Pemerintahan Jazirah Arab Pra-Islam: Badwi Dipimpin Syaikh
Selasa, 10 September 2024 - 15:02 WIB
Terdapat dua negara adi kuasa di masa Arab Jahiliah , yaitu kerajaan Byzantium Romawi di barat dan kerajaan Persia di timur. Selama zaman Jahiliah, seluruh Semenanjung Arabia , menikmati kemerdekaan penuh, kecuali daerah utara ( Palestina , Lebanon , Yordania dan Syam) berada di bawah kekuasaan Byzantium dan Irak berada di bawah kekuasaan Persia.
"Mungkin karena kegersangannya, dua negara adi kuasa Byzantium dan Persia tidak tertarik menjajah Arab, kecuali daerah utara yang tunduk di bawah kekuasaan mereka," tulis Dr Syamruddin Nasution, M.Ag. dalam bukunya berjudul "Sejarah Peradaban Islam" (Yayasan Pusaka Riau, 2013).
Menurutnya, di kalangan orang Arab Badwi tidak ada pemerintahan. Kesatuan politik mereka bukanlah bangsa, tetapi suku yang dipimpin kepala suku yang disebut Syaikh.
Mereka sangat menekankan hubungan kesukuan sehingga kesetiaan atau solidaritas kelompok menjadi sumber kekuatan bagi suatu kabilah atau suku.
Bagi masing-masing suku terdapat seorang pemimpin (Syaikh). Dalam memilih pemimpin kriteria yang dipakai adalah pemberani, pemurah, cerdas, arif dan bijaksana.
Karena tidak adanya pemerintahan pusat, hubungan antarsuku selalu dalam konflik. Peperangan antara suku sering terjadi. Hal-hal yang sepele bisa menimbulkan peperangan. Misalnya terkenal peperangan yang terjadi antara Bani Bakr dan Bani Taghlib yang berlangsung selama 40 tahun, disebut perang Basus.
Perang ini terjadi hanya karena unta milik anggota salah satu suku dilukai oleh anggota suku lainnya. Dunia Arab ketika itu merupakan kancah peperangan yang terjadi terus-menerus.
Meskipun masyarakat Badwi mempunyai pemimpin, namun mereka hanya tunduk kepada syaikh itu dalam hal yang berkaitan dengan peperangan, pembagian harta rampasan dan pertempuran tertentu.
Baca juga: Jazirah Arab Pra-Islam Hanyalah Gurun Pasir Nan Gersang
Di luar itu, syaikh tidak berkuasa mengatur anggota kabilahnya.
Ahmad Syalabi dalam "Sejarah dan Kebudayaan Islam" (Jakarta: Pustaka Al Husna, 1983) mengatakan akibat peperangan terus-menerus, kebudayaan mereka tidak berkembang, karena itu bahan-bahan sejarah Arab pra-Islam sangat langka didapatkan di dunia Arab.
"Sejarah mereka hanya dapat diketahui dari masa kira-kira 150 tahun menjelang lahirnya agama Islam," ujarnya.
Meskipun begitu, kata Syalabi, hampir seluruh penduduk Arab adalah penyair. Maka tidak mengherankan bila seni sastra, terutama puisi sangat berkembang.
Para penyair memiliki kedudukan terhormat di kalangan sukunya. Melalui puisi-puisi merekalah, sejarah bangsa Arab sebelum Islam dapat ditelusuri. Karena para penyair itu selain pemberi nasihat dan juru bicara suku, dia juga ahli sejarah dan intelektual sukunya.
"Mungkin karena kegersangannya, dua negara adi kuasa Byzantium dan Persia tidak tertarik menjajah Arab, kecuali daerah utara yang tunduk di bawah kekuasaan mereka," tulis Dr Syamruddin Nasution, M.Ag. dalam bukunya berjudul "Sejarah Peradaban Islam" (Yayasan Pusaka Riau, 2013).
Menurutnya, di kalangan orang Arab Badwi tidak ada pemerintahan. Kesatuan politik mereka bukanlah bangsa, tetapi suku yang dipimpin kepala suku yang disebut Syaikh.
Mereka sangat menekankan hubungan kesukuan sehingga kesetiaan atau solidaritas kelompok menjadi sumber kekuatan bagi suatu kabilah atau suku.
Bagi masing-masing suku terdapat seorang pemimpin (Syaikh). Dalam memilih pemimpin kriteria yang dipakai adalah pemberani, pemurah, cerdas, arif dan bijaksana.
Karena tidak adanya pemerintahan pusat, hubungan antarsuku selalu dalam konflik. Peperangan antara suku sering terjadi. Hal-hal yang sepele bisa menimbulkan peperangan. Misalnya terkenal peperangan yang terjadi antara Bani Bakr dan Bani Taghlib yang berlangsung selama 40 tahun, disebut perang Basus.
Perang ini terjadi hanya karena unta milik anggota salah satu suku dilukai oleh anggota suku lainnya. Dunia Arab ketika itu merupakan kancah peperangan yang terjadi terus-menerus.
Meskipun masyarakat Badwi mempunyai pemimpin, namun mereka hanya tunduk kepada syaikh itu dalam hal yang berkaitan dengan peperangan, pembagian harta rampasan dan pertempuran tertentu.
Baca juga: Jazirah Arab Pra-Islam Hanyalah Gurun Pasir Nan Gersang
Di luar itu, syaikh tidak berkuasa mengatur anggota kabilahnya.
Ahmad Syalabi dalam "Sejarah dan Kebudayaan Islam" (Jakarta: Pustaka Al Husna, 1983) mengatakan akibat peperangan terus-menerus, kebudayaan mereka tidak berkembang, karena itu bahan-bahan sejarah Arab pra-Islam sangat langka didapatkan di dunia Arab.
"Sejarah mereka hanya dapat diketahui dari masa kira-kira 150 tahun menjelang lahirnya agama Islam," ujarnya.
Meskipun begitu, kata Syalabi, hampir seluruh penduduk Arab adalah penyair. Maka tidak mengherankan bila seni sastra, terutama puisi sangat berkembang.
Para penyair memiliki kedudukan terhormat di kalangan sukunya. Melalui puisi-puisi merekalah, sejarah bangsa Arab sebelum Islam dapat ditelusuri. Karena para penyair itu selain pemberi nasihat dan juru bicara suku, dia juga ahli sejarah dan intelektual sukunya.
(mhy)