Toleransi Antar Agama dalam Pandangan Islam
Rabu, 29 Januari 2025 - 05:15 WIB
Makna toleransi sudah banyak yang melenceng dan ditafsirnya seenaknya. Bagaimana sebenarnya pandangan Islam tentang toleransi ini?
Di Indonesia terdapat beragam agama dan kepercayaan , sekaligus juga suku dan ras yang berbeda-beda. Ada yang merayakan Imlek, Natal, Waisak atau Galungan dan yang lainnya. Namun lihatlah, betapa harmonisnya mayoritas penduduk Indonesia yang beragama Islam bisa hidup berdampingan dan selaras dengan beragam suku, ras dan beragam agama ini.
Dalam Islam, tentang toleransi dijelaskan dalam Al Qur'an yakni Surat Al Kafirun . Karena sejarah turunnya surat tersebut, maka surat ini sangat dikenal sebagai surat toleransi bagi umat Islam untuk menghormati penganut atau faham agama lain.
Makna serupa juga terdapat dalam surat Al Hujarat yang menjelaskan bahwa Allah memang menjadikan orang itu berbeda-beda, bersuku-suku dan berbangsa-bangsa agar saling kenal mengenal untuk saling memahami, menghormati dan bukan saling memerangi.
Imam Qurthubi dalam tafsirnya menyebut, sikap menghormati agama dan kepercayaan lain bukan berarti lemah atau diri menjadi larut mengiyakan kebenaran mereka, namun akan sebaliknya hal itu akan memperteguh keimanan dan membebaskan diri dari kemusyrikan dan kemunafikan sesuai dengan salah satu keutamaan surat al Kafirun.
Pertama, relasi antar Agama Samawi.
Adanya beberapa akar ajaran yang sama dalam agama samawi merupakan jalan untuk membentuk sikap moderat dan toleran.
Kedua, asas kebebasaan dalam memilih agama.
Poin ini menegaskan prinsip Ri’ayah al-Din yang diusung syari’at Islam.
Ketiga, larangan menebar kebencian.
Keempat Larangan tindakan teror serta anjuran mengutamakan keadilan.
Setiap manusia berhak mendapatkan perlindungan atas kemerdekaan jiwanya.
Penafsiran al-Zuhayli mengungkap adanya pola hubungan harmonis dan toleran antar umat beragama. Hal ini sekaligus merupakan kritik ilmiah atas doktrin-doktrin kekerasan yang sering dikumandangkan kelompok radikal.
Sementara itu, Rais Syuriyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Ahmad Bahauddin Nursalim atau lebih dikenal dengan Gus Baha mengatakan kunci sikap toleransi adalah memiliki referensi keilmuan yang cukup. "Pikiran saya sederhana, ilmu itu melahirkan sikap. Jika punya referensi yang cukup tentang toleransi maka kita hidup di mana saja maka akan tetap toleransi," ucap Gus Baha seperti dilansir dari NU Online.
Gus Baha menyampaikan, memiliki sifat toleransi membuat seseorang bisa hidup di lintas negara, agama dan komunitas. Dengan begitu, kata Gus Baha, seorang muslim tidak boleh memerangi umat beragama lain karena konteksnya tidak dalam suasana perang. Adapun pihak yang boleh diperangi yaitu mereka yang memerangi kita, seperti yang terjadi pada zaman penjajahan Jepang dan Belanda di Indonesia.
"Sehingga damai dan perang ada konteks rasionalitasnya. Ayatnya jelas, seorang yang kita benci, bisa saja suatu saat nanti ditakdirkan Allah menjadi seseorang yang kita dicintai," tambah Gus Baha sambil mengutip Surat Al-Mumtahanah ayat 7.
Gus Baha menambahkan, referensi keilmuan tentang toleransi cukup banyak dalam Islam. Seperti kisah seorang Yahudi yang meminta tolong ke Siti Aisyah, setelah ditolong lalu ia mendoakan agar Aisyah selamat dari siksa kubur. "Jadi kalau beda agama, jika sesuatu yang benar maka dibenarkan. Kaidah dalam interaksi beda agama, jangan bilang iya semua, jangan bilang tidak semua, tapi sesuai referensi (ajaran nabi)," tegas Kiai Muda asal Rembang ini. Kisah lain, sambung Gus Baha, ada sosok Abdullah bin Umar yang sedang memasak daging kambing, lalu disampaikan ke pembantunya agar daging tersebut dibagikan ke tetangga yang beragama Yahudi.
