Abdul Mu’ti: Konvergensi Keislaman Menjadi Kekuatan Indonesia
Senin, 10 Maret 2025 - 11:21 WIB
Mendikdasmen Abdul Mu’ti (tengah) hadir di acara bertajuk Berbagi Cahaya Ramadan yang dihelat Pesantren Cendekia Amanah Depok, yang juga dihadiri Wali Kota Depok Dr Supian Suri, dan beberapa pejabat Kemenag dan MUI. Foto istimewa
Pendidikan menjadi kunci konvergensi pemahaman keislaman di Indonesia terus berlangsung, sehingga kemudian memunculkan generasi baru muslim yang memiliki visi keislaman terbuka dengan tetap menjaga tradisi keislaman yang kuat. Mereka itu adalah kekuatan Islam Indonesia masa depan, menjadi kekuatan Islam di Indonesia yang tidak dimiliki negara lain.
Pandangan itu disampaikan Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah Abdul Mu’ti saat memberikan tausyiyah di depan para undangan dan santri Pesantren Cendekia Amanah, Kalimulya, Depok, Sabtu (8/3).
Hadir dalam acara bertajuk 'Berbagi Cahaya Ramadan' yang dihelat Pesantren Cendekia Amanah itu antara lain, Deputi 1 Bidang Pemberdayaan Pemuda Kementerian Pemuda dan Olah Raga Prof. Dr. Asrorun Ni’am Sholeh, Wali Kota Depok Dr Supian Suri, Direktur GTK Madrasah Kemenag, Pendiri ESQ 165 Dr. Ary Ginanjar Agustian, Ketua Umum Yayasan Muslim Sinar Mas (YMSM) Dr. Saleh Husin, dan unsur Pemipinan Muhamamdiyah, Nahdlatul Ulama, dan Majelis Ulama Indonesia.
Mengawali tausiyahnya, Abdul Mu’ti merasa terhormat dan sangat menghargai cara Pengasuh Pesantren Cendekia Amanah Kiai Dr. Cholil Nafis memuliakan tamunya.
Mu’ti merasa tidak ada jarak antara keduanya, meski berada di dua organisasi yang berbeda namun memiliki kimia yang sama.
“Beliau ini memang biasa menjadi partner saya di beberapa stasiun televisi untuk acara-acara yang berkaitan dengan ceramah agama Islam, dengan beliau tidak perlu diarahkan, tanpa ada skenario, insyaallah sudah saling mengisi sehingga selama satu setengah jam siaran itu tanpa ada salah”, ucapnya sambil senyum.
“Ini karena kami sudah memiliki kemistri yang sama, dan kalau semua umat itu seperti Kiai Cholil dan mungkin juga bisa seperti saya, Indonesia ini akan bebas dari persoalan-persoalan khilafiyah dan furukiyah”, lanjutnya yang mendapat tepukan meriah hadirin.
Melihat kenyataan sekarang Mu’ti menterjemahkan organisasi Nahdlatul Ulama bukan kebangkitan para ulama, tetapi kebangkitan kaum cendekiawan, atau kebangkitan kaum intelektual. Kenyataan yang berkembang di kalangan NU banyak yang menguasai kitab putih, selain tentu kitab kuning. Sering dibuat perbandingan kalau NU kitab kuning, Muhammadiyah kitab putih. “Alhamdulillah NU yang menguasai kitab putih banyak, Muhammadiyah menguasai kitab kuning juga banyak”, ucapnya.
Dulu orang menyebut Muhammadiyah modernis, NU tradisionalis sudah tidak relevan lagi. Mengutip buku Fazrul Rachman Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Traditions sekitar tahun 1982-an memang masih menyebut kesenjangan modernis dan tradisional. Mu’ti katakan kesenjangan kelompok modernis dan kaum tradisionalis kini hampir tidak ada lagi.
“Pertemuan seperti ini dimana tokoh dari berbagai ormas sangat cair, itu tidak terjadi di negara Muslim lain”, tuturnya.
Mengapa demikian, Abdul Mu’ti menjelaskanya dengan mengutip Prof Kuntowijoyo dalam buku Muslim Tanpa Masjid, buku terbitan 1994 yang menjelaskan meski banyak generasi muslim berasal dari latar belakang yang berbeda-beda tetapi kemudian memiliki sisi keislaman yang hampir sama.
Menurut Prof Kunto yang disampaikan Abdul Mu’ti, ada tiga konvergensi yang terjadi. Pertama konvergensi antara kelompok tradisional dan kelompok modernis, tidak ada lagi perbedaan yang sangat tajam antara NU dan Muhammadiyah. Kedua konvergensi antara kelompok santri dan abangan, yang juga sudah nyaris tidak terjadi. Ketiga konvergensi politik, hampir tidak ada perbedaan antara partai Islam dengan partai yang tidak Islam atau partai nasionalis. Abdul Mu’ti mencontohkan PDI Perjuangan yang dulu identik dengan kelompok yang cederung pada abangan sekarang ini banyak santri yang berada di PDI Perjuangan. Juga banyak santri ada di partai Golkar yang identik dengan abangan.
