-Syawi dalam buku yang diterjemahkan Djamaludin Z.S berjudul "Fiqhusy-Syura WalIstisyarat; Syura Bukan Demokrasi” (Jakarta, Gema Insani Press, 1997), prinsip syura memiliki pengertian bahwa setiap ketetapan yang ditentukan dalam jamaah harus merupakan bukti dari kehendak jumhurul jama'ah atau segenap individunya, dengan syarat bahwa mereka memperoleh kebebasan sepenuhnya dalam menentang pendapat dan mendiskusikannya dalam penolakkannya.

Syura dalam pengertian yang umum, dalam syariat kita, merupakan mabda‟(prinsip) qur'ani dan asas universal yang mencakup seluruh urusan masyarakat.

Syura dalam pengertian ini memiliki cabang-cabang yang berbentuk macam-macam kaidah, berbagai ketentuan dan hukum yang mewujudkan sistem sosial, politik, dan ekonomi yang sempurna sekaligus merumuskan metode solidaritas, kerja sama, dan partisipasi dalam pemikiran, pendapat, dan harta benda.

Dapatkan berita terbaru, follow WhatsApp Channel SINDOnews sekarang juga!
(mhy)
cover top ayah
وَلَٮِٕنۡ اَذَقۡنَا الۡاِنۡسَانَ مِنَّا رَحۡمَةً ثُمَّ نَزَعۡنٰهَا مِنۡهُ‌ۚ اِنَّهٗ لَيَـــُٔوۡسٌ كَفُوۡرٌ (٩) وَلَٮِٕنۡ اَذَقۡنٰهُ نَـعۡمَآءَ بَعۡدَ ضَرَّآءَ مَسَّتۡهُ لَيَـقُوۡلَنَّ ذَهَبَ السَّيِّاٰتُ عَنِّىۡ‌ ؕ اِنَّهٗ لَـفَرِحٌ فَخُوۡرٌۙ (١٠) اِلَّا الَّذِيۡنَ صَبَرُوۡا وَعَمِلُوا الصّٰلِحٰتِؕ اُولٰٓٮِٕكَ لَهُمۡ مَّغۡفِرَةٌ وَّاَجۡرٌ كَبِيۡرٌ (١١)
Dan jika Kami berikan rahmat Kami kepada manusia, kemudian (rahmat itu) Kami cabut kembali, pastilah dia menjadi putus asa dan tidak berterima kasih. Dan jika Kami berikan kebahagiaan kepadanya setelah ditimpa bencana yang menimpanya, niscaya dia akan berkata, Telah hilang bencana itu dariku. Sesungguhnya dia (merasa) sangat gembira dan bangga, kecuali orang-orang yang sabar, dan mengerjakan kebajikan, mereka memperoleh ampunan dan pahala yang besar.

(QS. Hud Ayat 9-11)
cover bottom ayah
Artikel Terkait
Al-Qur'an, Bacalah!
Rekomendasi
Terpopuler
Artikel Terkini More