Syam dan Mesir Ditaklukkan Umat Islam: Heraklius Meninggal Bizantium Kacau
Kamis, 11 Juli 2024 - 14:43 WIB
Kisah konflik yang terjadi di Konstantinopel setelah kematian Kaisar Heraklius diceritakan Muhammad Husain Haekal dalam bukunya berjudul "Al-Faruq Umar" dan diterjemahkan Ali Audah menjadi "Umar bin Khattab, Sebuah teladan mendalam tentang pertumbuhan Islam dan Kedaulatannya masa itu" (PT Pustaka Litera AntarNusa, 2000).
Dikisahkan, ketika Heraklius menemui ajalnya di Konstantinopel, keadaan istana sudah dicekam oleh kekacauan akibat bencana yang telah menimpa Syam dan Mesir yang ditaklukkan umat Islam . Dengan kematiannya itu kekacauan di istana makin merajalela.
Orang-orang yang penuh ambisi dan kalangan bangsawan istana telah menyebarkan berbagai macam intrik. Intrik-intrik ini sudah begitu membahayakan negara, karena sepeninggal Heraklius kekuasaan bukan lagi di tangan orang yang kuat dan berwibawa, melainkan berada di tangan kedua anaknya, Konstantin (Constantine III) dan Herakleonas yang bersaudara seayah, dan di tangan Martina, istri Heraklius dan ibu Herakleonas, yang juga ikut memegang kekuasaan.
Martina berusaha menguasai kekuasaan itu, seperti dalam saat-saat terakhir dalam hidup suaminya, sementara Konstantin - yang sulung - lebih disenangi rakyat. Oleh sebab itu ia didukung oleh kelompok yang kuat.
Akibatnya, seperti yang sudah menjadi keharusan, setiap bangsawan dan setiap pembesar bertujuan ingin mencapai tujuannya berupa kedudukan atau kekuasaan dengan cara mendekatkan diri kepada permaisuri Ratu atau kepada Konstantin, atau bersekongkol dengan Martina terhadap anak tirinya atau dengan Konstantin terhadap ibunya.
Dengan demikian istana Bizantium kala itu diliputi persaingan keras seperti yang terjadi dengan istana Persia dulu sebelum Yazdigird naik takhta Kisra. Inilah yang telah membantu pasukan Muslimin dalam menghadapi dua singa itu, Persia dan Romawi, dan yang telah memastikan kemenangannya menghadapi mereka.
Sungguhpun begitu, dari tritunggal yang sedang menduduki mahligai Heraklius itu orang masih menunggu-nunggu dengan penuh harapan adanya kebijaksanaan yang akan dapat menolong kerajaan itu.
Pada saat-saat terakhir masa tokoh besar yang pada awal kekuasaannya telah mengangkat namanya sampai ke puncak tertinggi, pada tahun-tahun terakhirnya menghempaskannya dari puncak itu ke lembah kehancuran dan kehinaan. Yang menjadi pusat perhatian para pembesar pemerintahan dan semua orang ketika itu Mesir serta apa yang terjadi di sana dan usaha apa untuk dapat menyelamatkannya.
Hilangnya Mesir dan hasil buminya berarti berkurangnya bahan makanan di seluruh kerajaan. Oleh karenanya Konstantin cepat-cepat bertindak dengan memanggil Cyrus yang dibawanya dari tempat pembuangannya. Begitu juga salah seorang panglimanya yang di Mesir dipanggil untuk memberi nasihat apa yang harus dilakukan untuk mempertahankan Mesir.
Yang senang dengan dipanggilnya Cyrus ini adalah Martina, karena dia tahu orang ini cenderung kepadanya dan dia percaya benar akan kecerdikan dan tipu daya Uskup itu.
Cyrus ini masih dengan pendapatnya yang dulu pernah disampaikannya kepada Heraklius. Tetapi dia pura-pura puas dengan alasan-alasan mereka yang berpendapat agar Romawi tidak mengadakan perdamaian dengan pihak Arab. Konstantin berjanji akan mengirimkan bala bantuan besar-besaran ke Mesir.
