Hijrah, Pilar Peradaban Modern (1)
Selasa, 25 Agustus 2020 - 10:40 WIB
Imam Shamsi Ali
Presiden Nusantara Foundation
SAAT ini kita telah memasuki T ahun Baru Islam 1442 H. Penanggalan yang diinisiasi oleh khalifah kedua, Umar Ibnu Khatthab RA . Umat tentunya bersuka cita dan merayakan tahun baru Islam tersebut. (Baca juga: Membaca Ulang Hijrah Nabi sebagai Pijakan Permulaan Kalender Hijriah)
Sayangnya banyak yang memahami secara sempit makna perayaan tersebut. Padahal seharusnya perayaan tahun baru itu sekaligus bermakna ekspresi kebanggaan terhadap salah satu identitas kolektif (collective identity) umat ini. (Baca juga: Doa yang Biasa Dibaca Rasulullah SAW di Waktu Fajar)
Penanggalan Islam dimulai dengan berpindahnya Rasulullah Muhammad SAW dari Mekah ke Madinah. Perpindahan Rasulullah SAW ini yang dikenal dalam sejarah Islam sebagai Hijratur Rasulullah SAW. Sehingga dengan sendirinya tanggalan Islam dikenal dengan tahun Hijrah atau Hijriyah. (Baca juga: Hijrah, Perspektif Sosiologi Ekonomi)
Tapi apa koneksi kedua peristiwa itu? Atau tegasnya, kenapa hijrah dalam Islam menjadi awal penanggalan Islam? Kenapa bukan kelahiran Rasul? Atau kenapa bukan di saat awal turunnya wahyu kepada beliau?
Masing-masing orang tentunya punya alasan dalam merespon pertanyaan itu. Tapi bagi saya, jawaban yang terdekat adalah karena peristiwa hijrah adalah awal momentum kebangkitan kolektif umat. Bahkan tidak berlebihan jika hijrah sesungguhnya adalah awal kebangkitan peradaban dunia (world civilization). (Baca juga: Akhlak Umar bin Khattab dan Kesedihannya Ketika Nabi Wafat)
Maka sesunngguhnya hal yang paling tepat untuk disadari oleh umat ini di saat memperingati tahun baru adalah bahwa Islam adalah semangat mewujudkan dunia yang berkemajuan sekaligus mewujudkan peradaban alternatif dunia. Dengan masuknya tahun baru hijrah saat ini seharusnya menyadarkan kita kembali akan tanggung jawab kolektif (mas-uliyatul jama’iyah) untuk membangun kembali peradaban modern yang pernah diletakkan fondasi-fondasinya oleh para pendahulu kita.
Hijrah itu Perubahan
Saya tidak bermaksud menjelaskan makna hijrah secara bahasa. Tapi sesungguhnya esensi dari hijrah itu adalah pergerakan dan perubahan.
Dengan hijrah berarti terjadi pergerakan sekaligus perubahan. Hijrah dari Mekah ke Madinah berarti berpindah atau tepatnya melakukan perubahan tempat. (Lihat grafis: Tahun Baru Islam Tanggalkan Pesimisme, Melangkah Penuh Optimisme)
Kata kunci dari peristiwa ini adalah melakukan perubahan dari situasi yang tidak atau kurang baik ke arah situasi yang baik atau lebih baik. Perubahan itu kemudian ditandai oleh pergerakan itu.
Jika kita melihat alam semesta semuanya memiliki pergerakan. Kelestarian segala sesuatu itu dengan pergerakan. Air menjadi bening ketika bergerak. Di saat stagnan akan terjadi pembusukan.
Maka dalam sejarahnya semua para nabi dan rasul melakukan hijrah dalam bentuk yang berbeda. Ibrahim AS misalnya dari Babylon ke Jerusalem, lalu anaknya Ismail ke Mekah.
Hijrah para nabi itu menjadi sunnatullah dalam perjuangan mereka. Bahwa dengan pergerakan dan perubahan itu akhirnya kelestarian perjuangan dan kemenangan akan terwujud.
Pelajaran penting bagi umat tentunya bahwa kelestarian dan kemenangan umat ini ada pada pergerakan dan antisipasi perubahan. Hal inilah yang kemudian diingatkan oleh Allah SWT: “Sungguh Allah tidak merubah nasib sebuah kaum (bangsa) sehingga mereka mengubah diri mereka sendiri”.
Dari Yatsrib ke Madinah
Kita mengenal dalam sejarah bahwa nama kota yang dituju oleh Rasulullah SAW di saat meninggalkan Mekah saat itu bernama Yatsrib. Di kota inilah menetap manusia-manusia yang secara relatif lebih maju secara dunia dan ilmu. Salah satu segmen penduduk kota Yatsrib saat itu adalah komunitas Yahudi. Mereka memang dikenal lebih maju secara ekonomi dan pengetahuan.
Setiba Rasulullah SAW di kota itu beliau ubah namanya dari Yatsrib menjadi Madinah. Dari nama yang sekadar nama menjadi nama yang memiliki makna dan konotasi yang positif dan agung.