Masih mengutip buku yang sama, konvergensi terjadi, pertama, sejak Presiden Suharto mewajibkan pendidikan agama sebagai pelajaran wajib di semua jenjang dan jenis pendidikan, yang sebelumnya pendidikan agama hanya pilihan. Sehingga di situ anak anak dari keluarga abangan, keluarga santri, keluarga priyayi belajar agama dari guru yang sama dan juga dari buku pelajaran agama yang sama.
Kedua, karena peran IAIN, tempat sebagaian besar kalangan santri kuliah di IAIN, yang mereka belajar dari dosen yang sama, literatur yang sama. Menurut Abdul Mu’ti yang juga Guru Besar IAIN, sekarang UIN, perbedaan Muhammadiyah dan NU sudah hampir tidak terlihat. “Perbedaannya mungkin afiliasi organisasi saja, pandangan keagamaan sudah hampir sama” jelasnya.
Faktor ketiga, menurut pendapat Abdul Mu’ti, banyak anak-anak NU yang belajar di kampus dan sekolah Muhammadiyah, 70 persen mahasiswa di Universitas Muhammadiyah Surakarta itu dari NU, begitu juga di Universitas Muhammadiyah Malang. “Ketika mereka belajar di Muhammadiyah ada kemungkinan, dia masuk Muhammadiyah, kemungkinan lain NU nya makin kuat, yang banyak terjadi makin kuat” urainya sambil tertawa.
Abdul Mu’ti terinspirasi untuk kembangkan pesantren. Ia ceritakan Buyutnya dulu punya pesantren. Banyak santrinya dari Tebu Ireng, Demak dan daerah lain. Sekarang pesantren dilanjutkan oleh sepupunya yang NU, tetapi alumni Tsanawiyah dan Aliyah Muhammadiyah dan menjadi Ketua PCNU. “Inilah hebatnya Islam di Indonesia dimana Muhammadiyah dan NU tidak menjadi dua organisasi yang salin berseteru, tapi seperti dua sayap burung Garuda. Burung Garuda bisa terbang tinggi karena dua sayap itu mengepak, dua sayap itu Muhammadiyah dan NU.
Pandangan itu disampaikan Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah Abdul Mu’ti saat memberikan tausyiyah di depan para undangan dan santri Pesantren Cendekia Amanah, Kalimulya, Depok, Sabtu (8/3).
Hadir dalam acara bertajuk 'Berbagi Cahaya Ramadan' yang dihelat Pesantren Cendekia Amanah itu antara lain, Deputi 1 Bidang Pemberdayaan Pemuda Kementerian Pemuda dan Olah Raga Prof. Dr. Asrorun Ni’am Sholeh, Wali Kota Depok Dr Supian Suri, Direktur GTK Madrasah Kemenag, Pendiri ESQ 165 Dr. Ary Ginanjar Agustian, Ketua Umum Yayasan Muslim Sinar Mas (YMSM) Dr. Saleh Husin, dan unsur Pemipinan Muhamamdiyah, Nahdlatul Ulama, dan Majelis Ulama Indonesia.
Mengawali tausiyahnya, Abdul Mu’ti merasa terhormat dan sangat menghargai cara Pengasuh Pesantren Cendekia Amanah Kiai Dr. Cholil Nafis memuliakan tamunya.
Mu’ti merasa tidak ada jarak antara keduanya, meski berada di dua organisasi yang berbeda namun memiliki kimia yang sama.
“Beliau ini memang biasa menjadi partner saya di beberapa stasiun televisi untuk acara-acara yang berkaitan dengan ceramah agama Islam, dengan beliau tidak perlu diarahkan, tanpa ada skenario, insyaallah sudah saling mengisi sehingga selama satu setengah jam siaran itu tanpa ada salah”, ucapnya sambil senyum.
“Ini karena kami sudah memiliki kemistri yang sama, dan kalau semua umat itu seperti Kiai Cholil dan mungkin juga bisa seperti saya, Indonesia ini akan bebas dari persoalan-persoalan khilafiyah dan furukiyah”, lanjutnya yang mendapat tepukan meriah hadirin.
Melihat kenyataan sekarang Mu’ti menterjemahkan organisasi Nahdlatul Ulama bukan kebangkitan para ulama, tetapi kebangkitan kaum cendekiawan, atau kebangkitan kaum intelektual. Kenyataan yang berkembang di kalangan NU banyak yang menguasai kitab putih, selain tentu kitab kuning. Sering dibuat perbandingan kalau NU kitab kuning, Muhammadiyah kitab putih. “Alhamdulillah NU yang menguasai kitab putih banyak, Muhammadiyah menguasai kitab kuning juga banyak”, ucapnya.