Ia mengeluarkan perintah agar menyiapkan armada kapal yang akan membawa bala bantuan itu. Permaisuri Ratu Martina memperlihatkan semangatnya atas semua itu, yang membuat rakyat makin bersemangat dan gembira. Tetapi tiba-tiba bangsa ini dikejutkan oleh sakit dan meninggalnya Konstantin setelah seratus hari dari kematian ayahnya.
Orang segera menuduh Martina yang telah merencanakan kematiannya itu. Kalangan istana dan para pembesar pun berusaha menyebarkan tuduhan itu. Ketika itu Konstans (Constans II Pogonatus), anak Konstantin, termasuk orang yang ikut menyiarkan tuduhan itu. Hal ini menimbulkan gejolak orang terhadap Martina, serta dihentikannya bala bantuan ke Mesir itu.
Usaha Martina hendak membantah tuduhan yang dialamatkan kepadanya itu dan usahanya untuk menjadikan takhta hanya untuk anaknya Herakleonas sia-sia saja. Justru usaha ini telah dijadikan alasan untuk memperkuat tuduhan itu. Seperti halnya dengan rakyat, tentara juga bergolak. Pergolakan ini berlangsung selama berbulan bulan. Gejolak itu baru kemudian berhenti setelah pengangkatan Konstans anak Konstantin duduk bersama-sama dengan Herakleonas mengemudikan kerajaan.
Cyrus Kembali ke Mesir
Melihat bahwa pemberontakan sudah hampir berakhir, dan bahwa Konstans akan mewarisi takhta ayahnya, Cyrus cepat-cepat berangkat ke Mesir dengan kesepakatan Martina dan anaknya.
Ikut bersama dia sejumlah besar pendeta dan angkatan bersenjata yang dipersiapkan untuk memberikan bala bantuan kepada pasukan Romawi yang sedang mempertahankan Mesir itu.
Barangkali timbul perasaan dalam hati Ratu itu bahwa angkatan bersenjata ini akan merupakan kekuatan baginya di negeri Firaun itu, dan dia dan anaknya akan dapat berlindung jika kemudian terjadi intrik-intrik dari lawan-lawannya di Bizantium dan sekali lagi rakyat memberontak kepadanya.
Dalam bulan September 641 Masehi, armada yang membawa Cyrus dan rombongannya itu tiba di ibu kota Mesir. Jenderal Romawi tua itu disambut sebagai pahlawan yang datang dari pihak Kaisar untuk menyelamatkan kota mereka, menyelamatkan agama dan kerajaan mereka.
Adakah Cyrus sudah mempunyai suatu maksud terencana dan politik pribadi yang dibawanya ke Mesir?
Sejarawan Rupert Butler berpendapat bahwa maksudnya memang kuat sekali hendak mengadakan perdamaian dengan pihak Arab, dan bahwa dia "tak dapat diragukan lagi akan mengajak Kaisar - yang kurang pengalaman dan tak punya pendapat itu - untuk tunduk dan menyerah kepada pihak Arab.
Pendapat ini juga yang dibawanya ke sidang senat yang sudah lemah, dan orang-orang istana yang juga lemah dan sudah tak berdaya... Yang jelas di balik semua itu bahwa dia hendak mempengaruhi Ratu Martina dengan pendapatnya yang picik itu, terutama karena pendukung-pendukungnya menghendaki perdamaian dengan pihak Arab, dengan cara apa pun.
Dalam politiknya, Ratu memang selalu suka menyerah dan tunduk, dan itulah pendapat Cyrus yang tetap dikatakan terus-terang pada setiap kesempatan.
Butler menafsirkan pendapat itu bahwa Cyrus "ingin memperkuat kedudukannya dari segi agama di Iskandariah, dan akan ditegakkan di atas puing-puing kerajaan yang sudah runtuh.
