Ahli Kitab: Bukan Hanya Yahudi dan Nasrani? Begini Pendapat Para Ulama

Rabu, 11 September 2024 - 05:15 WIB
Para mujtahid kontemporer menganggap Ahli Kitab mencakup penganut agama Budha dan Hindu. Ilustrasi: Ist
Para ulama sepakat Ahl Al-Kitab adalah orang Yahudi dan Nasrani . Namun para ulama berbeda pendapat tentang rincian, serta cakupan istilah tersebut. Uraian tentang hal ini paling banyak dikemukakan oleh pakar-pakar Al-Qur'an ketika mereka menafsirkan surat Al-Maidah [5] : 5, yang menguraikan tentang izin memakan sembelihan Ahl Al-Kitab, dan mengawini wanita-wanita yang memelihara kehormatannya.

Al-Maududi, seorang pakar agama Islam kontemporer, menulis perbedaan pendapat para ulama tentang cakupan makna Ahl Al-Kitab yang penulis rangkum sebagai berikut:

Imam Syafi'i , memahami istilah Ahl Al-Kitab, sebagai orang-orang Yahudi dan Nasrani keturunan orang-orang Israel , tidak termasuk bangsa-bangsa lain yang menganut agama Yahudi dan Nasrani. Alasan beliau antara lain bahwa Nabi Musa dan Nabi Isa , hanya diutus kepada mereka bukan kepada bangsa-bangsa lain.

Hal ini juga karena adanya redaksi min qablikum [sebelum kamu] pada ayat yang membolehkan perkawinan itu).



Pendapat Imam Syafi'i ini berbeda dengan pendapat Imam Abu Hanifah dan mayoritas pakar-pakar hukum yang menyatakan bahwa siapa pun yang mempercayai salah seorang Nabi, atau kitab yang pernah diturunkan Allah, maka ia termasuk Ahl Al-Kitab.

Dengan demikian, Ahl Al-Kitab tidak terbatas pada kelompok penganut agama Yahudi atau Nasrani. Dengan demikian, bila ada satu kelompok yang hanya percaya kepada Shuhuf Ibrahim atau Zabur (yang diberikan kepada Nabi Daud as ) saja, maka ia pun termasuk dalam jangkauan pengertian Ahl Al-Kitab.

Pendapat ketiga dianut oleh sebagian kecil ulama-ulama salaf, yang menyatakan bahwa setiap umat yang memiliki kitab yang dapat diduga sebagai kitab suci (samawi), maka mereka juga dicakup oleh pengertian Ahl Al-Kitab, seperti halnya orang-orang Majusi.

Pendapat terakhir ini, menurut Al-Maududi diperluas lagi oleh para mujtahid (pakar-pakar hukum) kontemporer, sehingga mencakup pula penganut agama Budha dan Hindu, dan dengan demikian wanita-wanita mereka pun boleh dikawini oleh pria Muslim, karena mereka juga telah diberikan kitab suci (samawi) .

Demikian Al-Maududi menyimpulkan berbagai pendapat.



Ibnu Katsir dalam tafsirnya menginformasikan bahwa Abu Tsaur Ibrahim bin Khalid Al-Kalbi (W. 860 M) yang merupakan salah seorang pengikut Imam Syafi'i, demikian juga Ahmad ibn Hanbal , berpendapat bahwa kaum Muslim dapat menikmati makanan sembelihan orang-orang Majusi, dan dapat pula mengawini wanita-wanita mereka.

Uraian panjang lebar menyangkut hal ini dikemukakan oleh Muhammad Rasyid Ridha yang menurutnya bermula dan pertanyaan seseorang dari Jawa (Indonesia) tentang hukum mengawini wanita-wanita penyembah berhala semacam orang-orang Cina (dan memakan sembelihan mereka).

Ulama besar itu setelah merinci dan menilai secara panjang lebar riwayat- riwayat yang dikemukakan oleh para sahabat Nabi dan tabiiin, kaidah-kaidah ushul dan kebahasaan, serta menyimak dan menimbang pendapat para ulama sebelumnya, menyimpulkan fatwanya sebagai berikut:

"Kesimpulan fatwa ini adalah bahwa laki-laki Muslim yang diharamkan oleh Allah menikah dengan wanita-wanita musyrik dalam surat Al-Baqarah ayat 221 adalah wanita-wanita musyrik Arab. Itulah pilihan yang dikuatkan oleh Mahaguru para mufasir Ibnu Jarir Ath-Thabari, dan bahwa orang-orang Majusi , Ash-Shabiin, penyembah berhala di India, Cina dan yang semacam mereka seperti orang-orang Jepang adalah Ahl Al-Kitab yang (kitab mereka) mengandung ajaran tauhid sampai sekarang."



Mufasir Al-Qasimi (w. 1914 M) ketika menafsirkan surat ke-95 (At-Tin) menjelaskan bahwa sementara pakar pada masanya memahami kata At-Tin sebagai pohon (di mana) pendiri agama Budha (memperoleh wahyu-wahyu Ilahi), kemudian Al-Qasimi menegaskan bahwa:

"Dan yang lebih kuat menurut pandangan kami bahkan yang pasti, bila tafsir kami ini benar adalah bahwa dia (Budha) adalah seorang Nabi yang benar."

Prof Dr Quraish Shihab dalam bukunya berjudul "Wawasan al-Quran, Tafsir Maudhu'i atas Pelbagai Persoalan Umat" mengatakancenderung memahami pengertian Ahl Al-Kitab pada semua penganut agama Yahudi dan Nasrani, kapan, di mana pun dan dari keturuunan siapa pun mereka.

"Ini, berdasarkan penggunaan Al-Qur'an terhadap istilah tersebut yang hanya terbatas pada kedua golongan itu (Yahudi dan Nasrani), dan sebuah ayat dalam Al-Qur'an," tuturnya,
Halaman :
Follow
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Hadits of The Day
Dari Aisyah radhiyallahu 'anha bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: Siapa yang meninggal, sedangkan ia masih memiliki hutang puasa, maka yang membayarnya adalah walinya.

(HR. Muslim No. 1935)
Artikel Terkait
Al-Qur'an, Bacalah!
Rekomendasi
Terpopuler
Artikel Terkini More