Muhammadiyah dan Pemberdayaan Perempuan: Kisah Lahirnya Aisyiyah
Rabu, 27 November 2024 - 13:43 WIB
MUHAMMADIYAH kini tengah memperingati milad yang ke-112. Organisasi yang didirikan KH Ahmad Dahlan ini lahir pada 8 Dzulhijjah 1330 H atau bertepatan dengan 18 November 1912 M. Muhammadiyah dan KH Ahmad Dahlan tercatat sebagaipejuang yang memberdayakan perempuan. Seperti apa itu?
"Melalui pendidikan," tulis Prof. Dr. Abdul Munir Mulkhan dalam "Kiai Ahmad Dahlan Mengganti Jimat, Dukun, dan Yang Keramat Dengan Ilmu Pengetahuan Basis Pencerahan Umat Bagi Pemihakan Terhadap Si Ma’un" dalam buku "KH Ahmad Dahlan (1868-1923)".
Buku ini diterbitkan Museum Kebangkitan Nasional Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, 2015. Abdul Munir Mulkan adalah Guru Besar tetap UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan Guru Besar Emiritus Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Kala itu, kaum perempuan lebih diletakkan sebagai istri yang bertanggungjawab untuk melahirkan anak, berhias untuk suami, melayani suami, dan fungsi domestik lainnya.
Karena itu, lanjut Abdul Munir Mulkhan, amat populer kata bijak bagi perempuan dengan tiga fungsi, yaitu “macak, manak, masak” (berhias, melahirkan anak, dan memasak buat suami dan anggota keluarga).
Pendidikan bagi perempuan tidak lebih terkait dengan tiga fungsi domestik “M” tersebut, bukan dalam kaitan dengan fungsi-fungsi publik. Melihat kenyataan sosial-budaya tersebut, Kiai Ahmad Dahlan menggerakkan kaum perempuan untuk keluar rumah bagi kepentingan publik.
Dari sini, kaum perempuan mulai bersentuhan dengan lembaga pendidikan. Bukan hanya itu, Kiai Ahmad Dahlan juga terus berusaha menggerakkan kaum perempuan untuk memperkuat posisi dirinya dengan suatu organisasi.
Kaum perempuan digerakkan keluar rumah untuk memperoleh pendidikan bersamaan dengan perbaikan sosial dunia perempuan.
Gerakan perempuan itu dilakukan di saat feminisme belum menjadi gerakan utama di Eropa dan gerakan Kartini belum muncul ke permukaan.
Saat tradisi menempatkan kaum perempuan sebagai “konco wingking”, teman belakang, mengurus anak dan soal-soal dalam kehidupan domestik, Kiai Ahmad Dahlan mendorong mereka mengikuti pendidikan modern.
Perkumpulan perempuan kemudian didirikan pada 1917, dan resmi berdiri 5 Januari 1922 dengan nama A’isyiyah.
Dalam daftar mubaligh (juru dakwah), Nyai Dahlan tercatat pada nomor pertama mbuballighah (guru ngaji perempuan), seperti suaminya Kiai Ahmad Dahlan sebagai mubaligh.
Nyai Dahlan pernah memenuhi undangan untuk sidang ulama di Solo pada 1921, tanpa disertai Kiai Dahlan.
Sapa Tresna
Pada awalnya, organisasi ini memiliki nama Sopo Tresno, yang memiliki makna literal ‘siapa suka atau siapa cinta’. Lahirnya Sopo Tresno digagasi oleh Kiai Ahmad Dahlan bersama istrinya, Nyai Ahmad Dahlan. Pada waktu itu, Sopo Tresno belum menjadi organisasi, hanya suatu forum pengajian untuk wanita, baik tua maupun muda.
Pembentukan organisasi perempuan Muhammadiyah ini diawali dengan adanya rapat yang dilaksanakan di kediaman Kiai Ahmad Dahlan pada tahun 1917. Rapat tersebut dihadiri oleh beberapa pengurus Muhammadiyah antara lain KH Fachrudin, KH Mochtar, Ki Bagus Hadikusumo serta pengurus Muhammadiyah lainnya. Rapat tersebut menghasilkan keputusan bahwa organisasi tersebut akan dibentuk dengan nama Aisyiyah, atas usul Haji Fachrudin.
Nama Aisyiyah terinspirasi dari nama istri Nabi Muhammad SAW, yaitu Aisyah yang dikenal cerdas dan mumpuni. Muhammadiyah memiliki arti pengikut Nabi Muhammad, sedangkan Aisyiyah memiliki arti pengikut Aisyah.
Keduanya merupakan pasangan serasi dalam berdakwah, seperti figur Muhammad dan Aisyah, bahwa Aisyiyah akan berjuang berdampingan bersama Muhammadiyah.