Madinah secara literal berarti kota. Sedangkan merujuk kepada akar katanya berarti pusat peradaban. Sebuah kata yang seakar dengan kata tamaddun yang berarti peradaban. (Baca juga: Ide Brilian Salman Al-Farisi Lindungi Madinah dari Kepungan Musuh)
Kata Madinah yang juga melahirkan kata madani (civil) yang sangat relevan dengan kata mujtama atau masyarakat. Kedua kata itu kerap disatukan menjadi mujtama' madani atau masyakat madani, yang lazimnya dalam bahasa Inggris dikenal dengan istilah civil society.
Dengan memahami kata "madinah" secara tepat dapat disimpulkan bahwa perubahan nama dari Yatsrib ke Madinah itu sendiri menjadi indikator kuat bahwa salah tujuan terpenting dari hijrah adalah mewujudkan tujuan kolektif Islam. Yaitu terbangunnya peradaban modern manusia yang kokoh.
Lalu apa hubungan antara peradaban dan kota? Kenapa kedua kata itu memiliki akar kata yang sama?
Jawabannya adalah karena di kota itulah berpusat kehidupan yang berperadaban. Dari hati, pemikiran, hingga karakter (akhlak) dan amal-amal (karya-karya) manusianya menunjukkan peradaban yang tinggi. Maka kota seharusnya menjadi tempat orang-orang yang beradab.
Membangun Masjid
Setiba di Madinah, hal pertama yang Rasulullah SAW lakukan adalah membangun masjid. Bahkan sebelum beliau mendapatkan tempat tinggal permanen untuk dirinya sendiri.
Pembangunan masjid itu sendiri menjadi sebuah simbolisasi penting bahwa peradaban dalam Islam itu tidak akan terlepas dari “rukuk sujudnya” umat ini. Tentu rukuk sujud yang kita maksud adalah ketaatan penuh kepada Allah SWT.
Dengan kata lain, ketaatan umat itu bertujuan untuk terbangunnya peradaban. Sekaligus peradaban itu takkan terlepas dari ketaatan umat.
Pembangunan masjid di awal Rasulullah tiba di Madinah ini menyampaikan pesan tegas bahwa peradaban dalam Islam bukan sekedar gagah-gagahan. Tapi sekaligus tonggak ubudiyah atau pusat pengabdian kepada Sang Pencipta langit dan bumi.
Bahwa di atas semangat ubudiyah itulah akan terbangun peradaban besar dalam kehidupan manusia. Dan ini pula yang menjadi salah satu esensi hijrah itu sendiri. (bersambung)!
Presiden Nusantara Foundation
SAAT ini kita telah memasuki T ahun Baru Islam 1442 H. Penanggalan yang diinisiasi oleh khalifah kedua, Umar Ibnu Khatthab RA . Umat tentunya bersuka cita dan merayakan tahun baru Islam tersebut. (Baca juga: Membaca Ulang Hijrah Nabi sebagai Pijakan Permulaan Kalender Hijriah)
Sayangnya banyak yang memahami secara sempit makna perayaan tersebut. Padahal seharusnya perayaan tahun baru itu sekaligus bermakna ekspresi kebanggaan terhadap salah satu identitas kolektif (collective identity) umat ini. (Baca juga: Doa yang Biasa Dibaca Rasulullah SAW di Waktu Fajar)
Penanggalan Islam dimulai dengan berpindahnya Rasulullah Muhammad SAW dari Mekah ke Madinah. Perpindahan Rasulullah SAW ini yang dikenal dalam sejarah Islam sebagai Hijratur Rasulullah SAW. Sehingga dengan sendirinya tanggalan Islam dikenal dengan tahun Hijrah atau Hijriyah. (Baca juga: Hijrah, Perspektif Sosiologi Ekonomi)
Tapi apa koneksi kedua peristiwa itu? Atau tegasnya, kenapa hijrah dalam Islam menjadi awal penanggalan Islam? Kenapa bukan kelahiran Rasul? Atau kenapa bukan di saat awal turunnya wahyu kepada beliau?
Masing-masing orang tentunya punya alasan dalam merespon pertanyaan itu. Tapi bagi saya, jawaban yang terdekat adalah karena peristiwa hijrah adalah awal momentum kebangkitan kolektif umat. Bahkan tidak berlebihan jika hijrah sesungguhnya adalah awal kebangkitan peradaban dunia (world civilization). (Baca juga: Akhlak Umar bin Khattab dan Kesedihannya Ketika Nabi Wafat)
Maka sesunngguhnya hal yang paling tepat untuk disadari oleh umat ini di saat memperingati tahun baru adalah bahwa Islam adalah semangat mewujudkan dunia yang berkemajuan sekaligus mewujudkan peradaban alternatif dunia. Dengan masuknya tahun baru hijrah saat ini seharusnya menyadarkan kita kembali akan tanggung jawab kolektif (mas-uliyatul jama’iyah) untuk membangun kembali peradaban modern yang pernah diletakkan fondasi-fondasinya oleh para pendahulu kita.