Di Indonesia terdapat beragam agama dan kepercayaan , sekaligus juga suku dan ras yang berbeda-beda. Ada yang merayakan Imlek, Natal, Waisak atau Galungan dan yang lainnya. Namun lihatlah, betapa harmonisnya mayoritas penduduk Indonesia yang beragama Islam bisa hidup berdampingan dan selaras dengan beragam suku, ras dan beragam agama ini.
Dalam Islam, tentang toleransi dijelaskan dalam Al Qur'an yakni Surat Al Kafirun . Karena sejarah turunnya surat tersebut, maka surat ini sangat dikenal sebagai surat toleransi bagi umat Islam untuk menghormati penganut atau faham agama lain.
Makna serupa juga terdapat dalam surat Al Hujarat yang menjelaskan bahwa Allah memang menjadikan orang itu berbeda-beda, bersuku-suku dan berbangsa-bangsa agar saling kenal mengenal untuk saling memahami, menghormati dan bukan saling memerangi.
Imam Qurthubi dalam tafsirnya menyebut, sikap menghormati agama dan kepercayaan lain bukan berarti lemah atau diri menjadi larut mengiyakan kebenaran mereka, namun akan sebaliknya hal itu akan memperteguh keimanan dan membebaskan diri dari kemusyrikan dan kemunafikan sesuai dengan salah satu keutamaan surat al Kafirun.
Pendapat Ulama tentang Toleransi
Ulama kontemporer Wahbah al-Zuhayli memberi gagasan toleransi yang diawali dengan penjelasannya tentang konsep wasatiyyah al-Islam (moderasi Islam). Beliau mengelompokan empat hal pokok tema toleransi yang dijelaskan al-Qur’an.Pertama, relasi antar Agama Samawi.
Adanya beberapa akar ajaran yang sama dalam agama samawi merupakan jalan untuk membentuk sikap moderat dan toleran.
Kedua, asas kebebasaan dalam memilih agama.
Poin ini menegaskan prinsip Ri’ayah al-Din yang diusung syari’at Islam.
Ketiga, larangan menebar kebencian.
Keempat Larangan tindakan teror serta anjuran mengutamakan keadilan.
Setiap manusia berhak mendapatkan perlindungan atas kemerdekaan jiwanya.
Penafsiran al-Zuhayli mengungkap adanya pola hubungan harmonis dan toleran antar umat beragama. Hal ini sekaligus merupakan kritik ilmiah atas doktrin-doktrin kekerasan yang sering dikumandangkan kelompok radikal.
Sementara itu, Rais Syuriyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Ahmad Bahauddin Nursalim atau lebih dikenal dengan Gus Baha mengatakan kunci sikap toleransi adalah memiliki referensi keilmuan yang cukup. "Pikiran saya sederhana, ilmu itu melahirkan sikap. Jika punya referensi yang cukup tentang toleransi maka kita hidup di mana saja maka akan tetap toleransi," ucap Gus Baha seperti dilansir dari NU Online.
Gus Baha menyampaikan, memiliki sifat toleransi membuat seseorang bisa hidup di lintas negara, agama dan komunitas. Dengan begitu, kata Gus Baha, seorang muslim tidak boleh memerangi umat beragama lain karena konteksnya tidak dalam suasana perang. Adapun pihak yang boleh diperangi yaitu mereka yang memerangi kita, seperti yang terjadi pada zaman penjajahan Jepang dan Belanda di Indonesia.
"Sehingga damai dan perang ada konteks rasionalitasnya. Ayatnya jelas, seorang yang kita benci, bisa saja suatu saat nanti ditakdirkan Allah menjadi seseorang yang kita dicintai," tambah Gus Baha sambil mengutip Surat Al-Mumtahanah ayat 7.
Gus Baha menambahkan, referensi keilmuan tentang toleransi cukup banyak dalam Islam. Seperti kisah seorang Yahudi yang meminta tolong ke Siti Aisyah, setelah ditolong lalu ia mendoakan agar Aisyah selamat dari siksa kubur. "Jadi kalau beda agama, jika sesuatu yang benar maka dibenarkan. Kaidah dalam interaksi beda agama, jangan bilang iya semua, jangan bilang tidak semua, tapi sesuai referensi (ajaran nabi)," tegas Kiai Muda asal Rembang ini. Kisah lain, sambung Gus Baha, ada sosok Abdullah bin Umar yang sedang memasak daging kambing, lalu disampaikan ke pembantunya agar daging tersebut dibagikan ke tetangga yang beragama Yahudi.
(wid)
Lihat Juga :