Tukang Ramal dan Ramalannya, Begini Hukumnya dalam Islam

Senin, 15 April 2024 - 11:56 WIB
Sekadar bertanya saja ke tukang ramal adalah haram, apalagi percaya pada ramalan mereka berarti sudah masuk kekafiran. Foto ilustrasi/facebeook
Di jagat maya, tukang ramal atau peramal berseliweran dengan jumlah follower yang cukup banyak. Eksistensi mereka kian populer untuk menanyakan segala sesuatu yang belum terjadi, mulai dari percintaan, ekonomi hingga dunia politik. Bagaimana Islam memandang tentang kondisi tersebut?

Tukang ramal atau ‘arraf yaitu orang yang mengaku mengetahui tentang suatu hal dengan menggunakan isyarat-isyarat untuk menunjukkan barang curian, atau tempat barang hilang dan semacamnya. Sering disebut sebagai tukang ramal, ahli nujum, peramal nasib dan sejenisnya.

Di dalam Shahiihul Bukhari, dari hadis ‘Aisyah ra bahwa ia pernah berkata: “Abu Bakar ra pernah memiliki seorang budak laki-laki yang makan dari upah yang diberikannya. Suatu hari budak itu datang menemuinya dengan membawa makanan. Lalu Abu Bakar ra memakannya.

Budak itu tiba-tiba berkata kepadanya: ‘Tahukah engkau dari mana aku mendapatkan makanan itu?’

Abu Bakar balik bertanya: ‘Dari mana?’



Budak itu menjawab: ‘Dahulu di masa Jahiliyyah aku pernah berlagak meramal untuk seseorang, padahal aku tidak bisa meramal. Aku sengaja menipunya. Lalu dia menjumpaiku lagi dan memberiku upah itu. Itulah yang engkau makan tadi.’

Serta merta Abu Bakar ra memasukkan jari tangannya ke dalam mulut, sehingga ia memuntahkan seluruh isi perutnya.” (HR Bukhari)

Syaikh Muhammad bin Shâlih al-‘Utsaimin dalam Al-Qaulul Mufid ‘ala Kitab at-Tauhid menjelaskan bahwa bertanya kepada ‘arrâf (dukun) dan semacamnya ada beberapa macam:

1. Sekadar bertanya saja

Ini hukumnya haram.Berdasarkan hadis: “Barangsiapa mendatangi ‘arrâf…”. Penetapan hukuman terhadap pertanyaannya menunjukkan terhadap keharamannya. Karena tidak ada hukuman kecuali terhadap perkara yang diharamkan.

2. Bertanya kepada dukun, meyakininya, dan menganggap (benar) perkataannya.

Ini kekafiran, karena pembenarannya terhadap dukun tentang pengetahuan ghaib, berarti mendustakan terhadap Al-Qur’an.

3. Bertanya kepada dukun untuk mengujinya, apakah dia orang yang benar atau pendusta, bukan untuk mengambil perkataannya.

Maka ini tidak mengapa, dan tidak termasuk (larangan) dalam hadis (di atas). Karena Nabi SAW pernah bertanya kepada Ibnu Shayyad untuk mengujinya.

4. Bertanya kepada dukun untuk menampakkan kelemahan dan kedustaannya

Ini terkadang (hukumnya) wajib atau dituntut.



Wallahu A'lam
Dapatkan berita terbaru, follow WhatsApp Channel SINDOnews sekarang juga!
(wid)
cover top ayah
لَـقَدۡ جَآءَكُمۡ رَسُوۡلٌ مِّنۡ اَنۡفُسِكُمۡ عَزِيۡزٌ عَلَيۡهِ مَا عَنِتُّمۡ حَرِيۡصٌ عَلَيۡكُمۡ بِالۡمُؤۡمِنِيۡنَ رَءُوۡفٌ رَّحِيۡمٌ‏ (١٢٨) فَاِنۡ تَوَلَّوۡا فَقُلۡ حَسۡبِىَ اللّٰهُ ۖ لَاۤ اِلٰهَ اِلَّا هُوَ ؕ عَلَيۡهِ تَوَكَّلۡتُ‌ ؕ وَهُوَ رَبُّ الۡعَرۡشِ الۡعَظِيۡمِ (١٢٩)
Sungguh, telah datang kepadamu seorang rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaan yang kamu alami, (dia) sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, penyantun dan penyayang terhadap orang-orang yang beriman. Maka jika mereka berpaling (dari keimanan), maka katakanlah (Muhammad), Cukuplah Allah bagiku; tidak ada tuhan selain Dia. Hanya kepada-Nya aku bertawakal, dan Dia adalah Tuhan yang memiliki ‘Arsy (singgasana) yang agung.

(QS. At-Taubah Ayat 128-129)
cover bottom ayah
Artikel Terkait
Al-Qur'an, Bacalah!
Rekomendasi
Terpopuler
Artikel Terkini More