Tokoh-tokoh Tabiin yang Melakukan Ijtihad sebelum Mazhab-Mazhab
Senin, 23 Desember 2024 - 10:59 WIB
Al-Syaykh Ali al-Khafifi mengatakan ijtihad yang terjadi di zaman Tabi'in adalah ijtihad mutlak. "Yaitu ijtihad yang dilakukan tanpa ikatan pendapat seorang mujtahid yang terlebih dahulu, dan yang secara langsung diarahkan membahas, meneliti dan memahami yang benar," ujarnya.
Menurutnya, ikatan hanya terjadi jika ditemukan sebuah pendapat seorang Sahabat Nabi , yang diduga bersandar kepada Sunnah yang karena beberapa sebab Sunnah itu tidak muncul sebelumnya, kemudian pada zaman Tabi'in itu, lebih-lebih zaman Tabi'in al-Tabi'in, suasana lebih mengizinkan untuk muncul.
Dalam kitab "Al-Ijtihad fi 'Ashr al-Tabi'in wa Tabi'i 'l-Tabi'in", al-Khafifi menyebut misalnya, perubahan situasi politik, dengan perpindahan kekuasaan dari kaum Umawi ke kaum 'Abbasi , telah membawa perubahan penting dalam sikap keagamaan.
Meskipun sesungguhnya kaum 'Abbasi akhirnya banyak meneruskan wawasan hukum keagamaan kaum Umawi sebagai pendukung Ahl al-Sunnah wa al-Jama'ah , kaum 'Abbasi lebih banyak dan lebih tulus perhatian mereka kepada masalah-masalah keagamaan dari pada kaum Umawi.
Sikap berpegang kepada syari'ah ini bagi kaum Abbasi berarti pengukuhan legitimasi politik dan kekuasaan mereka (dibandingkan dengan kedudukan kaum Umawi, dan dihadapkan kepada oposisi kaum Syi'ah dan Khawarij). Tapi di samping itu, sikap tersebut menciptakan suasana yang lebih mendukung bagi perkembangan kajian agama, dan ini pada urutannya memberi peluang lebih baik pada para sarjana untuk menyatakan pendapatnya, termasuk menuturkan riwayat dan
Hadis.
Usaha secara resmi pembakuan Sunnah (yang kemudian menjadi sejajar dengan Hadis) telah mulai tumbuh sejak zaman Umar ibn Abdul Aziz menjelang akhir kekuasaan Umawi.
Sejak itu usaha ini memperoleh dorongan baru, dan merangsang tumbuhnya berbagai aliran pemikiran keagamaan, baik yang bersangkutan dengan bidang politik, teologi dan hukum, maupun yang lain.
Semua kegiatan itu juga terpengaruh kenyataan sosial-politik, berupa semakin beragamnya latar belakang etnis, kultural dan geografis anggota masyarakat Islam, disebabkan banyaknya orang-orang bukan Arab (Syiria, Mesir, Persi, dan sebagainya) yang masuk Islam.
Tokoh-Tokoh
Pada zaman itu kita menyaksikan tampilnya tokoh-tokoh kesarjanaan dengan bidang kajian ilmu yang lebih terspesialisasi, khususnya, bidang kajian hukum Islam atau fiqih. Merekalah para pendahulu imam-imam mazhab, bahkan guru-guru para calon imam mazhab itu.
Cendekiawan Islam Prof Nurcholish Madjid dalam buku berjudul "Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah" bab "Sejarah Awal Penyusunan dan Pembakuan Hukum Islam" mengatakan suatu hal yang amat penting diperhatikan ialah adanya kaitan suatu aliran pikiran (yakni, mazhab, school of thought) dengan tempat.
Dia menyebut adanya dua aliran pokok: Irak dan Hijaz. Namun di antara keduanya, kata Cak Nur, dan dalam diri masing-masing aliran besar itu, terdapat nuansa yang cukup berarti, dan cukup penting diperhatikan.
Nuansa-nuansa itu tercermin dalam ketokohan sarjana atau 'ulama' yang mendominasi suasana intelektual suatu tempat, seperti dituturkan al-Syaykh Muhammad al-Hudlari Beg dalam kitabnya Tarikh al-Tasyri' al-Islami.
Di Madinah tampil cukup banyak sarjana, antara lain:
1. Sa'id ibn al Musayyib al-Makhzumi. Lahir dua tahun kekhalifahan Umar, dan sempat belajar dari para pembesar Sahabat Nabi. Banyak meriwayatkan Hadis yang bersambung dengan Abu Hurayrah. Al-Hasan al-Bashri banyak berkonsultasi dengannya. Wafat pada 94 H.
2. Urwah ibn al-Zubayr ibn al-'Awwam. Lahir di masa kekhalifahan Utsman. Banyak belajar dari bibinya, Aisyah, istri Nabi SAW, wafat pada 94 H.
