Mereka Tertipu Padahal Rajin Salat Dhuha dan Tahajud, Ini Penyebabnya
Rabu, 09 September 2020 - 05:00 WIB
Dia bertanya lagi, "Kemudian kepada siapa lagi?"
Rasul menjawab, "Ibumu."
Dia bertanya lagi, "Kemudian kepada siapa lagi?"
Rasul menjawab, "Ayahmu."
Dia bertanya lagi, "Kemudian kepada siapa lagi?"
Rasul menjawab, "Kemudian kepada yang lebih dekat lagi dan kepada yang lebih dekat lagi."
Oleh sebab itu, kita mesti memulai menjalin tali silaturahmi dengan kerabat yang paling dekat. Dan jika ada kesamaan kedekatan mereka, maka kepada yang lebih perlu, jika masih sama lagi, maka kita harus memilih yang lebih bertaqwa dan lebih wara'.
Begitu pula orang yang harta bendanya tidak cukup untuk memberikan nafkah kepada kedua orangtua dan ibadah haji, maka barangkali dia dapat melaksanakan ibadah haji tetapi dia tertipu.
Seharusnya dia mendahulukan hak kedua orangtuanya daripada melakukan ibadah haji. Dan inilah yang disebut dengan melakukan fardhu yang lebih penting atas fardhu yang lainnya.
Contoh lainnya sangat banyak, misalnya apabila seseorang membuat janji, dan telah masuk waktu salat Jumat, kemudian salat Jumatnya tertinggal, maka kesibukan untuk menepati janji "ketika itu" dianggap sebagai kemaksiatan, walaupun ini merupakan salah satu bentuk ketaatan dari dirinya.
Begitu pula seseorang yang pakaiannya terkena najis, kemudian dia marah kepada kedua orangtuanya dan keluarganya karena najis tersebut. Maka sesungguhnya najis itu perlu dihindari dan menyakiti hati kedua orangtua juga harus dihindari. Menghindarkan diri dari menyakiti hati orangtua adalah lebih penting daripada menghindarkan najis seperti itu.
Contoh-contoh benturan antara larangan dan ketaatan sangat banyak. Orang yang tidak menjaga urutan prioritas dalam semua persoalan di atas, maka ia akan tertipu. Ketertipuan ini merupakan masalah yang sangat pelik, karena sesungguhnya orang yang tertipu itu berada di dalam ketaatan, hanya saja dia kurang waspada terhadap ketaatan yang dapat menjelma menjadi kemaksiatan, Karena ia meninggalkan ketaatan yang wajib dan lebih penting." (Bersambung)
Rasul menjawab, "Ibumu."
Dia bertanya lagi, "Kemudian kepada siapa lagi?"
Rasul menjawab, "Ayahmu."
Dia bertanya lagi, "Kemudian kepada siapa lagi?"
Rasul menjawab, "Kemudian kepada yang lebih dekat lagi dan kepada yang lebih dekat lagi."
Oleh sebab itu, kita mesti memulai menjalin tali silaturahmi dengan kerabat yang paling dekat. Dan jika ada kesamaan kedekatan mereka, maka kepada yang lebih perlu, jika masih sama lagi, maka kita harus memilih yang lebih bertaqwa dan lebih wara'.
Begitu pula orang yang harta bendanya tidak cukup untuk memberikan nafkah kepada kedua orangtua dan ibadah haji, maka barangkali dia dapat melaksanakan ibadah haji tetapi dia tertipu.
Seharusnya dia mendahulukan hak kedua orangtuanya daripada melakukan ibadah haji. Dan inilah yang disebut dengan melakukan fardhu yang lebih penting atas fardhu yang lainnya.
Contoh lainnya sangat banyak, misalnya apabila seseorang membuat janji, dan telah masuk waktu salat Jumat, kemudian salat Jumatnya tertinggal, maka kesibukan untuk menepati janji "ketika itu" dianggap sebagai kemaksiatan, walaupun ini merupakan salah satu bentuk ketaatan dari dirinya.
Begitu pula seseorang yang pakaiannya terkena najis, kemudian dia marah kepada kedua orangtuanya dan keluarganya karena najis tersebut. Maka sesungguhnya najis itu perlu dihindari dan menyakiti hati kedua orangtua juga harus dihindari. Menghindarkan diri dari menyakiti hati orangtua adalah lebih penting daripada menghindarkan najis seperti itu.
Contoh-contoh benturan antara larangan dan ketaatan sangat banyak. Orang yang tidak menjaga urutan prioritas dalam semua persoalan di atas, maka ia akan tertipu. Ketertipuan ini merupakan masalah yang sangat pelik, karena sesungguhnya orang yang tertipu itu berada di dalam ketaatan, hanya saja dia kurang waspada terhadap ketaatan yang dapat menjelma menjadi kemaksiatan, Karena ia meninggalkan ketaatan yang wajib dan lebih penting." (Bersambung)
(mhy)