Kita tak punya pendapat lain yang lebih sesuai seperti yang dikatakannya itu. Itulah pendapat terbaik yang dapat kita tangkap mengingat hubungannya yang secara diam-diam dengan Amr bin Ash. Menurut Haekal, segala tindakannya mengkhianati kerajaan Roma itu dapat kita lukiskan, bahwa pengkhianatannya terhadap kerajaan itu demi apa yang dikiranya baik untuk gereja.
"Rasanya saya beralasan kalau berpendapat lain dengan Butler dalam hal ini. Sekali lagi bahwa dia lebih terpengaruh oleh kecenderungannya sebagai seorang Kristiani daripada melihatnya dari kenyataan-kenyataan sejarah," kata Haekal.
Cyrus ini sudah tahu benar bahwa kaum Muslimin sangat menjunjung tinggi kebebasan beragama setiap penduduk negeri yang didudukinya, dan hal itu jelas sekali dicantumkan dalam semua persetujuan yang dibuatnya.
Demikian juga apa yang sudah dilakukan di Syam dan Irak pada masa Abu Bakar dan Umar bin Khattab . Dan mereka tidak akan melanggar segala ketentuan itu di Mesir.
Kalaupun mereka menetapkan suatu jizyah kepada penduduk negeri yang didudukinya, tak lain itu demi keamanan mereka, untuk keselamatan mereka dan keluarga, untuk harta mereka, keyakinan dan tempat-tempat ibadah mereka, tanpa membeda-bedakan antara sekte Marcionit dengan sekte Monofisit, antara Romawi yang berkuasa dengan orang-orang Kopti yang dijajah.
Juga kita tidak akan mengira bahwa Cyrus telah terdorong oleh nafsunya dengan mengira bahwa dia mampu mempermainkan atau menipu Amr bin Ash, orang Arab yang cerdas dan cekatan itu, lalu dia sendiri bebas kembali melakukan penindasan dan kekejaman seperti dulu.
Kalaupun dugaan Butler itu benar bahwa kedatangan Cyrus ke Mesir hanya dengan tekad hendak mengadakan perdamaian dengan pihak Arab, bukan untuk tujuan agama atau politik. Malah dia melihat bahwa berperang dengan mereka hanya akan membawa kehancuran Romawi, terutama setelah adanya intrik-intrik dalam istana; mereka makin lemah dan kerajaan mereka pun akan menjurus kepada kehancuran.
Dikisahkan, ketika Heraklius menemui ajalnya di Konstantinopel, keadaan istana sudah dicekam oleh kekacauan akibat bencana yang telah menimpa Syam dan Mesir yang ditaklukkan umat Islam . Dengan kematiannya itu kekacauan di istana makin merajalela.
Orang-orang yang penuh ambisi dan kalangan bangsawan istana telah menyebarkan berbagai macam intrik. Intrik-intrik ini sudah begitu membahayakan negara, karena sepeninggal Heraklius kekuasaan bukan lagi di tangan orang yang kuat dan berwibawa, melainkan berada di tangan kedua anaknya, Konstantin (Constantine III) dan Herakleonas yang bersaudara seayah, dan di tangan Martina, istri Heraklius dan ibu Herakleonas, yang juga ikut memegang kekuasaan.
Martina berusaha menguasai kekuasaan itu, seperti dalam saat-saat terakhir dalam hidup suaminya, sementara Konstantin - yang sulung - lebih disenangi rakyat. Oleh sebab itu ia didukung oleh kelompok yang kuat.
Akibatnya, seperti yang sudah menjadi keharusan, setiap bangsawan dan setiap pembesar bertujuan ingin mencapai tujuannya berupa kedudukan atau kekuasaan dengan cara mendekatkan diri kepada permaisuri Ratu atau kepada Konstantin, atau bersekongkol dengan Martina terhadap anak tirinya atau dengan Konstantin terhadap ibunya.
Dengan demikian istana Bizantium kala itu diliputi persaingan keras seperti yang terjadi dengan istana Persia dulu sebelum Yazdigird naik takhta Kisra. Inilah yang telah membantu pasukan Muslimin dalam menghadapi dua singa itu, Persia dan Romawi, dan yang telah memastikan kemenangannya menghadapi mereka.