Hijrah itu Perubahan
Saya tidak bermaksud menjelaskan makna hijrah secara bahasa. Tapi sesungguhnya esensi dari hijrah itu adalah pergerakan dan perubahan.
Dengan hijrah berarti terjadi pergerakan sekaligus perubahan. Hijrah dari Mekah ke Madinah berarti berpindah atau tepatnya melakukan perubahan tempat. (Lihat grafis: Tahun Baru Islam Tanggalkan Pesimisme, Melangkah Penuh Optimisme)
Kata kunci dari peristiwa ini adalah melakukan perubahan dari situasi yang tidak atau kurang baik ke arah situasi yang baik atau lebih baik. Perubahan itu kemudian ditandai oleh pergerakan itu.
Jika kita melihat alam semesta semuanya memiliki pergerakan. Kelestarian segala sesuatu itu dengan pergerakan. Air menjadi bening ketika bergerak. Di saat stagnan akan terjadi pembusukan.
Maka dalam sejarahnya semua para nabi dan rasul melakukan hijrah dalam bentuk yang berbeda. Ibrahim AS misalnya dari Babylon ke Jerusalem, lalu anaknya Ismail ke Mekah.
Hijrah para nabi itu menjadi sunnatullah dalam perjuangan mereka. Bahwa dengan pergerakan dan perubahan itu akhirnya kelestarian perjuangan dan kemenangan akan terwujud.
Pelajaran penting bagi umat tentunya bahwa kelestarian dan kemenangan umat ini ada pada pergerakan dan antisipasi perubahan. Hal inilah yang kemudian diingatkan oleh Allah SWT: “Sungguh Allah tidak merubah nasib sebuah kaum (bangsa) sehingga mereka mengubah diri mereka sendiri”.
Dari Yatsrib ke Madinah
Kita mengenal dalam sejarah bahwa nama kota yang dituju oleh Rasulullah SAW di saat meninggalkan Mekah saat itu bernama Yatsrib. Di kota inilah menetap manusia-manusia yang secara relatif lebih maju secara dunia dan ilmu. Salah satu segmen penduduk kota Yatsrib saat itu adalah komunitas Yahudi. Mereka memang dikenal lebih maju secara ekonomi dan pengetahuan.
Setiba Rasulullah SAW di kota itu beliau ubah namanya dari Yatsrib menjadi Madinah. Dari nama yang sekadar nama menjadi nama yang memiliki makna dan konotasi yang positif dan agung.
Madinah secara literal berarti kota. Sedangkan merujuk kepada akar katanya berarti pusat peradaban. Sebuah kata yang seakar dengan kata tamaddun yang berarti peradaban. (Baca juga: Ide Brilian Salman Al-Farisi Lindungi Madinah dari Kepungan Musuh)
Kata Madinah yang juga melahirkan kata madani (civil) yang sangat relevan dengan kata mujtama atau masyarakat. Kedua kata itu kerap disatukan menjadi mujtama' madani atau masyakat madani, yang lazimnya dalam bahasa Inggris dikenal dengan istilah civil society.
Dengan memahami kata "madinah" secara tepat dapat disimpulkan bahwa perubahan nama dari Yatsrib ke Madinah itu sendiri menjadi indikator kuat bahwa salah tujuan terpenting dari hijrah adalah mewujudkan tujuan kolektif Islam. Yaitu terbangunnya peradaban modern manusia yang kokoh.
Lalu apa hubungan antara peradaban dan kota? Kenapa kedua kata itu memiliki akar kata yang sama?
Jawabannya adalah karena di kota itulah berpusat kehidupan yang berperadaban. Dari hati, pemikiran, hingga karakter (akhlak) dan amal-amal (karya-karya) manusianya menunjukkan peradaban yang tinggi. Maka kota seharusnya menjadi tempat orang-orang yang beradab.
Membangun Masjid
Setiba di Madinah, hal pertama yang Rasulullah SAW lakukan adalah membangun masjid. Bahkan sebelum beliau mendapatkan tempat tinggal permanen untuk dirinya sendiri.
Pembangunan masjid itu sendiri menjadi sebuah simbolisasi penting bahwa peradaban dalam Islam itu tidak akan terlepas dari “rukuk sujudnya” umat ini. Tentu rukuk sujud yang kita maksud adalah ketaatan penuh kepada Allah SWT.
Dengan kata lain, ketaatan umat itu bertujuan untuk terbangunnya peradaban. Sekaligus peradaban itu takkan terlepas dari ketaatan umat.
Pembangunan masjid di awal Rasulullah tiba di Madinah ini menyampaikan pesan tegas bahwa peradaban dalam Islam bukan sekedar gagah-gagahan. Tapi sekaligus tonggak ubudiyah atau pusat pengabdian kepada Sang Pencipta langit dan bumi.
Bahwa di atas semangat ubudiyah itulah akan terbangun peradaban besar dalam kehidupan manusia. Dan ini pula yang menjadi salah satu esensi hijrah itu sendiri. (bersambung)!
(poe)