3. Abu Bakr ibn 'Abd-al-Rahman ibn al-Harits ibn Hisyam al-Makhzumi. Lahir di masa kekhalifahan Umar. Terkenal sangat saleh sehingga digelari "pendeta Quraysy" (rahib Quraysy). Wafat pada 94 H.
Menurutnya, ikatan hanya terjadi jika ditemukan sebuah pendapat seorang Sahabat Nabi , yang diduga bersandar kepada Sunnah yang karena beberapa sebab Sunnah itu tidak muncul sebelumnya, kemudian pada zaman Tabi'in itu, lebih-lebih zaman Tabi'in al-Tabi'in, suasana lebih mengizinkan untuk muncul.
Dalam kitab "Al-Ijtihad fi 'Ashr al-Tabi'in wa Tabi'i 'l-Tabi'in", al-Khafifi menyebut misalnya, perubahan situasi politik, dengan perpindahan kekuasaan dari kaum Umawi ke kaum 'Abbasi , telah membawa perubahan penting dalam sikap keagamaan.
Meskipun sesungguhnya kaum 'Abbasi akhirnya banyak meneruskan wawasan hukum keagamaan kaum Umawi sebagai pendukung Ahl al-Sunnah wa al-Jama'ah , kaum 'Abbasi lebih banyak dan lebih tulus perhatian mereka kepada masalah-masalah keagamaan dari pada kaum Umawi.
Sikap berpegang kepada syari'ah ini bagi kaum Abbasi berarti pengukuhan legitimasi politik dan kekuasaan mereka (dibandingkan dengan kedudukan kaum Umawi, dan dihadapkan kepada oposisi kaum Syi'ah dan Khawarij). Tapi di samping itu, sikap tersebut menciptakan suasana yang lebih mendukung bagi perkembangan kajian agama, dan ini pada urutannya memberi peluang lebih baik pada para sarjana untuk menyatakan pendapatnya, termasuk menuturkan riwayat dan
Hadis.
Usaha secara resmi pembakuan Sunnah (yang kemudian menjadi sejajar dengan Hadis) telah mulai tumbuh sejak zaman Umar ibn Abdul Aziz menjelang akhir kekuasaan Umawi.
Sejak itu usaha ini memperoleh dorongan baru, dan merangsang tumbuhnya berbagai aliran pemikiran keagamaan, baik yang bersangkutan dengan bidang politik, teologi dan hukum, maupun yang lain.
Semua kegiatan itu juga terpengaruh kenyataan sosial-politik, berupa semakin beragamnya latar belakang etnis, kultural dan geografis anggota masyarakat Islam, disebabkan banyaknya orang-orang bukan Arab (Syiria, Mesir, Persi, dan sebagainya) yang masuk Islam.
Tokoh-Tokoh
Pada zaman itu kita menyaksikan tampilnya tokoh-tokoh kesarjanaan dengan bidang kajian ilmu yang lebih terspesialisasi, khususnya, bidang kajian hukum Islam atau fiqih. Merekalah para pendahulu imam-imam mazhab, bahkan guru-guru para calon imam mazhab itu.
Cendekiawan Islam Prof Nurcholish Madjid dalam buku berjudul "Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah" bab "Sejarah Awal Penyusunan dan Pembakuan Hukum Islam" mengatakan suatu hal yang amat penting diperhatikan ialah adanya kaitan suatu aliran pikiran (yakni, mazhab, school of thought) dengan tempat.
Dia menyebut adanya dua aliran pokok: Irak dan Hijaz. Namun di antara keduanya, kata Cak Nur, dan dalam diri masing-masing aliran besar itu, terdapat nuansa yang cukup berarti, dan cukup penting diperhatikan.
Nuansa-nuansa itu tercermin dalam ketokohan sarjana atau 'ulama' yang mendominasi suasana intelektual suatu tempat, seperti dituturkan al-Syaykh Muhammad al-Hudlari Beg dalam kitabnya Tarikh al-Tasyri' al-Islami.
Di Madinah tampil cukup banyak sarjana, antara lain:
1. Sa'id ibn al Musayyib al-Makhzumi. Lahir dua tahun kekhalifahan Umar, dan sempat belajar dari para pembesar Sahabat Nabi. Banyak meriwayatkan Hadis yang bersambung dengan Abu Hurayrah. Al-Hasan al-Bashri banyak berkonsultasi dengannya. Wafat pada 94 H.
2. Urwah ibn al-Zubayr ibn al-'Awwam. Lahir di masa kekhalifahan Utsman. Banyak belajar dari bibinya, Aisyah, istri Nabi SAW, wafat pada 94 H.
3. Abu Bakr ibn 'Abd-al-Rahman ibn al-Harits ibn Hisyam al-Makhzumi. Lahir di masa kekhalifahan Umar. Terkenal sangat saleh sehingga digelari "pendeta Quraysy" (rahib Quraysy). Wafat pada 94 H.
Lihat Juga :