Sungguhpun begitu, dari tritunggal yang sedang menduduki mahligai Heraklius itu orang masih menunggu-nunggu dengan penuh harapan adanya kebijaksanaan yang akan dapat menolong kerajaan itu.
Pada saat-saat terakhir masa tokoh besar yang pada awal kekuasaannya telah mengangkat namanya sampai ke puncak tertinggi, pada tahun-tahun terakhirnya menghempaskannya dari puncak itu ke lembah kehancuran dan kehinaan. Yang menjadi pusat perhatian para pembesar pemerintahan dan semua orang ketika itu Mesir serta apa yang terjadi di sana dan usaha apa untuk dapat menyelamatkannya.
Hilangnya Mesir dan hasil buminya berarti berkurangnya bahan makanan di seluruh kerajaan. Oleh karenanya Konstantin cepat-cepat bertindak dengan memanggil Cyrus yang dibawanya dari tempat pembuangannya. Begitu juga salah seorang panglimanya yang di Mesir dipanggil untuk memberi nasihat apa yang harus dilakukan untuk mempertahankan Mesir.
Yang senang dengan dipanggilnya Cyrus ini adalah Martina, karena dia tahu orang ini cenderung kepadanya dan dia percaya benar akan kecerdikan dan tipu daya Uskup itu.
Cyrus ini masih dengan pendapatnya yang dulu pernah disampaikannya kepada Heraklius. Tetapi dia pura-pura puas dengan alasan-alasan mereka yang berpendapat agar Romawi tidak mengadakan perdamaian dengan pihak Arab. Konstantin berjanji akan mengirimkan bala bantuan besar-besaran ke Mesir.
Ia mengeluarkan perintah agar menyiapkan armada kapal yang akan membawa bala bantuan itu. Permaisuri Ratu Martina memperlihatkan semangatnya atas semua itu, yang membuat rakyat makin bersemangat dan gembira. Tetapi tiba-tiba bangsa ini dikejutkan oleh sakit dan meninggalnya Konstantin setelah seratus hari dari kematian ayahnya.
Orang segera menuduh Martina yang telah merencanakan kematiannya itu. Kalangan istana dan para pembesar pun berusaha menyebarkan tuduhan itu. Ketika itu Konstans (Constans II Pogonatus), anak Konstantin, termasuk orang yang ikut menyiarkan tuduhan itu. Hal ini menimbulkan gejolak orang terhadap Martina, serta dihentikannya bala bantuan ke Mesir itu.
Usaha Martina hendak membantah tuduhan yang dialamatkan kepadanya itu dan usahanya untuk menjadikan takhta hanya untuk anaknya Herakleonas sia-sia saja. Justru usaha ini telah dijadikan alasan untuk memperkuat tuduhan itu. Seperti halnya dengan rakyat, tentara juga bergolak. Pergolakan ini berlangsung selama berbulan bulan. Gejolak itu baru kemudian berhenti setelah pengangkatan Konstans anak Konstantin duduk bersama-sama dengan Herakleonas mengemudikan kerajaan.
Cyrus Kembali ke Mesir
Melihat bahwa pemberontakan sudah hampir berakhir, dan bahwa Konstans akan mewarisi takhta ayahnya, Cyrus cepat-cepat berangkat ke Mesir dengan kesepakatan Martina dan anaknya.
Ikut bersama dia sejumlah besar pendeta dan angkatan bersenjata yang dipersiapkan untuk memberikan bala bantuan kepada pasukan Romawi yang sedang mempertahankan Mesir itu.
Barangkali timbul perasaan dalam hati Ratu itu bahwa angkatan bersenjata ini akan merupakan kekuatan baginya di negeri Firaun itu, dan dia dan anaknya akan dapat berlindung jika kemudian terjadi intrik-intrik dari lawan-lawannya di Bizantium dan sekali lagi rakyat memberontak kepadanya.