Organisasi Aisyiyah diresmikan pada 22 April 1917, yang dikepalai oleh Nyai Ahmad Dahlan atau Siti Walidah. Lalu lima tahun kemudian, organisasi ini ikut menjadi bagian dari Muhammadiyah, organisasi yang didirikan oleh Kiai Ahmad Dahlan.
"Melalui pendidikan," tulis Prof. Dr. Abdul Munir Mulkhan dalam "Kiai Ahmad Dahlan Mengganti Jimat, Dukun, dan Yang Keramat Dengan Ilmu Pengetahuan Basis Pencerahan Umat Bagi Pemihakan Terhadap Si Ma’un" dalam buku "KH Ahmad Dahlan (1868-1923)".
Buku ini diterbitkan Museum Kebangkitan Nasional Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, 2015. Abdul Munir Mulkan adalah Guru Besar tetap UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan Guru Besar Emiritus Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Kala itu, kaum perempuan lebih diletakkan sebagai istri yang bertanggungjawab untuk melahirkan anak, berhias untuk suami, melayani suami, dan fungsi domestik lainnya.
Karena itu, lanjut Abdul Munir Mulkhan, amat populer kata bijak bagi perempuan dengan tiga fungsi, yaitu “macak, manak, masak” (berhias, melahirkan anak, dan memasak buat suami dan anggota keluarga).
Pendidikan bagi perempuan tidak lebih terkait dengan tiga fungsi domestik “M” tersebut, bukan dalam kaitan dengan fungsi-fungsi publik. Melihat kenyataan sosial-budaya tersebut, Kiai Ahmad Dahlan menggerakkan kaum perempuan untuk keluar rumah bagi kepentingan publik.
Dari sini, kaum perempuan mulai bersentuhan dengan lembaga pendidikan. Bukan hanya itu, Kiai Ahmad Dahlan juga terus berusaha menggerakkan kaum perempuan untuk memperkuat posisi dirinya dengan suatu organisasi.
Kaum perempuan digerakkan keluar rumah untuk memperoleh pendidikan bersamaan dengan perbaikan sosial dunia perempuan.
Gerakan perempuan itu dilakukan di saat feminisme belum menjadi gerakan utama di Eropa dan gerakan Kartini belum muncul ke permukaan.
Saat tradisi menempatkan kaum perempuan sebagai “konco wingking”, teman belakang, mengurus anak dan soal-soal dalam kehidupan domestik, Kiai Ahmad Dahlan mendorong mereka mengikuti pendidikan modern.
Perkumpulan perempuan kemudian didirikan pada 1917, dan resmi berdiri 5 Januari 1922 dengan nama A’isyiyah.
Dalam daftar mubaligh (juru dakwah), Nyai Dahlan tercatat pada nomor pertama mbuballighah (guru ngaji perempuan), seperti suaminya Kiai Ahmad Dahlan sebagai mubaligh.
Nyai Dahlan pernah memenuhi undangan untuk sidang ulama di Solo pada 1921, tanpa disertai Kiai Dahlan.
Sapa Tresna
Pada awalnya, organisasi ini memiliki nama Sopo Tresno, yang memiliki makna literal ‘siapa suka atau siapa cinta’. Lahirnya Sopo Tresno digagasi oleh Kiai Ahmad Dahlan bersama istrinya, Nyai Ahmad Dahlan. Pada waktu itu, Sopo Tresno belum menjadi organisasi, hanya suatu forum pengajian untuk wanita, baik tua maupun muda.
Pembentukan organisasi perempuan Muhammadiyah ini diawali dengan adanya rapat yang dilaksanakan di kediaman Kiai Ahmad Dahlan pada tahun 1917. Rapat tersebut dihadiri oleh beberapa pengurus Muhammadiyah antara lain KH Fachrudin, KH Mochtar, Ki Bagus Hadikusumo serta pengurus Muhammadiyah lainnya. Rapat tersebut menghasilkan keputusan bahwa organisasi tersebut akan dibentuk dengan nama Aisyiyah, atas usul Haji Fachrudin.
Nama Aisyiyah terinspirasi dari nama istri Nabi Muhammad SAW, yaitu Aisyah yang dikenal cerdas dan mumpuni. Muhammadiyah memiliki arti pengikut Nabi Muhammad, sedangkan Aisyiyah memiliki arti pengikut Aisyah.
Keduanya merupakan pasangan serasi dalam berdakwah, seperti figur Muhammad dan Aisyah, bahwa Aisyiyah akan berjuang berdampingan bersama Muhammadiyah.
Organisasi Aisyiyah diresmikan pada 22 April 1917, yang dikepalai oleh Nyai Ahmad Dahlan atau Siti Walidah. Lalu lima tahun kemudian, organisasi ini ikut menjadi bagian dari Muhammadiyah, organisasi yang didirikan oleh Kiai Ahmad Dahlan.
Baca Juga
(mhy)