Perang Salib: Masalah Kemurnian Agama Hanya sebagai Pemicu
Selasa, 13 Agustus 2024 - 06:01 WIB
Hal tersebut juga berlaku pada berbagai hal dalam kehidupan seperti makanan, kualitas hidup, sistem masyarakat, hukum, dan sebagainya yang tercakup dalam peradaban.
Renaisans dimulai pada awal abad ke-14 dan Perang Salib II berakhir pada tahun 1149. Ketika Perang Salib IX berakhir pun, Eropa belum memulai kebangkitannya. Kebangkitan Eropa ada kaitannya dengan jatuhnya Konstantinopel pada tahun 1453 dan jatuhnya Emirat Granada pada tahun 1492.
Sejak itu Eropa mengandalkan ilmu pengetahuan dan Islam masih mengandalkan pedang (diwakili oleh Turki Usmani) dalam ekspansi.
Kemurnian agama semakin tenggelam dimulai dari Perang Salib IV hingga X. Semuanya dilandasi faktor ekonomi dan kekuasaan. Hal tersebut mengacu pada berulang kalinya pasukan Salib berusaha menaklukkan Mesir.
Sejak dulu Mesir kaya akan hasil pertanian dan terkenal akan tanah suburnya dibandingkan daerah Timur Tengah yang lain. Daerah yang dapat menandingi Mesir adalah Syam.
Syam juga tidak dalam genggaman sepenuhnya pasukan Salib. Pasukan Salib hanya menguasai daerah pesisir Syam yang lebih cocok digunakan untuk pelabuhan dan perdagangan daripada pertanian.
Perang Salib V, VII, VIII, dan IX adalah bukti bahwa pasukan Salib mengincar kekayaan Mesir. Alasannya adalah Yerusalem dikuasai Dinasti Ayyubiyah yang kemudian dilanjut Dinasti Mamlukiah yang berpusat di Kairo, Mesir.
Merebut Yerusalem sepenuhnya dapat terwujud jika mengalahkan kekuatan pusat. Logikanya, jika pusat atau Mesir dikalahkan, sudah menjadi kepastian hukum perang pada zamannya bahwa Mesir akan dijadikan daerah kekuasaan atau daerah jajahan, dan begitu pula dengan Yerusalem.
"Jadi Perang Salib lebih banyak terjadi karena alasan politik dan ekonomi," ujar Jati Pamungkas.
Renaisans dimulai pada awal abad ke-14 dan Perang Salib II berakhir pada tahun 1149. Ketika Perang Salib IX berakhir pun, Eropa belum memulai kebangkitannya. Kebangkitan Eropa ada kaitannya dengan jatuhnya Konstantinopel pada tahun 1453 dan jatuhnya Emirat Granada pada tahun 1492.
Sejak itu Eropa mengandalkan ilmu pengetahuan dan Islam masih mengandalkan pedang (diwakili oleh Turki Usmani) dalam ekspansi.
Kemurnian agama semakin tenggelam dimulai dari Perang Salib IV hingga X. Semuanya dilandasi faktor ekonomi dan kekuasaan. Hal tersebut mengacu pada berulang kalinya pasukan Salib berusaha menaklukkan Mesir.
Sejak dulu Mesir kaya akan hasil pertanian dan terkenal akan tanah suburnya dibandingkan daerah Timur Tengah yang lain. Daerah yang dapat menandingi Mesir adalah Syam.
Syam juga tidak dalam genggaman sepenuhnya pasukan Salib. Pasukan Salib hanya menguasai daerah pesisir Syam yang lebih cocok digunakan untuk pelabuhan dan perdagangan daripada pertanian.
Perang Salib V, VII, VIII, dan IX adalah bukti bahwa pasukan Salib mengincar kekayaan Mesir. Alasannya adalah Yerusalem dikuasai Dinasti Ayyubiyah yang kemudian dilanjut Dinasti Mamlukiah yang berpusat di Kairo, Mesir.
Merebut Yerusalem sepenuhnya dapat terwujud jika mengalahkan kekuatan pusat. Logikanya, jika pusat atau Mesir dikalahkan, sudah menjadi kepastian hukum perang pada zamannya bahwa Mesir akan dijadikan daerah kekuasaan atau daerah jajahan, dan begitu pula dengan Yerusalem.
"Jadi Perang Salib lebih banyak terjadi karena alasan politik dan ekonomi," ujar Jati Pamungkas.
Baca Juga
(mhy)