Dalam bulan September 641 Masehi, armada yang membawa Cyrus dan rombongannya itu tiba di ibu kota Mesir. Jenderal Romawi tua itu disambut sebagai pahlawan yang datang dari pihak Kaisar untuk menyelamatkan kota mereka, menyelamatkan agama dan kerajaan mereka.
Adakah Cyrus sudah mempunyai suatu maksud terencana dan politik pribadi yang dibawanya ke Mesir?
Sejarawan Rupert Butler berpendapat bahwa maksudnya memang kuat sekali hendak mengadakan perdamaian dengan pihak Arab, dan bahwa dia "tak dapat diragukan lagi akan mengajak Kaisar - yang kurang pengalaman dan tak punya pendapat itu - untuk tunduk dan menyerah kepada pihak Arab.
Pendapat ini juga yang dibawanya ke sidang senat yang sudah lemah, dan orang-orang istana yang juga lemah dan sudah tak berdaya... Yang jelas di balik semua itu bahwa dia hendak mempengaruhi Ratu Martina dengan pendapatnya yang picik itu, terutama karena pendukung-pendukungnya menghendaki perdamaian dengan pihak Arab, dengan cara apa pun.
Dalam politiknya, Ratu memang selalu suka menyerah dan tunduk, dan itulah pendapat Cyrus yang tetap dikatakan terus-terang pada setiap kesempatan.
Butler menafsirkan pendapat itu bahwa Cyrus "ingin memperkuat kedudukannya dari segi agama di Iskandariah, dan akan ditegakkan di atas puing-puing kerajaan yang sudah runtuh.
Kita tak punya pendapat lain yang lebih sesuai seperti yang dikatakannya itu. Itulah pendapat terbaik yang dapat kita tangkap mengingat hubungannya yang secara diam-diam dengan Amr bin Ash. Menurut Haekal, segala tindakannya mengkhianati kerajaan Roma itu dapat kita lukiskan, bahwa pengkhianatannya terhadap kerajaan itu demi apa yang dikiranya baik untuk gereja.
"Rasanya saya beralasan kalau berpendapat lain dengan Butler dalam hal ini. Sekali lagi bahwa dia lebih terpengaruh oleh kecenderungannya sebagai seorang Kristiani daripada melihatnya dari kenyataan-kenyataan sejarah," kata Haekal.
Cyrus ini sudah tahu benar bahwa kaum Muslimin sangat menjunjung tinggi kebebasan beragama setiap penduduk negeri yang didudukinya, dan hal itu jelas sekali dicantumkan dalam semua persetujuan yang dibuatnya.
Demikian juga apa yang sudah dilakukan di Syam dan Irak pada masa Abu Bakar dan Umar bin Khattab . Dan mereka tidak akan melanggar segala ketentuan itu di Mesir.
Kalaupun mereka menetapkan suatu jizyah kepada penduduk negeri yang didudukinya, tak lain itu demi keamanan mereka, untuk keselamatan mereka dan keluarga, untuk harta mereka, keyakinan dan tempat-tempat ibadah mereka, tanpa membeda-bedakan antara sekte Marcionit dengan sekte Monofisit, antara Romawi yang berkuasa dengan orang-orang Kopti yang dijajah.
Juga kita tidak akan mengira bahwa Cyrus telah terdorong oleh nafsunya dengan mengira bahwa dia mampu mempermainkan atau menipu Amr bin Ash, orang Arab yang cerdas dan cekatan itu, lalu dia sendiri bebas kembali melakukan penindasan dan kekejaman seperti dulu.
Kalaupun dugaan Butler itu benar bahwa kedatangan Cyrus ke Mesir hanya dengan tekad hendak mengadakan perdamaian dengan pihak Arab, bukan untuk tujuan agama atau politik. Malah dia melihat bahwa berperang dengan mereka hanya akan membawa kehancuran Romawi, terutama setelah adanya intrik-intrik dalam istana; mereka makin lemah dan kerajaan mereka pun akan menjurus kepada kehancuran.
(mhy)