Dulu orang menyebut Muhammadiyah modernis, NU tradisionalis sudah tidak relevan lagi. Mengutip buku Fazrul Rachman Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Traditions sekitar tahun 1982-an memang masih menyebut kesenjangan modernis dan tradisional. Mu’ti katakan kesenjangan kelompok modernis dan kaum tradisionalis kini hampir tidak ada lagi.
“Pertemuan seperti ini dimana tokoh dari berbagai ormas sangat cair, itu tidak terjadi di negara Muslim lain”, tuturnya.
Mengapa demikian, Abdul Mu’ti menjelaskanya dengan mengutip Prof Kuntowijoyo dalam buku Muslim Tanpa Masjid, buku terbitan 1994 yang menjelaskan meski banyak generasi muslim berasal dari latar belakang yang berbeda-beda tetapi kemudian memiliki sisi keislaman yang hampir sama.
Baca Juga
Menurut Prof Kunto yang disampaikan Abdul Mu’ti, ada tiga konvergensi yang terjadi. Pertama konvergensi antara kelompok tradisional dan kelompok modernis, tidak ada lagi perbedaan yang sangat tajam antara NU dan Muhammadiyah. Kedua konvergensi antara kelompok santri dan abangan, yang juga sudah nyaris tidak terjadi. Ketiga konvergensi politik, hampir tidak ada perbedaan antara partai Islam dengan partai yang tidak Islam atau partai nasionalis. Abdul Mu’ti mencontohkan PDI Perjuangan yang dulu identik dengan kelompok yang cederung pada abangan sekarang ini banyak santri yang berada di PDI Perjuangan. Juga banyak santri ada di partai Golkar yang identik dengan abangan.
Masih mengutip buku yang sama, konvergensi terjadi, pertama, sejak Presiden Suharto mewajibkan pendidikan agama sebagai pelajaran wajib di semua jenjang dan jenis pendidikan, yang sebelumnya pendidikan agama hanya pilihan. Sehingga di situ anak anak dari keluarga abangan, keluarga santri, keluarga priyayi belajar agama dari guru yang sama dan juga dari buku pelajaran agama yang sama.
Kedua, karena peran IAIN, tempat sebagaian besar kalangan santri kuliah di IAIN, yang mereka belajar dari dosen yang sama, literatur yang sama. Menurut Abdul Mu’ti yang juga Guru Besar IAIN, sekarang UIN, perbedaan Muhammadiyah dan NU sudah hampir tidak terlihat. “Perbedaannya mungkin afiliasi organisasi saja, pandangan keagamaan sudah hampir sama” jelasnya.
Faktor ketiga, menurut pendapat Abdul Mu’ti, banyak anak-anak NU yang belajar di kampus dan sekolah Muhammadiyah, 70 persen mahasiswa di Universitas Muhammadiyah Surakarta itu dari NU, begitu juga di Universitas Muhammadiyah Malang. “Ketika mereka belajar di Muhammadiyah ada kemungkinan, dia masuk Muhammadiyah, kemungkinan lain NU nya makin kuat, yang banyak terjadi makin kuat” urainya sambil tertawa.
Iri pada Gus Cholil
Menutup tausiyahnya, Abdul Mu’ti, yang juga Sekfretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah menyampaikan irinya kepada Cholil Nafis. Diceritakan dalam perjalanan menuju Cendekia Amanah Abdul Mu’ti melihat YouTube MUITV program Sang Kiai Gus Cholil. Baru tahu ternyata Gus Cholil ini anak saudagar Madura, kemudian menjadi ulama. Abdul Mu’ti pun menyampaikan orang boleh iri kepada dua orang, satu kepada orang kaya yang berderma dengan kekayaannya, kedua kepada orang alim yang mengamalkan ilmunya. “Karena itu saya ke sini iri kepada Kiai Cholil, karena beliau memiliki dua-duanya. Beliau ini orang kaya yang banyak bersedekah, dan orang alim yang banyak mengamalkan ilmunya”.Abdul Mu’ti terinspirasi untuk kembangkan pesantren. Ia ceritakan Buyutnya dulu punya pesantren. Banyak santrinya dari Tebu Ireng, Demak dan daerah lain. Sekarang pesantren dilanjutkan oleh sepupunya yang NU, tetapi alumni Tsanawiyah dan Aliyah Muhammadiyah dan menjadi Ketua PCNU. “Inilah hebatnya Islam di Indonesia dimana Muhammadiyah dan NU tidak menjadi dua organisasi yang salin berseteru, tapi seperti dua sayap burung Garuda. Burung Garuda bisa terbang tinggi karena dua sayap itu mengepak, dua sayap itu Muhammadiyah dan NU.
(wid)
Lihat Juga :